Oleh: Irkham Fahmi al-Anjatani
Sejarah mencatat bahwa dahulu pernah ada seorang tokoh yang mempelajari Islam dengan begitu mendalam. Sayangnya, ia belajar bukan untuk kejayaan Islam dan umatnya, melainkan untuk mempertahankan eksistensi Belanda dengan hegemoni penjajahannya.
Yang saya maksud disini adalah Snouck Hugronje, sarjana Belanda yang menulis tesis berjudul "Festival Mekah". Karena dinilai mempunyai pemahaman Islam yang mendalam, kemudian ia dilirik oleh Belanda yang saat itu sedang menjajah Indonesia. Hal tersebut dinilai akan sangat berguna dalam misi Belanda menduduki Nusantara. Konsulat Belanda di Jeddah pun menawarinya belajar Islam langsung di Mekah.
Pada 1885, mula-mula ia tinggal di Jeddah bersama bangsawan asal Pandeglang, Raden Aboe Bakr Djajadiningrat, yang darinya juga Snouck bisa belajar bahasa Melayu. Di tahun yang sama, Snouck mengungkapkan keinginannya untuk masuk Islam. Lalu ia pun bersyahadat di hadapan hakim bernama Isma'il Agha, berikut dua orang saksinya.
Pengetahuan Snouck yang dalam soal Islam semakin memuluskan langkahnya. Ketika berhasil menginjakan kaki di Masjidil Haram, ia menulis surat kepada temannya, Carl Bezold, membanggakan tentang betapa sumpah syahadatnya tak dipertanyakan. Dalam perjalanannya menyusup di Mekah sebagai mualaf, ia bahkan digelari berbagai sebutan seperti Mufti dan Sheikh al-Islam of Batavia.
Untuk tahu soal seluk beluk nusantara, ia belajar kepada Habib Abdoerahman Az-Zahir, ulama Mekah yang pernah pergi ke sana. Habib Abdoerahman bersedia menerima Snouck sebagai murid karena ia mengaku ingin membantu rakyat nusantara melawan penjajahan Belanda.
Gerilya Snouck dalam penyamarannya sebagai agen Belanda bersamaan dengan kian suburnya apatisme politik di kalangan umat Islam. Tak sedikit orang Islam yang menutup mata soal politik, mereka hanya memusatkan diri pada ritual ibadah semata, yang pastinya itu tidak dianggap sebagai ancaman oleh Belanda.
Dari situlah kemudian kehadiran Snouck Hugronje disambut luar biasa layaknya ulama besar. Ia mengeluarkan fatwa larangan umat Islam membaca Al-Qur'an dengan artinya. Termasuk juga fatwa wajibnya khotib-khotib jum'at menggunakan bahasa Arab.
Sebagian umat Islam patuh saja pada saat itu. Mereka menganggap bahwa Snouck yang kala itu berganti nama menjadi Abdul Ghofur sebagai ulama terkemuka. Padahal fatwa-fatwa yang dikeluarkannya itu dimaksudkan agar umat Islam tetap jumud dengan kondisinya, sehingga tidak ada gairah perlawanan terhadap penjajahan, karena mereka tidak mengerti makna Al-Qur'an dan isi khutbah yang khotib sampaikan.
Snouck Hugronje mengeluarkan fatwa-fatwa tersebut karena ia sudah belajar banyak tentang Islam, ia tau bahwa sumber kebangkitan umat Islam adalah manakala mereka paham makna kitab suci yang dibacanya. Tanpa itu semua mereka akan tetap pasrah dengan kondisinya yang terjajah.
Tampaknya semangat orientalisme semacam ini hingga kini masih tetap ada. Bahkan lebih menggurita. Betapa banyak saat ini orang yang belajar agama dengan beasiswa dari negara-negara barat. Pada akhirnya mereka kaji sejarah Islam untuk mencari titik kelemahannya. Mereka belajar bukan untuk kejayaan Islam, tetapi justru untuk menggugat aturan-aturan Islam itu sendiri.
Walhasil, ada yang mempermasalahkan praktik poligami, menggugat larangan eljibiti, menyerang ajaran Khilafah, hingga menentang kebenaran Islam sebagai satu-satunya agama yang hak bagi manusia. Wajar saja apabila negara-negara barat, bahkan Yahudi dan kaum komunis tidak menganggapnya sebagai ancaman. Mereka tau bahwa orang-orang semacam itu tidak akan membangkitkan kejayaan Islam.
Itulah sebabnya kita dianjurkan untuk selalu membaca do'a selamat oleh para ulama, yang kalimat awalnya berbunyi "Allaahumma Innaa Nas'aluka Salaamatan fid Diin", Ya Allah, sesungguhnya kami meminta kepada-Mu agar diselamatkan dalam beragama.
Agar tetap lurus, tidak terjerumus pada alur jahat kaum orientalis, yang belajar Islam tetapi justru menikam Islam. Aamin.
#KhilafahAjaranIslam
#ReturnTheKhilafah
Cirebon, 12 Juni 2019