Oleh: Zakariya al-Bantany
Tingginya minat membaca dan menulis di tengah masyarakat, adalah menjadi bukti kuat betapa tingginya sebuah peradaban. Sejak zaman dahulu kala hingga zaman now saat ini, benar-benar menulis telah menjadi sebuah gaya hidup dari kaum terpelajar atau kaum intelektual. Dan juga menjadi bagian gaya hidup masyarakat yang beradab, dan yang memiliki peradaban yang tinggi.
Dan menulis pun sesungguhnya adalah sebuah puncak seni mengukir peradaban umat manusia, dari tiap zamannya sepanjang sejarah kehidupan umat manusia. Sebab, menulis adalah seni berbahasa, bergaya bahasa dan berkomunikasi, serta beretorika. Untuk mempengaruhi, dan mengubah sebuah corak dan warna sebuah pemikiran masyarakat dan peradabannya.
Dan menulis pun menjadi artefak ilmiah, yang menjadi bukti kuat eksistensi keberadaan dan kejayaan seseorang anak manusia. Dan sebuah masyarakat, serta sebuah peradaban umat manusia, dalam sepanjang sejarah kehidupan umat manusia tersebut.
Sesungguhnya menulis pun adalah sebuah seni membangun ide, gagasan dan pemikiran yang mendalam nan cemerlang. Yang dapat bertransformasi menjelma, menjadi sebuah kebangkitan hakiki di tengah masyarakat. Hingga bermetamorfosis, menjadi sebuah peradaban tinggi nan agung.
Menulis pun merupakan seni membangun dialektika dan diskursus di tengah masyarakat. Sekaligus seni perlawanan intelektual terhadap kedzhaliman, kebatilan dan kediktatoran tirani angkara murka di muka bumi. Bahkan, menulis pun adalah seni tingkat tinggi dalam membangun masyarakat yang bangkit secara hakiki. Dan sekaligus dalam membangun sejarah perubahan, dan peradaban tinggi nan agung yang penuh inspirasi.
Jadi, menulis adalah seni mengukir peradaban umat manusia dalam sepanjang sejarah kehidupannya. Menulis untuk mengukir sejarah emas, dan mengukir perubahan yang penuh inspirasi yang meletupkan kebangkitan hakiki. Dengan menulis kita bisa merubah, dan merevolusi pemikiran umat manusia dan dunia. Hingga tegaklah peradaban tinggi nan agung, yang akan menjadi mercusuar dunia. Dan yang akan pula menerangi kembali seluruh dunia, dengan segala kebaikan dan keberkahan.
Karena itulah, dalam Islam aktivitas menulis merupakan sebuah aktivitas, yang sangat mulia selain aktivitas membaca. Dalam hal ini Rasulullah Saw bersabda:
قَيِّدُوا الْعِلْمَ بِالْكِتَابِ
“Ikatlah ilmu dengan menulisnya.” (Silsilah Ash-Shahiihah no. 2026).
Bahkan, beliau memerintahkan sebagian sahabatnya agar menulis ilmu. Salah satunya adalah Abdullah bin ‘Amru. Beliau bersabda kepadanya:
اكْتُبْ، فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، مَا خَرَجَ مِنْهُ إِلَّا حَقٌّ
“Tulislah. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya. Tidaklah keluar darinya melainkan kebenaran.” (HR. Ahmad 2/164 & 192, Al-Haakim 1/105-106, shahih).
Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata:
الْعِلْمُ صَيْدٌ وَالْكِتَابَةُ قَيْدُهُ قَيِّدْ صُيُوْدَكَ بِالْحِبَالِ الْوَاثِقَهْ
فَمِنَ الْحَمَاقَةِ أَنْ تَصِيْدَ غَزَالَةً وَتَتْرُكَهَا بَيْنَ الْخَلاَئِقِ طَالِقَهْ
"Ilmu adalah buruan dan tulisan adalah ikatannya. Ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat. Termasuk kebodohan kalau engkau memburu kijang. Setelah itu kamu tinggalkan terlepas begitu saja." [Diwan Syafi’I hal. 103].
Sampai-sampai imam Asy-Sya’bi rahimahullah berkata:
إِذَا سَمِعْتَ شَيْئًا فَاكْتُبْهُ وَلَوْ فِي الْحَائِطِ
“Apabila engkau mendengar sesuatu ilmu, maka tulislah meskipun pada dinding.” [Al-‘Ilmu no. 146 oleh Abu Khaitsama].
Karena itulah, Islam sendiri dalam wujud Khilafah Islamiyah-nya, merupakan sebuah peradaban yang sangat besar dan sangat tinggi nan agungnya. Yang pernah berjaya selama lebih dari 13 abad lamanya. Dan pernah menguasai 2/3 dunia, serta pernah pula menjadi mercusuar dunia, yang sangat cemerlangnya.
Dengan adanya bukti sangat banyaknya tersimpan dan tersebar luasnya karya-karya tulis para pujangga Islam, ilmuwan Islam dan para Ulama. Yang dituangkan dalam bentuk berbagai macam karya tulis, dalam berbagai disiplin ilmu. Yang diantaranya berwujud literatur berbentuk manuskrip-manuskrip, dan kitab-kitab klasik Islam. Yang notabene merupakan kekayaan khazanah pemikiran, dan peradaban Islam tersebut. Yang sampai sekarang tetap menjadi rujukan, dan referensi, yang memperkaya khazanah peradaban umat manusia, di era modern dan di era digital saat ini.
Bahkan, yang paling fenomenal, dan paling mengubah sejarah peradaban umat manusia, sampai ke akar-akarnya -hingga sekarang- adalah penulisan dan pembukuan kalamullah atau wahyu Allah. Yaitu, Al-Quran dan Al-Hadits -yang notabene sumber utama hukum Islam dan sumber utama pengetahuan, dan asas peradaban Islam- yang awalnya tersimpan dalam dada Rasulullah Saw dan para Sahabat radhiyallahu 'anhum. Kemudian, disampaikan dan diriwayatkan secara lisan oleh Rasulullah Saw dan para Sahabat radhiyallahu 'anhum. Kemudian, diriwayatkan pula secara mutawattir oleh para Sahabat, dan ditulis oleh para Sahabat tersebut di dalam lembaran-lembaran. Baik di kulit domba, kulit onta, pelepah kurma, dan lain-lain.
Kemudian, disempurnakan kembali penulisan ulang dengan membukukan Al-Quran. Dalam bentuk mushaf, pada zaman Khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu 'anhu, di era Khulafaur Rasyidin. Melanjutkan misi pembukuan Al-Quran, para Khalifah Rasyidin sebelumnya. Yakni, Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhuma.
Begitu pula, dengan Al-Hadits pun ditulis kembali dan dibukukan. Dalam banyak kitab-kitab hadits pada era Khulafaur Rasyidin, Khilafah Umayyah, Khilafah Abbasiyyah hingga Khilafah Utsmaniyyah. Hingga, terkumpul 6 kitab hadits induk yang dijuluki kutubus sittah, yaitu: Shahih Bukhari dihimpun oleh Imam Bukhari; Shahih Muslim dihimpun oleh Imam Muslim; Sunan An-Nasa'i atau disebut juga As-Sunan As-Sughra dihimpun oleh Imam Nasa'i;
Sunan Abu Dawud dihimpun oleh Imam Abu Dawud; Sunan At-Tirmidzi dihimpun oleh Imam Tirmidzi; dan Sunan ibnu Majah dihimpun oleh Imam Ibnu Majah. Dan juga masih banyak kitab-kitab hadits lainnya.
Dan seterusnya pun demikian, diriwayatkan penulisannya, dan pembukuannya diperbanyak. Serta disebarluaskan ke seluruh penjuru negeri-negeri Islam, dan di seluruh penjuru dunia. Yang diturunkan turun-temurun, dari generasi awal Islam, ke generasi Islam selanjutnya turun-temurun, hingga sekarang.
Karena itulah, Islam sangat menghargai ilmu dan karya tulis, serta para Ulama dan ilmuwan. Maka, sangat wajar dalam sejarah emas peradaban Islam, ketika Islam diterapkan. Pada seribu tahun yang lalu sekitar tahun 1000 M, di kota Bagdad -yang merupakan ibu kota pemerintahan Khilafah bani Abbasiyyah- pedagang buku Ibnu An-Nadim mempublikasikan Al-Fihrist (“Katalog Pengetahuan”). Buku ini terdiri dari 10 Jilid, dan memuat judul seluruh buku dalam bahasa Arab yang terbit hingga saat itu. Baik dari ilmu ushuluddin, astronomi, matematika, fisika, kimia, dan kedokteran.
Buku-buku yang masuk dalam katalog tersebut, seperti sudah terjamin mutu dan kualitasnya. Dan menjadi buruan para pengelola perpustakaan, berikut ahli salinnya, juga para cerdik cendekiawan atau intelektual Muslim yang tidak ingin ilmunya dikatakan orang “di bawah standar”, hanya karena tidak mengenal buku yang ada dalam katalog itu.
Buku yang saat itu masih manual asli ditulis tangan harganya sangat mahal. Untunglah, bagi yang tidak mampu membelinya tersedia di perpustakaan. Sehingga menjadi magnet daya tarik bagi santri, ataupun mahasiswa dari timur dan barat, pada perpustakaan-perpustakaan di dunia Islam.
Seperti juga, perpustakaan Universitas Cordoba Andalusia memiliki koleksi setengah juta buku. Di Kairo Mesir ada beberapa ratus pustakawan, yang melayani perpustakaan Khilafah dengan koleksi dua juta buku. Ini dua puluh kali lipat perpustakaan Mesir kuno di Alexandria, sebelum dihancurkan oleh Romawi.
Pernahkah kita menghitung berapa banyak sudah buku yang kita tulis, dengan cara manual asli menggunakan kedua tangan kita langsung. Dan sudah berapa banyak pula buku, yang kita telah beli, dan kita miliki, dapat dimuat dalam rak buku koleksi kita ?! Satu rak buku standar, yang banyak terdapat di rumah-rumah, dapat memuat rata-rata sekitar 100 buku.
Jadi, di perpustakaan Kairo Mesir kira-kira terdapat 20.000 rak buku. Kalau satu rak berikut ruang untuk orang lewat perlu area satu meter persegi. Maka, berarti luas lantai perpustakaan itu kira-kira dua hektare. Padahal, saat itu belum ada komputer, laptop, gadget, internet dan media sosial, serta belum ada pula sistem manajemen pengarsipan digital. Dahulu itu semua dikerjakan secara manual, namun sangat produktif sekali.
Para pustakawan di masa itu pun, wajib memiliki ilmu yang terkait dengan koleksi yang diurusnya. Ia bukan hanya seseorang yang mengetahui judul tiap buku, pengarang, dan di rak mana letaknya. Namun, seorang pustakawan yang mengurus buku-buku fiqih harus pula seorang faqih. Seperti halnya, pustakawan yang mengurus karya-karya al-Biruni atau al-Haitsam, harus pula seorang astronom atau matematikawan.
Para pembaca pun dapat berkonsultasi, tentang sinopsis dan isi buku-buku itu pada para pustakawan. Pada saat yang sama dan di usia yang sama, Ibnu Sina (Avicenna) sedang memulai mengisi dunia dengan karya-karya intelektual dan ilmiahnya yang hebat.
Sungguh, masyarakat Islam benar-benar dalam membangun peradabannya. Telah dituntun oleh sabda Nabinya, yaitu baginda Rasulullah Saw yang bersabda:
مَنْ جَاءَ مَسْجِدِى هَذَا لَمْ يَأْتِهِ إِلاَّ لِخَيْرٍ يَتَعَلَّمُهُ أَوْ يُعَلِّمُهُ فَهُوَ بِمَنْزِلَةِ الْمُجَاهِدِ فِى سَبِيلِ اللَّهِ
“Barangsiapa yang mendatangi Masjidku ini, tidaklah ia mendatanginya kecuali untuk kebaikan yang akan dipelajarinya atau diajarkannya, maka dia setara dengan kedudukan mujahid fii sabiilillah.” (HR. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah no. 227).
قَيِّدُوا الْعِلْمَ بِالْكِتَابِ
“Ikatlah ilmu dengan menulisnya.” (Silsilah Ash-Shahiihah no. 2026).
Di Baghdad Irak saja, ada 200 perpustakaan pribadi yang diwakafkan untuk umum. Dan tidak main-main, banyak yang mewakafkannya, berikut suatu aset produksi untuk membiayai operasional perpustakaan selamanya. Sayang, saat serbuan tentara Mongol, nyaris seluruh perpustakaan itu dihancurkan, sampai air sungai Tigris menjadi hitam warnanya. Itulah, bila kita lihat sejarah perpustakaan pada masa Islam berjaya, dalam Naungan Khilafah.
Bahkan, sebelum serangan dan serbuan pasukan atau tentara Mongol. Khalifah Harun Ar-Rasyid, diantaranya membangun perpustakaan, yang diberi nama Baitul Hikmah pada masa Khilafah bani Abbasiyah. Perpustakaan kaum Muslim yang dihancurkan oleh pasukan Mongol tersebut. Ini dapat membuktikan, bahwa Khilafah, melalui Khalifah Harun Ar-Rasyid. Adalah bukti bahwa Islam sangat menghargai ilmu pengetahuan, dan karya-karya tulis. Sampai suatu ketika ada penulis kitab, yang datang kepada Khalifah Harun Ar-Rasyid. Maka, dibayarlah penulis kitab tersebut, seberat timbangan bukunya. Dan dibayar, dengan berat emas (dinar), yang setara dengan berat buku tersebut.
Pada masa beliau pun, dana pemerintahan Khilafah Islam, digunakan untuk pendidikan dan penelitian. Sehingga, pada masa Khilafah bani Abbasiyah ini, melahirkan banyak para ilmuwan terkemuka Islam, yang nama dan karyanya sangat harum sampai sekarang di zaman now saat ini. Seperti, Ibnu Khaldun (bapak sosial politik dan ekonomi Islam), Ibnu Sina (bapak kedokteran Islam), Al-Khawarizmi (bapak akuntansi Islam dan matematika Islam), dan lain-lain. Maka, pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid di era Khilafah bani Abbasiyah ini, disebut sebagai masa puncak kejayaan ilmu pengetahuan dan karya tulis ilmiah.
Dengan menghargai penulis, pemikiran-pemikiran sebagaimana mestinya, menumbuhkan motivasi dan inspirasi kebaikan bagi orang-orang. Alangkah baiknya, kita meneladani Khalifah Harun Ar-Rasyid dan Khalifah-Khalifah sebelumnya dan sesudahnya. Terutama generasi Islam yang pertama, baik dari kalangan Sahabat radhiyallahu 'anhum, Tabi'in dan Tabi'ut Tabi'in. Dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan karya-karya tulis ilmiah. Dalam mengukir sejarah peradaban Islam yang tinggi nan agung kembali, di masa depan.
Karena itulah, sangat benar dan sangat tepat sekali bila Allah SWT berfirman pada wahyu, yang pertama, diturunkan kepada Rasulullah Saw di Goa Hira':
اقرأ باسم ربك الذي خلق ۞ خلق الإنسان من علق
اقرأ وربك الأكرم ۞ الذي علم بالقلم
“Bacalah dengan nama Rabb-mu yang telah menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabb-mu adalah yang Maha Pemurah. Yang mengajarkan (manusia) dengan (perantara) pena (tulisan).” (QS. Al-Alaq: 1-4).
Wahyu pertama yang turun kepada Rasulullah Saw adalah perintah membaca, yakni bacalah dari hafalanmu. Jika tidak ada, maka dari tulisanmu. Maka, Allah SWT menjelaskan bagaimana hendaknya kita mengobati penyakit ini, yaitu penyakit lupa. Cara mengobati penyakit lupa, adalah dengan menulis, sekaligus dalam mengukir peradaban Islam, yang tinggi nan agung.
Tulisan adalah salah satu bahan utama, agar ibadah membaca bisa dilakukan. Maka, membuat tulisan sebagai bahan untuk membaca juga merupakan amal shalih. Begitu pula, menulis pun dapat menjadi seni mengukir peradaban Islam, yang agung dan tinggi, dalam bingkai Khilafah.
Sedemikian penting dan besarnya, peran pena dan apa yang ditulis oleh umat manusia. Allah sampai bersumpah, menggunakan nama pena dalam Al-Quran Surat Al-Qalam (68) ayat ke-1. Allah SWT berfirman:
نٓۚ وَٱلۡقَلَمِ وَمَا يَسۡطُرُونَ
“Nun, demi kalam dan apa yang mereka tulis.” (QS. Al-Qalam: 1).
Imam Al-Qurtubi rahimahullah berkata: “Bagi Allah bersumpah dengan apa yang disukai dari makhluk-Nya, baik hewan dan makhluk padat. Meskipun tidak diketahui hikmah hal itu.” [Al-Jami Liahkamil Qur’an, 19/237].
Salah satu nama Al-Quran adalah Al-Kitab. Bahkan, penyebutan kata Al-Kitab jauh lebih banyak, dibandingkan dengan kata Al-Quran di dalam kitab suci Al-Quran sendiri. Kata “Al-Kitab” disebutkan sebanyak 230 kali. Sedangkan, kata “Al-Quran” hanya disebutkan sebanyak 58 kali.
Al-Quran berarti “bacaan”, sedangkan Al-Kitab berarti “tulisan”. Lebih banyaknya penggunaan kata Al-Kitab, daripada Al-Quran. Menunjukkan tingginya anjuran Al-Quran, untuk menulis. Tanpa mengesampingkan, pentingnya membaca pada saat yang sama. Juga menegaskan, secara tersirat pula, bahwa Al-Quran adalah sumber utama, sekaligus asas mengukir peradaban dan peradaban itu sendiri.
Sungguh, Allah Yang Mahasuci pun menjadikan aktivitas, atau pekerjaan menulis. Sebagai salah satu bagian utama, dalam menertibkan setiap dan seluruh makhluk-Nya. Dan menjadikannya arsip ataupun dokumentasi, sebagai bukti di saat Dia mengadili seluruh hamba-Nya, di Yaumil Hisab kelak.
Dua Malaikat utama Allah, memiliki tugas mencatat seluruh amal perbuatan, dan perkataan, serta pilihan hidup seorang hamba, termasuk tulisan-tulisan kita. Baik ataukah buruknya, akan menentukan hasil akhir peradaban umat manusia di Akhirat nanti. Apakah kelak ia berakhir bahagia di Surga, ataukah justru berakhir tragis di neraka ?!. Catatan yang ditulis oleh para Malaikat tersebut, ternyata menjadi pengingat bagi manusia. Ketika catatan mereka dibuka, di Hari Persidangan, oleh Allah Yang Mahatahu lagi Maha Mengadili.
Karena itulah, tetaplah menulis untuk menolong agama Allah ini, semata-mata karena Allah dan mengharapkan ridha-Nya semata -dan semoga itu menjadi bagian dari amal shalih kita-. Dalam seni mengukir peradaban Islam yang tinggi nan agung. Dalam bingkai Khilafah Rasyidah Islamiyah, yang akan mewujudkan kembali Khairu Ummah (umat yang terbaik), dan Islam Rahmatan Lil Alamin. Yang menebar rahmah, dan berkah bagi dunia dan alam semesta. Wallahu a'lam bish shawab. []