Oleh: Zakariya al-Bantany
Al-Imam Al-Ghazali rahimahullah, dalam kitab Ihya' Ulumuddin beliau menjelaskan:
وخلق الدنيا زادا للمعاد ليتناول منها ما يصلح للتزود فلو تناولوها بالعدل لانقطعت الخصومات وتعطل الفقهاء ولكنهم تناولوها بالشهوات فتولدت منها الخصومات فمست الحاجة إلى سلطان يسوسهم واحتاج السلطان إلى قانون يسوسهم به فالفقيه هو العالم بقانون السياسة وطريق التوسط بين الخلق إذا تنازعوا بحكم الشهوات فكان الفقيه معلم السلطان ومرشده إلى طرق سياسة الخلق وضبطهم لينتظم باستقامتهم أمورهم في الدنيا ولعمري إنه متعلق أيضا بالدين لكن لا بنفسه بل بواسطة الدنيا فإن الدنيا مزرعة الآخرة ولا يتم الدين إلا بالدنيا والملك والدين توأمان فالدين أصل والسلطان حارس وما لا أصل له فمهدوم وما لا حارس له فضائع ولا يتم الملك والضبط إلا بالسلطان وطريق الضبط في فصل الحكومات بالفقه.
"Dunia diciptakan sebagai bekal kembali, sebagai tempat mencari sesuatu yang layak dijadikan bekal. Jika cara mencarinya masyarakat dilakukan dengan jalan adil, maka sudah pasti tidak akan melahirkan permusuhan, sehingga posisi seorang yang faham agama menjadi tidak diperlukan lagi. Akan tetapi, kecondongan masyarakat berkata lain, mereka mencari dunia disertai syahwat, sehingga mengakibatkan lahirnya permusuhan.
Di sinilah kemudian posisi seorang pemimpin (imam/penguasa/sulthan/khalifah) dibutuhkan untuk mengatur. Untuk itu pula, seorang pemimpin membutuhkan sejumlah peraturan (UU/sistem). Pada akhirnya, dari sini seorang faqih (orang yang memahami agama/Ulama) tampil sebagai sosok yang mengetahui hukum pengaturan itu (siyasah/politik/kekuasaan/negara) dan jalan untuk menengahi segala keperluan makhluk itu, yaitu saat mereka saling berbantah-bantahan dengan masing-masing kepentingannya.
Disinilah kemudian seorang faqih punya peran penting sebagai orang yang memberikan peringatan kepada pemimpin (penguasa/imam/sulthan/khalifah), menunjukkan cara mensiasati (mengurusi/mengatur) kepentingan masyarakat itu, dan menetapkan batas aturan yang bisa diterima segenap pihak yang berkepentingan terkait dengan keduniaan masyarakat itu. Dan untuk penegakkan pemerintahan, bagaimanapun juga ia selalu berkorelasi dengan agama, namun tidak secara utuh, melainkan dengan menjadikan dunia sebagai perantara, karena dunia merupakan ladang akhirat. Tidak sempurna suatu agama tanpa dunia. Baik pemerintahan maupun agama, keduanya berdiri saling melengkapi. Agama merupakan pondasi, sementara pemimpin (imam/sulthan/penguasa/khalifah) adalah perawatnya. Segala sesuatu yang tidak memiliki pondasi akan mudah roboh.
Demikian pula, sesuatu yang memiliki pondasi namun tanpa ada yang merawat/menjaganya maka akan berlangsung sia-sia. Tidak akan berlangsung normal, suatu pemerintahan (kekuasaan/negara) dan peraturan tanpa keberadaan seorang pemimpin (imam/sulthan/khalifah). Dan cara satu-satunya penegakkan peraturan dalam suatu pemerintahan tidak ada jalan lain melainkan dengan fiqih (ilmu hukum/tsaqafah Islam) siyasah (perihal politik/pemerintahan/ketatanegaraan Islam)." [Al-Ghazali, Ihya' Ulumuddin, Kairo: Maktabah asy-Syuruq ad-Daulaiyah, 2010, 1/27].
Dalam hal ini juga, Syaikhul Islam Taqiyuddin Ibn Taimiyyah rahimahullah, pun menjelaskan:
إن ولاية أمر الناس من أعظم واجبات الدين، إذ لا قيام للدين إلا بها.
"Sesungguhnya tugas mengatur dan mengelola (mengurusi) urusan orang banyak (dalam sebuah pemerintahan dan negara), adalah termasuk kewajiban agama yang paling agung. Hal itu disebabkan oleh tidak mungkinnya agama dapat tegak dengan kokoh tanpa adanya dukungan negara." [Taqiyuddin Ibnu Taimiyyah, Siyasah asy-Syar’iyyah fi Ishlah ar-Ra’i wa ar-Ra’iyyah, Majmu' al-Fatâwa, 28/390].
Oleh karena itulah, sesungguhnya perkara kekuasaan/pemerintahan/negara (politik/siyasah) bukanlah urusan dunia (yang sifatnya perkara teknis) belaka, namun juga itu pun masuk pula urusan agama Islam kita, yaitu masuk wilayah perkara ibadah ghairu mahdhah (mu'amalah), dan perkara akhirat kita juga sekaligus perkara surga dan neraka alias itu pun semua perkara yang lahir dari Tauhid/akidah dan Syariah.
Dan Islam agama kita ini, sangatlah sempurna mengatur seluruh aspek kehidupan termasuk urusan dunia, bahkan termasuk pula urusan negara (kekuasaan/pemerintahan/politik) itu sendiri.
Sebab, Islam adalah agama (dien: ideologi/sistem) yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, untuk mengatur hubungan manusia dengan Al-Khaliq (Allah SWT Sang Maha Pencipta) atau hablun minallâh, mencakup perkara: akidah dan ibadah; mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri (hablun minannafsiy), mencakup perkara: makanan, minuman, pakaian dan akhlaq; dan mengatur hubungan manusia dengan sesamanya atau mu'amalah (hablun minannâs), mencakup perkara: politik, ekonomi, sosial-budaya, pergaulan pria-wanita, pendidikan, kesehatan, hukum, peradilan, persanksian, pertahanan dan keamanan.
Allah SWT telah berfirman:
الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ ۚ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ ۙ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ.
"Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu." (QS. Al-Maidah [5]: 03).
Dengan kata lain, Islam adalah akidah ruhiyah (akidah spritual: keimanan dan ibadah mahdhah) dan sekaligus juga akidah siyasiyah (akidah politik, maksudnya adalah akidah yang mengatur dan mengurusi segala urusan kehidupan, tidak hanya mengatur dan mengurusi keimanan dan ibadah mahdhah saja, namun juga mengurusi dan mengatur makanan, minuman, pakaian dan akhlaq serta pula ibadah ghairu mahdhah atau mu'amalah seperti: politik, ekonomi, sosial, pendidikan, hukum, dan seterusnya tersebut).
Oleh karena itu, dalam Islam tidak ada pemisahan antara agama dengan dunia dan tidak ada pula pemisahan antara dunia dengan agama, justru agama Islam itu hadir diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW tersebut untuk mengatur dan mengurusi seluruh aspek kehidupan khususnya pula perkara dunia dan negara, bagi seluruh umat manusia dan seluruh alam.
Allah SWT berfirman:
قُلْ يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ لآ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ يُحْيِ وَيُمِيتُ فَئَامِنُوا بِاللهِ وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ اْلأُمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ بِاللهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ.
"Katakanlah: 'Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Ilah (Tuhan dan sesembahan yang berhak disembah) selain Dia, yang menghidupkan dan yang mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk'." (QS. Al-A’rof [7]: 158).
Perintah Allah SWT dalam ayat ini, “Katakanlah: “Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua”, ini menunjukkan dan menegaskan, bahwa Nabi Muhammad SAW -beserta risalah Islamnya diturunkan- diutus untuk seluruh umat manusia dan seluruh alam, sebagaimana pula ditegaskan dalam firman Allah SWT ini:
وَمَآ أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ كَآفَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ.
"Dan Kami tidak mengutusmu (Muhammad), melainkan kepada umat manusia seluruhnya, sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui." (QS. Saba’ [34]: 28).
وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ.
"Tidaklah Kami mengutusmu (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta." (QS. Al-Anbiyâ’ [21]: 107).
Rasulullah SAW pun, dan Khulafaur Rasyidin, serta para Salafush Shalih, beserta pula para Khalifah setelahnya tidak pernah memisahkan antara agama dengan dunia dan negara, sejak masa kekuasaan Daulah Islam pertama di Madinah dengan kepala negara pertamanya yaitu Rasulullah SAW, kemudian dilanjutkan masa Khulafaur Rasyidin (Khilafah Rasyidah/Khilafah ala Minhajin Nubuwwah), hingga masa Khilafah Umayyah, Khilafah Abbasiyyah dan Khilafah Utsmaniyyah. Jadi, totalnya selama lebih dari 13 abad (1300 tahun) lamanya tersebut.
Oleh karena itulah, wajib hukumnya berislam secara kaffah (totalitas) dalam segala aspek kehidupan khususnya pula kehidupan dunia dan negara tersebut. Dan haram hukumnya mengambil Islam sebagian (parsial) dan meninggalkan sebagiannya. Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ.
"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu." (QS. Al-Baqarah [2]: 208).
وَنَزَّلۡنَا عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ تِبۡيَٰنٗا لِّكُلِّ شَيۡءٖ وَهُدٗى وَرَحۡمَةٗ وَبُشۡرَىٰ لِلۡمُسۡلِمِينَ.
"Kami telah menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Quran) sebagai penjelasan atas segala sesuatu, petunjuk dan rahmat serta kabar gembira bagi kaum Muslim (QS. An-Nahl [16]: 89).
أَفَتُؤۡمِنُونَ بِبَعۡضِ ٱلۡكِتَٰبِ وَتَكۡفُرُونَ بِبَعۡضٖۚ فَمَا جَزَآءُ مَن يَفۡعَلُ ذَٰلِكَ مِنكُمۡ إِلَّا خِزۡيٞ فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۖ وَيَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ يُرَدُّونَ إِلَىٰٓ أَشَدِّ ٱلۡعَذَابِۗ وَمَا ٱللَّهُ بِغَٰفِلٍ عَمَّا تَعۡمَلُونَ.
"Apakah kalian mengimani sebagian Al-Kitab dan mengingkari sebagian yang lain? Tidak ada balasan bagi orang yang berbuat demikian di antara kalian, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada Hari Kiamat mereka dikembalikan ke dalam siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kalian perbuat." QS. Al-Baqarah [2]: 85).
Bahkan, sebenarnya fungsi agama (Islam) justru adalah untuk mengurusi, mengatur, menertibkan serta mensinergikan segala perkara kehidupan umat manusia termasuk perkara dunia dan negara tersebut, agar sejalan apa yang dikehendaki oleh Allah SWT sehingga membawa rahmah, keadilan, keamanan, ketertiban, kesejahteraan dan keberkahan, kebahagiaan dan keselamatan bagi umat manusia itu sendiri dan seluruh penjuru alam.
Maka, bila dipaksa dipisahkan antara agama (Islam) dengan dunia dan negara ataupun sebaliknya, itulah yang namanya sekulerisme (fashluddin 'anil hayah wad daulah) alias liberalisme beserta ideologi kufurnya kapitalisme dan sistem politik demokrasi serta sistem ekonomi kapitalis-liberal, yang notabene justru itu adalah akidah kufur jahiliyah dan ideologi kufur jahiliyah warisan kafir barat penjajah. Dan itu hukumnya haram dan dosa besar, sekaligus pula itu pun termasuk perkara bid'ah dhalalah itu sendiri, bahkan merupakan bid'ah dhalalah kubro, yang sangat bertentangan dengan akidah Tauhid dan Syariah Islam itu sendiri. Serta tidak ada tuntutan dan tuntunannya dari Rasulullah Saw dan Salafush Shalih, alias itu bukan ajaran dan bukan Sunnah Rasulullah Saw.
Dalam hal ini, sudah dijelaskan dan telah ditegaskan dalam banyak hadits Nabi Saw, diantaranya sabda Rasulullah SAW berikut ini:
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718).
Dan riwayat yang lain, Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan berasal dari kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718).
Bahkan, Rasulullah SAW setiap memulai khutbah biasanya beliau pun mengucapkan sabdanya:
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah (Al-Quran) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam (As-Sunnah). Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan.” (HR. Muslim no. 867).
Dalam riwayat yang lain seperti diriwayatkan oleh An Nasa’i, Rasulullah Saw bersabda:
مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَلا مُضِلَّ لَهُ ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلا هَادِيَ لَهُ ، إِنَّ أَصَدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ ، وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا ، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ ، وَكُلَّ ضَلالَةٍ فِي النَّارِ.
“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang bisa menyesatkannya. Dan yang disesatkan oleh Allah tidak ada yang bisa memberi petunjuk padanya. Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka.” (HR. An-Nasa’i, no. 1578, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan An Nasa’i).
Dalam riwayat yang lebih lengkap, Rasulullah SAW bersabda:
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap mendengar dan ta’at kepada pemimpin (ulil amri dalam pemerintahan Islam, Khilafah/Daulah Islam) walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Karena barangsiapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku nanti, dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka, wajib bagi kalian untuk berpegang pada sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin (Khilafah Rasyidah/Khilafah ala Minhajin Nubuwwah/Khilafah yang mengikuti metode Kenabian) yang mereka itu telah diberi petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Jauhilah dengan perkara (agama) yang diada-adakan karena setiap perkara (agama) yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah dhalalah (kesesatan).” (HR. At-Tirmidzi, no. 2676. ia berkata: “hadits ini hasan shahih”).
Dalam sebuah hadits, Rasulullah Saw pun bersabda:
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ اْلأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ اْلأَوَّلِ فَاْلأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ.
“Dulu Bani Israil diurus oleh para Nabi. Setiap kali seorang Nabi meninggal, ia digantikan oleh Nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada Nabi sesudah aku. Yang akan ada adalah para Khalifah dan mereka banyak.” Para Sahabat bertanya, “Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi Saw bersabda, “Penuhilah baiat yang pertama. Yang pertama saja. Berikanlah kepada mereka hak mereka. Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka atas apa yang diminta agar mereka mengurusnya.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad dan Ibn Majah).
Hadits tersebut, dan banyak lagi yang semakna dengan itu, menjelaskan kepada kita bahwa para Nabi selain menyampaikan risalah wahyu, juga mereka mempraktikkan risalah tersebut dalam kehidupan sebuah masyarakat dan negara yang dipimpinnya.
Makna, frasa "mengatur urusan mereka (tasuusuhum)", berasal dari akar kata sasa-yasusu-siyasatan (pengaturan/pengurusan). Praktik itu adalah pengaturan/pengurusan masyarakat dengan aturan yang bersumber dari wahyu Ilahi.
Artinya, praktik pengaturan/pengurusan (politik/kekuasaaan/negara) adalah perilaku dan tabi'at yang dilakukan oleh para Nabi sepanjang masa kerisalahannya, sejak zaman Nabi Adam AS hingga zaman Nabi Muhammad Rasulullah Saw.
Kita bisa melihat, misalnya teladan agung nan mulia kehidupan Nabi Adam AS, Nabi Idris AS, Nabi Nuh AS, Nabi Shalih AS, Nabi Ibrahim AS, Nabi Luth AS, Nabi Yusuf AS, Nabi Dawud AS, Nabi Sulaiman AS ataupun Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS, Nabi Dzulkifli AS dan lain-lain. Sehingga sangat tepat praktik kehidupan para Nabi tersebut, ketika mereka memimpin umat adalah kehidupan pengaturan/pengurusan dengan risalah (kehidupan politik/kekuasaan/negara).
Praktik ini pun terjadi sepanjang masa hingga zaman Nabi Muhammad Rasulullah SAW. Hanya Nabi Muhammad SAW yang menegaskan bahwa setelah beliau SAW wafat tidak ada lagi Nabi, tetapi estafet otoritas pengaturan segala urusan masyarakat (manusia) diserahkan kepada para Khalifah.
Dalam thariqah dakwah Rasulullah SAW pun selain fikriyah (pemikiran/intelektual) juga dakwah Rasulullah SAW bersifat siyasiyah (politis), yaitu mengurusi dan mengatur segala urusan umat termasuk perkara agama, dunia dan negara dengan risalah wahyu ilahi dan berupaya mewujudkan kekuasaan Islam (Daulah Islam/negara Islam). Sebagai metode baku dan praktis menerapkan Islam secara totalitas dalam segala aspek kehidupan, dalam pengurusan dan pengaturan segala urusan kehidupan umat baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Karena itu pula, dalam thariqah dakwah Rasulullah SAW pun beliau SAW melakukan aktivitas thalabun nushrah (memobilisasi dukungan terhadap dakwah) dari simpul-simpul umat khususnya dari Ahlul Quwwah (yang memiliki kekuatan real) di tengah umat. Seperti, beliau sering melakukan aktivitas kontak intensif, dan mendakwahi para tokoh dan petinggi Arab serta kabilah-kabilah Arab di Mekkah dan di Madinah, untuk memeluk Islam dan menolong dakwah beliau Saw, untuk menerapkan Islam secara praktis totalitas dalam segala aspek kehidupan -termasuk agama, dunia dan negara- dan dalam menegakkan kekuasaan Islam untuk menerapkan Islam secara real totalitas dalam segala aspek kehidupan tersebut.
Hingga Rasulullah SAW pun pula telah mencontohkan bagaimana beliau SAW memohon kekuasaan kepada Allah SWT untuk mewujudkan hal itu.
… وَاجْعَل لِّي مِن لَّدُنكَ سُلْطَانًا نَّصِيرًا.
"…Dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong." (QS. Al-Isra’ (17): 80).
Imam Qatadah menjelaskan, “Nabi Saw menyadari bahwa tidak ada daya bagi beliau dengan perkara ini kecuali dengan sulthân (kekuasaan). Karena itu beliau memohon kekuasaan yang menolong untuk Kitabullah, untuk hudûd Allah, untuk kewajiban-kewajiban dari Allah dan untuk tegaknya agama Allah. [Imam ath-Thabari, Tafsîr ath-Thabarî].
Kekuasaan itu tidak ada artinya jika bukan sulthân[an] nashîr[an] (kekuasaan yang menolong). Kekuasaan yang menolong itu hanyalah kekuasaan yang sedari awal memang ditujukan untuk menolong agama Allah SWT, Kitabullah dan untuk menegakkan Syariah-Nya. Kekuasan seperti ini hanyalah kekuasaan yang Islami sejak dari asasnya, bentuknya, sistemnya, hukumnya, perangkat-perangkatnya, struktur dan semua penyusunnya. Kekuasaan yang menolong seperti itu adalah Daulah Islam ataupun Khilafah Rasyidah ‘ala minhâj an-Nubuwwah.
Ini pun sejalan dengan firman Allah SWT, yang bertujuan menciptakan manusia selain sebagai hamba-Nya (Abdullâh) sebagaimana yang termaktub dalam QS. Adz-Dzariyat: 56, juga pun sekaligus bertujuan menjadikannya Khalifah-Nya di muka bumi ini dalam mengurusi, mengatur dan memakmurkan bumi milik Allah tersebut dengan hanya menggunakan hukum-hukum Allah SWT (Syariah-Nya) saja bukan dengan selainnya, sebagaimana yang termaktub dalam firman-Nya ini:
وَإِذۡ قَالَ رَبُّكَ لِلۡمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٞ فِي ٱلۡأَرۡضِ خَلِيفَةٗۖ.
"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat, 'Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi'." (QS. Al-Baqarah [2]: 30).
Adapun secara bahasa, Khalifah (jamak: Khulafâ') berasal dari kata 'Khalafa' bermakna 'menggantikan'. Sistem pemerintahan dan kenegaraannya adalah sistem Khilafah/Imamah.
Khilafah adalah kepemimpinan global bagi seluruh umat Islam di dunia, untuk menjalankan seluruh Syariah Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan, dan menyebarluaskan risalah Islam ke segala penjuru dunia dengan dakwah dan jihad.
Para Khalifah mereka menggantikan Rasulullah SAW untuk masalah pengaturan urusan manusia atau masyarakat dengan hukum-hukum Allah SWT saja. Bukan menggantikan Rasulullah SAW dalam masalah Kenabian (Nubuwwah).
Karena itulah, setelah Nabi Muhammad SAW maka tidak ada lagi Nabi setelah beliau SAW. Dan Khalifah bukanlah jabatan Kenabian, melainkan jabatan politik kepala negara Khilafah (Daulah Islam) pengganti Rasulullah tersebut, dalam pengurusan agama, dunia dan negara atau seluruh urusan manusia atau masyarakat, baik di dalam negeri maupun di luar negeri hanya dengan hukum-hukum Allah atau Syariah Islam saja bukan selainnya.
Kedudukan Khilafah sendiri dalam pokok-pokok Syariah dimasukkah oleh Ulama ushuluddin, dalam masalah pokok-pokok agama, seperti bab al-Imamah (al-Khilafah).
Dalam hal ini, Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani Al-Azhari rahimahullah pun menjelaskan:
لأن الأمر لا يتعلق بقيام دولة أية دولة، و لا بقيام دولة تسمي إسلامية. بل الأمر يتعلق بقيام دولة إسلامية تطبق الإسلام نظاما منبثقا عن العقيدة الإسلامية، تطبقها أحكاما شرعية بإعبتارها حكم الله، فتستأنف الحياة الإسلامية كاملة في الداخل، و تحمل الدعوة الإسلامية إلي الناس كافة في الخارج. و هذه الولة الإسلامية يجب أن تقوم علي العقيدة الإسلامية و ما يبني عليها أو ما يتفرع عنها من أفكار، ثم تقوم علي القوانين و النظم التي تنبثق عن العقيدة الإسلامية. و ذلك حتي تنبعث حوافز هذه الحياة من الداخل النفس فتوجد العقلية الإسلمية و النفسية الإسلامية التي تكلف تنفيذ النظم و القوانين تنفيذا طوعيا عن شوق و اطمأنان من كل من الحاكم و المحكوم علي السواء. و لا بد أن تكون هذه الدولة الإسلامية في الأمة التي تقيمها، و في أولي الأمر الذين يتولون رعاية شؤون الأمة، إسلامية في جميع حياتها، محققة استأناف الحياة الإسلامية تحقيقا يمكنها من حمل رسالتها للعالم. و يمكن غير المسلمين من مشاهدة نور الإسلام في دولة حتي يدخلوا في دين الله أفواجا.
"Sebab, persoalannya bukanlah sekedar mendirikan sembarang negara; dan tidak pula sekedar mendirikan negara yang dinamai Islam. Tetapi, persoalannya berhubungan dengan mendirikan Daulah Islam (Khilafah/negara Islam), yang akan menerapkan Islam sebagai sebuah sistem yang terpancar dari akidah Islam. Negara tersebut akan menerapkan hukum syara' sebagai hukum Allah, melanjutkan kehidupan Islam secara menyeluruh di dalam negeri, dan mengemban dakwah Islam kepada seluruh umat manusia di luar negeri.
Daulah Islam (negara Islam/Khilafah) ini wajib ditegakkan di atas akidah Islam, beserta segala hal yang dibangun di atasnya atau berbagai cabang pemikiran yang digali darinya. Kemudian, Daulah Islam (Khilafah) ini didirikan di atas perundang-undangan yang terpancar dari akidah Islam; sedemikian rupa sehingga muncul dorongan dari dalam jiwa untuk mencapai kehidupan yang demikian. Lalu terbentuklah pola pikir Islami (aqliyah Islamiyyah) dan pola hidup Islami (nafsiyah Islamiyyah) yang akan menjamin pelaksanaan aturan dan perundang-undangan dengan penuh ketaatan, yang muncul dari kerinduan dan ketenangan, baik dari pihak penguasa (khalifah) maupun rakyat.
Daulah Islam (Khilafah) yang ditegakkan umat dan dipimpin oleh Ulil Amri (khalifah dan strukturnya), yang menjalankan pemeliharaan urusan umat, haruslah menerapkan Islam dalam seluruh aspek kehidupannya. Juga harus mampu mewujudkan kehidupan Islam, yang memungkinkan orang-orang non-Muslim menyaksikan cahaya Islam di negaranya, sehingga mereka berbondong-bondong masuk ke dalam agama Allah." [Taqiyuddin An-Nabhani, Ad-Daulah Al-Islamiyyah, hal. 236]
Oleh karena itu, kewajiban mendirikan Khilafah bagi umat Islam adalah persoalan utama umat Islam (al-qadhiyah masyiriyah) dan Khilafah (Daulah Islam) pun adalah mahkota kewajiban dalam Islam (taâjul furûdh). Sebab dengan Khilafah seluruh hukum-hukum Islam atau Syariah Islam bisa diterapkan secara sempurna dan menyeluruh.
Karena, keberadaan Khilafah mutlak diperlukan berkaitan dengan empat perkara penting dalam Islam, yaitu:
Pertama: Kewajiban penegakan Syariah Islam secara kaffah (menyeluruh) dalam segala aspek kehidupan yang merupakan konsekuensi keimanan (Tauhid) dan ketaqwaan seorang Muslim/Mukmin. Mustahil hal tersebut terwujud tanpa adanya Khilafah. Sebab, hanya sistem Khilafah-lah yang memiliki pilar yang jelas yaitu kedaulatan di tangan hukum syara’. Sementara sistem yang lain seperti demokrasi (kapitalisme-sekulerisme), komunis (sosialisme-atheisme), kerajaan (monarkhi), atau teokrasi serta sistem kufur jahiliyah lainnya menyerahkan kedaulatan sumber hukum kepada manusia.
Kedua: Khilafah adalah sangat dibutuhkan oleh umat untuk persatuan umat Islam (ukhuwah Islamiyah). Kewajiban persatuan umat Islam adalah perkara yang mutlak (qath’iy) yang diperintahkan oleh hukum syara’ dan akidah Islam. Persatuan umat tidak bisa dilepaskan dari kesatuan kepemimpinan umat Islam di seluruh penjuru dunia. Dan hal ini akan terwujud jika di tengah-tengah umat Islam ada satu Khalifah tunggal untuk seluruh Dunia Islam.
Tentang wajibnya satu pemimpin bagi umat Islam seluruh penjuru dunia ini, ditegaskan oleh Rasulullah SAW dalam hadistnya tentang kewajiban membai’at seorang Khalifah dan memerintahkan untuk membunuh siapapun yang mengklaim sebagai Khalifah yang kedua, setelah Khalifah yang pertama ada. Rasulullah SAW bersabda:
إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا اْلآخِرَ مِنْهُمَا.
"Jika dibaiat dua orang Khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya." (HR. Muslim).
Berdasarkan hal ini Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Para Ulama telah bersepakat bahwa tidak boleh diakadkan ba'iat kepada dua orang Khalifah pada satu masa, baik wilayah Negara Islam itu luas ataupun tidak.”
Sementara itu sistem nation state (negara bangsa) dan kerajaan baik berbentuk republik-demokrasi (kapitalisme-sekulerisme), sosialis-komunis (sosialisme-atheisme) maupun monarkhi (kerajaan) dan theokrasi yang diadopsi oleh umat Islam sekarang nyata-nyata telah memecah-belah umat Islam dan menghalangi kepemimpinan tunggal di tubuh umat Islam. Dan negara bangsa (nation state) dengan paham sempit nasionalismenya tersebut, hakikatnya adalah penjara raksasa bagi umat Islam hingga mereka tidak bisa bersatu, terpecah-belah, tidak punya kekuatan dan daya serta menjadi sangat lemah, terbunuh dan menjadi bulan-bulanan negara-negara kafir penjajah barat dan timur.
Ketiga: Khilafah dibutuhkan oleh umat untuk mengurusi mengatur, menjaga, dan melindungi umat Islam. Sebab fungsi Imam yang menjadi kepala negara (Khalifah) yang utama dalam Islam adalah ar-ra’in (pengurus) dan al-junnah (pelindung) umat.
Berdasarkan hal ini adalah kewajiban negara untuk menjamin kebutuhan pokok tiap individu rakyatnya (baik berupa sandang, pangan, dan papan). Termasuk menjamin pendidikan gratis berkualitas, dan kesehatan gratis berkualitas bagi seluruh rakyatnya baik Muslim non-Muslim (kafir dzimmiy). Untuk itu Khalifah akan mengelola dengan baik kepemilikan umum (milkiyah ‘amah) seperti Sumber Daya Alam: tambang emas, uranium, perak, nikel, minyak, gas, batubara, hutan, air, laut, garam dan lain-lain yang jumlahnya melimpah ruah untuk semata-mata kepentingan rakyat.
Sementara dalam sistem demokrasi, pemimpin bukan lagi menjadi pengurus rakyat, tapi pemalak rakyat dan penindas rakyat untuk kepentingan pemilik modal (kapitalis/cukong) dimana rakyat diperas hingga kurus kerontang dan dijadikan tumbal politik demokrasi. Politik demokrasi menjadi mesin uang untuk mengembalikan modal politik yang mahal, atau memberikan jalan kolusi bagi kroni-kroni elit politik untuk memperkaya diri mereka sendiri dengan cara korupsi dan kolusi serta nepotisme.
Tidak adanya Khilafah telah membuat umat Islam tidak ada yang melindungi. Umat Islam tanpa Khilafah laksana buih di atas lautan yang centang-perenang tak tentu arah, dan laksana anak ayam yang kehilangan induknya, serta laksana kebun tanpa pagar, dan juga seperti menu hidangan di atas meja yang diperebutkan oleh musuh-musuhnya baik dari arah Timur dan Barat maupun dari Utara hingga Selatan. Selain tanah dan kekayaan mereka dirampok, jutaan lebih umat Islam dibunuh oleh para penjajah kafir barat dan timur. Nyawa umat Islam demikian murah tanpa ada yang melindungi. Padahal, Rasulullah Saw dengan tegas mengatakan bahwa bagi Allah hancurnya bumi beserta isinya, lebih ringan dibanding dengan terbunuhnya nyawa seorang muslim tanpa alasan yang hak.
Terbukti sudah keberadaan penguasa Muslim sekarang tidak bisa melindungi umatnya. Bahkan mereka pembunuh rakyatnya sendiri. Mereka memberikan jalan kepada negara-negara imperialis (kaum kuffar penjajah) untuk membunuh rakyatnya sendiri atas nama perang melawan terorisme dan globalisasi.
Dan terkadang pula mereka atas nama pesta demokrasi dan investasi, tega sekali menumbalkan rakyatnya sendiri seperti dengan meninggalnya 700 KPPS secara misterius yang menjadi tumbal politik dalam pilpres 2019 yang lalu; dan membuat sekitar 2 juta lebih rakyatnya yang positif terpapar Covid 19 (Coronavirus) dan yang meninggal ada sekitar 100-ribuan orang lebih rakyatnya meninggal yang terkena wabah Coronavirus (Covid 19) tersebut, akibat kebijakan politik sang rezim tersebut yang ugal-ugalan dan seenaknya saja melanggar Akidah Islam dan Syariah Islam demi melanggengkan syahwat kekuasaannya dan kepentingan politik ekonomi oligarki dan majikannnya yakni para penjajah kafir barat (asing) dan timur (aseng). Bahkan, ketika rakyatnya masih dirundung musibah pandemi Covid 19 yang belum usai, justru rezim membuat minyak goreng langka kemudian mendadak banyak namun dicabut subsidinya hingga harganya menjadi sangat mahal; PPN dinaikkan 11%, BBM jenis Pertamax dinaikkan harganya menjadi 11% dan Pertalite dibuat langka; LPG dan TDL pun akan dinaikkan pula; dan lain-lain.
Keempat: Khilafah adalah metode baku (thariqah) efektif dan efisien syiar penyebaran Islam ke segala penjuru dunia dengan dakwah dan jihad yang dilakukan oleh Khilafah.
Dengan kata lain, substansi Khilafah adalah penerapan Syariah Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan, persatuan umat Islam sedunia (ukhuwwah Islamiyah), pengurus dan penjaga umat dan Islam serta wilayah Islam, juga serta syiar dakwah Islam dan jihad Islam ke segala penjuru dunia untuk menebar rahmah, mahabbah dan berkah bagi dunia dan alam semesta.
Karena itulah pula dalam Islam, politik (negara/pemerintahan/kekuasaan/ketatanegaraan) adalah perkara vital dalam pengurusan agama dan dunia juga negara serta segala urusan umat atau pun rakyat. Bahkan, kini politik tersebut menjadi akar segala problematika umat yang sedang mendera umat saat ini.
Yaitu, akibat tidak adanya kekuasaan Islam yakni Khilafah (Daulah Islam) tersebut, pasca diruntuhkannya Khilafah yang berpusat di Turki pada tanggal 3 maret 1924 M oleh kafir penjajah Inggris bersama sekutunya, melalui agennya seorang Yahudi yang bernama Mustafa Kamal Attarturk laknatullahi 'alaihi hingga Islam pun dicampakkan. Dan umat Islam pun kian merintih kesakitan tercabik-cabik pecah berkeping-keping menjadi lebih dari 60 negara kecil-kecil yang sangat lemah dalam bentuk negara bangsa (nation state) dengan paham sempit nan sesatnya nasionalisme yang kufur warisan penjajah kafir barat.
Ketiadaan Khilafah artinya hilangnya hukum-hukum dan peraturan Syariah Islam dalam kehidupan umat yang menimbulkan hilangnya pula tatanan kehidupan yang Islami yaitu hilangnya uqubah, tidak diterapkanya sistem politik Islam atau sistem pemerintahan dan ketatanegaraan Islam, sistem ekonomi Islam, sistem pendidikan Islam, sistem pergaulan Islam atau sistem sosial dan budaya Islam, sistem jaminan pelayanan kesehatan dalam Islam, sistem hukum Islam, sistem peradilan dan persanksian Islam, sistem pertahanan dan keamanan Islam.
Maka, sangat tidak heran Para Ulama Aswaja (Ahlussunnah wal Jama'ah) pun bersepakat, mengatakan: bahwa hilangnya Khilafah atau ketiadaan Khilafah adalah "Ummul Jaraim" (Induk kejahatan). Artinya pula dapat kita pahami dengan mafhum mukhalafah (pemahaman terbalik): "Adanya Khilafah adalah Ummul Akhyar (induk kebaikan)."
Jadi, dimanakah letak bahayanya Khilafah -yang notabene adalah ajaran Rasulullah dan para Sahabat Radhiyallahu 'anhum serta Ulama Aswaja- yang akan menerapkan Syariah Islam yang bersumber dari Allah SWT Tuhan yang Maha Esa lagi Maha serba Maha yang telah menciptakan alam semesta, manusia dan kehidupan. Khilafah yang akan menerapkan Syariah Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan, mempersatukan umat dalam ikatan akidah Islam dan ukhuwah Islamiyah, Khilafah pula yang akan mengurus dan melindungi umat serta menjaga wilayah-wilayah Islam sekaligus menjaga kemurnian dan kemuliaan Islam.
Memang kembalinya Khilafah sangat berbahaya bagi negara-negara penjajah kafir Barat (asing) dan Timur (aseng) sebab akan menghentikan penjajahan mereka di Dunia Islam. Khilafah juga berbahaya bagi penguasa-penguasa negeri Islam yang menjadi boneka kafir barat (asing) dan timur (aseng) yang menumpahkan darah umat Islam dan memberikan jalan merampok negeri Islam. Sebab, Khilafah akan menumbangkan pemimpin-pemimpin pengkhianat dan munafik seperti ini.
Oleh karena itu, jadi clear dalam Islam seperti yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw dan para Sahabat radhiyallahu 'anhum, itu tidak ada sedikit pun pemisahan agama (Islam) dengan kehidupan (dunia dan negara). Dan inilah bentuk kesempurnaan Islam yang dipraktikkan secara sempurna dan totalitas (kaffah) oleh Rasulullah SAW dan para Sahabat, serta para Khalifah setelahnya. Terwujud dalam kehidupan pribadi maupun bermasyarakat dan bernegara. Mencakup sunnah fi’liyyah (perbuatan) dan qauliyyah (perkataan) Baginda Rasulullah SAW dan Khulafur Rasyidin.
Mereka menegakkan kiyan siyasah atau institusi politik/kekuasaan/pemerintahan dan ketatanegaraan Islam (Ad-Daulah al-Islâmiyyah) untuk menegakkan Islam secara sempurna dan kaffah (totalitas) dalam segala aspek kehidupan. Daulah Islam (negara Islam/Khilafah) berdiri kokoh di atas asas akidah Islam (Tauhid) dan ditopang oleh bangunan Syariah Islam.
Daulah Islam (negara Islam/Khilafah) pun menjalankan politik Islam (asy-siyâsah asy-syar’iyyah) dalam dan luar negeri. Maka, sangat wajar dan sangat relevan bila Al-Imam Al-Ghazali rahimahullah dalam kitab Al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd pun mensifati agama dan kekuasaan sebagai saudara kembar. [Al-Ghazali, Al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd, hal. 128]
Ini pun sejatinya sejalan dengan prinsip yang diutarakan Al-Imam Asy-Syathibi rahimahullah dalam kitab Al-I’tisham, mengatakan: “Telah pasti bahwa Nabi SAW tidaklah wafat hingga menjelaskan segala hal yang dibutuhkan berkenaan dengan urusan agama dan dunia. Tidak ada dari kalangan Ahlus Sunnah yang menyelisihi hal ini.” [Asy-Syathibi, Al-I’tishâm, hal. 49].
Oleh sebab itu, menjadi tuntunan sekaligus tuntutan bersegera menegakkan Islam dalam kehidupan. Tidak parsial atau pun tidak bertahap (tadarruj), melainkan wajib totalitas. Ini berdasarkan alasan syar'iyyah:
Pertama, Allah SWT memerintahkan orang beriman menegakkan Islam secara totalitas secara menyeluruh (kaffah) dalam segala aspek kehidupan, sebagaimana yang termaktub dalam QS. Al-Baqarah [2]: 208 tersebut. Sebaliknya, Allah SWT pun melarang manusia mengambil sebagian isi Al-Kitab (Al-Quran/Kitabullâh) dan mengabaikan/meninggalkan/mencampakkan sebagian lainnya, atau memilah dan memilih sesuai selera hawa nafsu dan kepentingan politik oligarki, seperti perbuatan terlaknat kaum Yahudi, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah [2]: 85) tersebut.
Kedua, nash-nash Al-Quran dan As-Sunnah mendorong kaum Muslim untuk bersegera menunaikan kewajiban dan amal shalih, yakni menegakkan akidah dan Syariah Islam dalam kehidupan termasuk dalam kehidupan dunia dan negara tersebut. Al-Imam An-Nawawi rahimahullah, berkaitan dengan hal ini sampai menulis pembahasan khusus, “Bersegera Melaksanakan Amal Kebaikan,” dalam kitab Riyâdh ash-Shâlihîn di halaman: 63, dengan merujuk diantara dalilnya:
وَسَارِعُوٓاْ إِلَىٰ مَغۡفِرَةٖ مِّن رَّبِّكُمۡ وَجَنَّةٍ عَرۡضُهَا ٱلسَّمَٰوَٰتُ وَٱلۡأَرۡضُ أُعِدَّتۡ لِلۡمُتَّقِينَ.
"Bersegeralah kalian meraih ampunan dari Tuhan kalian dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang diperuntukkan untuk orang-orang yang bertakwa." (QS Ali Imran [3]: 133).
Ketiga, konsekuensinya bila kita tidak bersegera menerapkan akidah Islam dan hukum-hukum Islam (Syariah Islam) tersebut dalam segala aspek kehidupan khususnya pula dalam kehidupan dunia dan negara tersebut, atau justru mencampakkannya, atau pun memilih dan memilah serta mengambil sebagian dan meninggalkan sebagiannya. Maka, itu bisa menyebabkan jatuh menjadi fasiq (lihat: QS. Al-Maidah: 47 ) dzalim (lihat: QS. Al-Maidah: 45), dan kafir (lihat: QS. Al-Maidah: 44). Atau pun justru belum dianggap beriman, sebagaimana termaktub dalam firman Allah SWT berikut ini:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا.
"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (QS. An-Nisâ' [4]: 65).
Allah SWT pun berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا.
"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang Mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang Mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata." (QS. Al-Ahzab [33]: 36).
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَىٰ.
"Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta." (QS. Thaha [20]: 124).
Maka, sudah cukup kiranya bagi seorang Muslim dan Mukmin serta bagi seluruh umat Islam untuk segera meninggalkan dan mencampakkan sistem kufur warisan kafir penjajah barat, yakni demokrasi kapitalisme sekulerisme -beserta segala derivatnya- yang menjadi biang masalah, biang kerusakan dan biang penjajahan di negeri ini dan di seluruh negeri-negeri Islam lainnya dan di seluruh penjuru dunia saat ini.
Dan juga, cukup kiranya bagi seorang Muslim dan Mukmin serta bagi seluruh umat Islam untuk segera hanya menerima dan mengambil (mengadopsi) apa-apa yang diberikan dan diperintahkan Rasul SAW tersebut kepada kita dengan sepenuh hati dengan penuh ketaatan, serta menerapkannya secara totalitas (kaffah) dalam segala aspek kehidupan baik agama, dunia dan negara. Dan meninggalkan apa-apa yang telah dilarang Rasul SAW tersebut kepada kita. Allah SWT berfirman:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ.
"Apa-apa yang diberikan (diperintahkan) Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya." (QS. Al-Hasyir [59]: 07).
وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعۡدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلۡهُدَىٰ وَيَتَّبِعۡ غَيۡرَ سَبِيلِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصۡلِهِۦ جَهَنَّمَۖ وَسَآءَتۡ مَصِيرًا.
"Siapa saja yang menentang Rasul sesudah jelas datang kepada dia petunjuk dan mengikuti jalan orang-orang yang tidak beriman, Kami membiarkan dia leluasa dengan kesesatannya. Kemudian Kami menyeret dia ke dalam Neraka Jahanam. Neraka Jahanam itu tempat kembali yang paling buruk." (QS an-Nisâ’ [4]: 115).
Allah SWT pun telah tegaskan pula dalam firman-Nya:
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ ٱلْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَن يَقُولُوا۟ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۚ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ.
"Sesungguhnya jawaban orang-orang Mukmin (beriman), bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya, agar Rasul menghukumi (mengadili/memerintah/memutuskan perkara) di antara mereka ialah ucapan: 'Kami mendengar, dan kami taati'. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung." (QS. An-Nûr [24]: 51).
وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَيَخْشَ ٱللَّهَ وَيَتَّقْهِ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْفَآئِزُونَ
"Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan." (QS. An-Nûr [24]: 52).
Wallahu a'lam bish shawab, wallahu musta'an. []