5 Hal Yang Bisa Membuat Anda Keluar Dari Jamaah
Oleh : Ustadz Iwan Januar
Berdakwah membutuhkan jamaah. Allah SWT. pun amat cinta pada mereka yang berjuang bersama layaknya bangunan yang tersusun rapih.
Dengan berjamaah pula kita bisa terlindungi dari lingkup pergaulan yang dapat merusak perasaan serta pemikiran. Sendirian dalam dakwah sungguh amal yang berat. Saat kaki keliru melangkah nyaris tak ada yang membelokkan kita ke jalan yang lurus. Syetan amat mudah menjerat orang yang terpisah dari jamaah. Nabi saw. bersabda:
عَلَيْكَ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ الْقَاصِيَةَ
Wajib atas kalian berjamaah, karena serigala memakan (hewan gembala) yang terpisah. (HR. Ahmad).
Tapi berjamaah memang membutuhkan spirit ukhuwah yang kuat. Kita harus bisa menumbuhkan sikap saling pengertian, pandai membawa diri dan menahan diri. Bila tidak, maka kebersamaan kita dalam jamaah hanya tinggal menunggu hari saja.
Tulisan berikut sebagai bahan muhasabah diri, karena seringkali terjadi orang memutuskan keluar dari dakwah berjamaah bukan karena kesalahan pemikiran dan metode perjuangan yang diemban kawan-kawan seperjuangan, melainkan karena sikap diri yang keliru saat hidup dalam amal jama’iy.
Ironinya, sebagian orang yang keluar itu ada yang malah tidak melakukan dakwah sama sekali, melainkan jika sempat saja. Bukan sebagai poros kehidupan. Ada juga yang demikian futur hingga akhirnya jatuh dalam kemungkaran, melalaikan kewajiban syariat dan melanggar batas-batasnya.
Sekurangnya ada lima perkara yang umumnya dilakukan seseorang hingga akhirnya ia merasa jengah hidup berjamaah, lalu meninggalkan kawan-kawan seperjuangannya.
1. Hilang Sikap Pemaaf. Tak ada gading yang tak retak, tak ada manusia tanpa kesalahan dan kekhilafan. Kawan-kawan Anda di dalam jamaah bukan malaikat. Mereka bisa salah, tapi juga bisa begitu baik pada Anda. Dengan terus menerus komplain kekeliruan, kesalahan atau keburukan seorang atau beberapa orang kawan Anda dalam jamaah, tidak akan membuat suasana jamaah – dan yang paling penting suasana hati Anda – akan menjadi lebih baik.
Kewajiban akhi/uhkti saat melihat perilaku atau perkataan negatif dari beberapa orang dalam jamaah adalah beramar maruf nahi mungkar. Ingatkan, ingatkan dan ingatkan secara personal, lalu setelah itu serahkanlah urusan itu kepada Allah. Bila apa yang mereka kerjakan kemaksiatan seperti makan riba, mendekati zina, dsb. Andai mereka bergeming setelah diberikan peringatan, maka laporkan kepada pihak yang berwenang. Jangan terus menerus mengkomplain tanpa mengambil solusi tepat.
Tapi percayalah, akan selalu ada dalam jamaah itu rekan yang tetap baik — mungkin jumlahnya lebih banyak – yang dengan melihat kebaikannya akan membuat akhi/ukhti kembali rindu untuk bisa hidup berjamaah.
2. Tak Mau Mengalah. Jamaah bukanlah arena kompetisi, tapi justru tempat mengasah keikhlasan. Termasuk ikhlas dalam menerima pendapat kawan kita. Apalagi bila keputusan sudah diambil oleh jamaah, maka harus diterima dengan penuh kesadaran.
Tentu, sulit membuat keputusan yang tepat 100 persen dan memuaskan semua pihak, termasuk mungkin tidak memuaskan akhi/ukhti. Tapi percayalah, itu biasa terjadi dalam dinamika sebuah kelompok, termasuk dalam berumah tangga. Adakalanya akhi sebagai suami harus bisa mengalah pada keinginan istri, demikian pula sebaliknya. Nanti ketika kita terjun di dunia pekerjaan atau bisnis, juga adakalanya kita harus mengalah pada keputusan perusahaan, rekan bisnis, atau konsumen.
Kalau kita bisa mengalah pada pasangan dalam rumah tangga, patuh pada aturan perusahaan, sepakat pada keinginan mitra bisnis, kenapa tidak berusaha ikhlas menerima keputusan jamaah? Apalagi bila tak ada cacat menurut syariat Islam. Tidak masuk akal bila kita bisa mengalah untuk sepakat dengan orang lain, tapi tidak dengan rekan-rekan dalam jamaah.
3. Mencari kawan ‘senasib’. Biasanya, ketika orang sudah mulai merasa tidak betah dengan jamaah, ada saja yang kemudian ‘kasak-kusuk’ untuk mencari kawan senasib. Sama-sama komplain dan kecewa terhadap jamaah. Tahukah akhi/ukhti, biasanya kawan seperti itu selalu ADA! Entah di jamaah dakwah, organisasi atau perusahaan, akan selalu ada orang merasa senasib dikecewakan oleh manajemen atau rekan kerja, atau rekan dakwah.
Kasak-kusuk berjamaah seperti ini — lalu menjadi sebuah grup – akan membuat akhi/ukhi makin tidak betah berlama-lama di jamaah. Akumulasi kekecewaan akhirnya membesar dan melahirkan sikap apatis lalu keluar dari jamaah. Minusnya grup semacam ini adalah membuat kita menjadi ‘buta’ bahwa sebenarnya masih banyak kebaikan-kebaikan dalam jamaah ini.
Hentikan grup semacam ini. Ingatlah kewajiban dan kemuliaan dakwah. Ingat pula, Allah adalah tujuan kita berdakwah. RidhoNya yang kita cari, bukan ridho rekan dakwah, ridho atasan, apalagi ridho Rhoma!
4. Sibuk Sendiri. Cinta akan semakin dalam bisa karena kebersamaan. Jarang berjumpa, cinta akan cepat terlupa. Itu sebabnya orang sulit menjalin pola hubungan LDR (Long Distance Relationship). Sama halnya dengan hidup berjamaah. Manakala akhi/ukhti sudah sibuk sendiri, jarang menghadiri liqo’-liqo’, atau acara-acara jamaah seperti masiroh, tabligh akbar, dsb. Lama-lama kita akan mati rasa terhadap jamaah.
Luangkanlah waktu untuk hadiri acara liqo’, tabligh, aksi masiroh, dsb. Insya Allah gelora kebersamaan dan perjuangan akan semakin kuat. Jangan sampai kesibukan duniawi merampas hidayah yang Allah sudah karuniakan kepada kita.
5. ‘Hidup sendiri itu enak’. Orang yang sudah merasa ter-elinasi dalam kelompok biasanya akan berpikir demikian. Ia menimbang-nimbang untung rugi untuk segera memutuskan hubungan dari jamaah. Ketika ia merasa jamaah sudah tak memuaskan lagi, sering membuat kecewa, ia pun sudah mulai sibuk dengan dunianya sendiri, maka ia akan mantap untuk menuju pintu keluar.
Hal yang tidak diketahui oleh mereka yang berpikir untuk keluar adalah tidak mudah mempertahankan sikap istiqomah pada syariat dan dakwah jika berjuang sendirian. Mungkin ada sedikit orang yang kemudian masih eksis bergerak di jalan dakwah secara sendirian, tapi sebagian besar futur. Rontok digerus roda kehidupan kapitalisme yang kejam. Masih mempertahankan keislaman secara individu saja sudah alhamdulillah, tidak sedikit malah yang seperti hilang ‘bekas-bekas’ pembinaan keislamannya. Anda akan pangling saat bertemu mereka, seolah belum pernah tersentuh dakwah Islam. Ada yang bekerja di sektor haram seperti perbankan, bursa saham, fitness centre yang berisi ikhtilat pria-wanita dalam busana minim. Ada juga yang menikah dengan wanita fasik yang tidak malu mengumbar aurat ke hadapan lelaki asing mana saja.
Tidak gampang mempertahankan kepribadian Islam saat hidup sendiri, apalagi keluar dari kehidupan berjamaah dengan perasaan dendam. Celakanya dendam itu ditumpahkan bukan saja kepada rekan-rekan jamaah yang telah melukai perasaannya, tapi justru kepada diri sendiri dan kepada Islam!
Ikhwan fillah,
Memang tidak mudah menata diri dalam jamaah. Perlu ketrampilan jiwa untuk menerima kehadiran orang lain dalam hidup kita. Bersabar, saling berprasangka baik dan saling menghormati adalah beberapa skill yang harus kita siapkan dalam kehidupan berjamaah. Janganlah menjadi insan yang gampang patah harapan terhadap jamaah, tapi juga janganlah menjadi sosok yang suka mematahkan harapan orang lain.
Bagaimanapun juga, hidup berjamaah jauh lebih baik. Akan selalu ada kawan yang menyertai kita dalam kehidupan. Siap meluruskan manakala ada kesalahan, dan siap membantu dalam kebenaran.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اسْمَعُوا وَاعْقِلُوا ، وَاعْلَمُوا أَنَّ لِلَّهِ عِبَادًا لَيْسُوا بِأَنْبِيَاءَ وَلاَ شُهَدَاءَ يَغْبِطُهُمْ ، النَّبِيُّونَ وَالشُّهَدَاءُ عَلَى مَجَالِسِهِمْ وَقُرْبِهِمْ مِنَ اللهِ . فَجَثَى رَجُلٌ مِنَ الأَعْرَابِ مِنْ قَاصِيَةِ النَّاسِ ، وَأَلْوَى بِيَدِهِ إِلَى نَبِيِّ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : يَا نَبِيَّ اللهِ نَاسٌ مِنَ النَّاسِ لَيْسُوا بِأَنْبِيَاءَ وَلاَ شُهَدَاءَ يَغْبِطُهُمُ الأَنْبِيَاءُ وَالشُّهَدَاءُ عَلَى مَجَالِسِهِمْ وَقُرْبِهِمْ مِنَ اللهِ انْعَتْهُمْ لَنَا حَلِّمْهُمْ لَنَا ، يَعْنِي صِفْهُمْ لَنَا ، شَكِّلْهُمْ لَنَا فَسُرَّ وَجْهُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، لِسُؤَالِ الأَعْرَابِيِّ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : هُمْ نَاسٌ مِنْ أَفْنَاءِ النَّاسِ وَنَوَازِعِ الْقَبَائِلِ لَمْ تَصِلْ بَيْنَهُمْ أَرْحَامٌ مُتَقَارِبَةٌ تَحَابُّوا فِي اللهِ وَتَصَافَوْا ، يَضَعُ اللَّهُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ فَيُجْلِسُهُمْ عَلَيْهَا فَيَجْعَلُ وُجُوهَهُمْ نُورًا ، وَثِيَابَهُمْ نُورًا ، يَفْزَعُ النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يَفْزَعُونَ ، وَهُمْ أَوْلِيَاءُ اللهِ الَّذِينَ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ.
“Wahai manusia! Dengarlah dan pikirkanlah! Sesungguhnya Allah azza wa jalla mempunyai makhluk-makhluk yang mereka itu bukanlah para nabi dan bukan pula para syuhada, sedang para nabi dan syuhada iri terhadap mereka itu karena dekatnya kedudukan dan kedekatan mereka terhadap Allah.”
Maka bertekuk lututlah seorang laki-laki badui yang termasuk orang-orang yang keras hatinya seraya mengayunkan tangannya kepada Nabi saw. Lantas ia pun berkata: Ya Rasulullah, orang-orang dari kalangan kaum mukminin, bukan dari para nabi dan bukan pula kaum syuhada, namun para nabi dan kaum syuhada iri kepada mereka karena majlis dan kedekatan mereka? Sebutkan ciri-ciri mereka. Jelaskan hal mereka kepada kami.
Maka Rasulullah saw pun senang akan pertanyaan orang badui itu, lantas bersabda,
هُمْ نَاسٌ مِنْ أَفْنَاءِ النَّاسِ وَنَوَازِعِ الْقَبَائِلِ لَمْ تَصِلْ بَيْنَهُمْ أَرْحَامٌ مُتَقَارِبَةٌ تَحَابُّوا فِي اللهِ وَتَصَافَوْا ، يَضَعُ اللَّهُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ فَيُجْلِسُهُمْ عَلَيْهَا فَيَجْعَلُ وُجُوهَهُمْ نُورًا ، وَثِيَابَهُمْ نُورًا ، يَفْزَعُ النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يَفْزَعُونَ ، وَهُمْ أَوْلِيَاءُ اللهِ الَّذِينَ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ
Mereka adalah orang-orang dari berbagai suku dan kabilah, tidak ada hubungan kerabat dekat antara mereka, mereka saling mencintai karena Allah dan saling tulus. Di hari kiamat Allah akan meletakkan bagi mereka mimbar-mimbar dari cahaya lantas Allah mendudukkan mereka pada mimbar-mimbar itu. Lantas Alah jadikan wajah-wajah dan baju-baju mereka dari cahaya. Saat manusia tersentak di hari kiamat mereka tiada tersentak. Mereka itu wali-wali Allah yang tiada takut dan tiada bersedih hati. (HR. Ahmad).