Oleh: Zakariya al-Bantany
Khilafah dan Kalimat Tauhid adalah ajaran Islam bahkan bagian integral dari Islam, dan Sunnah Rasul Saw. Kalimat Tauhid adalah inti dari ajaran Islam dan Khilafah adalah mahkota kewajiban (tâjul furûdh). Serta Khilafah pun notabene adalah referesentasi Islam kaffah yang merupakan tuntutan dan tuntunan dari Akidah Tauhid Islam.
Sebab, dengan tegaknya Khilafah seluruh hukum-hukum Islam (Syariah Islam) bisa dengan sempurna dan totalitas diterapkan dan dibumikan secara kaffah dalam segala aspek kehidupan khususnya dalam mu'amalah seperti ekonomi, politik, sosial budaya, pergaulan pria-wanita, pendidikan, kesehatan, hukum, peradilan, persanksian, pertahanan dan keamanan. Sehingga pun dengan Khilafah, maka tegaklah dan tersebarluaskannya secara kaffah dan secara sempurna kalimat Tauhid di seluruh penjuru dunia.
Khilafah pun sejatinya adalah ajaran Ahlussunnah Wal Jama'ah, dan sejatinya Khilafah pun pun berasaskan, berfondasikan atau berdiri di atas Akidah Tauhid Islam. Bahkan, tegaknya Khilafah pun merupakan puncak Tauhid.
Oleh karena itulah, jika seseorang yang mengaku dan mengklaim diri Muslim tapi ia berani secara terang-terangan dan terus-menerus membenci, memusuhi, melecehkan, mempersekusi, dan mengkriminalisasi ajaran Islam perihal Khilafah dan Kalimat Tauhid, serta membenturkan Khilafah dengan Tauhid. Maka, patut dipertanyakan ketauhidannya atau keimanannya, akidahnya, ideologinya dan keislamannya tersebut.
Jadi, bila seseorang tersebut dengan sengaja terus-menerus membenci, memusuhi, memperolok-olok, mempersekusi dan mengkriminalisasi ajaran Islam perihal Khilafah tersebut. Diantaranya seperti dengan ungkapan: khilafer, khilaf.ah, Khilafah tidak wajib, Khilafah melulu, haram mendirikan negara Khilafah warisan Nabi Saw, Dakwah itu tujuannya bukan Khilafah, Khilafah bukan Syariat Islam, Khilafah merusak, Khilafah tidak cocok untuk Indonesia, Khilafah anti Pancasila dan NKRI, Khilafah memecah belah NKRI, Khilafah itu ideologi transnasional seperti komunis PKI, Khilafah ajaran radikalisme dan terorisme, sampah Khilafah, Khilafah itu intoleran dan anti kebhinekaan, serta ungkapan-ungkapan buruk dan penistaan lainnya kepada ajaran Islam perihal Khilafah tersebut.
Maka, secara hukum Islam itu jelas termasuk sudah terkategori bentuk pelecehan dan penistaan terhadap Islam khususnya ajaran Islam perihal Khilafah tersebut. Yang dapat menyebabkan pelaku pelecehan dan penistaan terhadap Islam khususnya Khilafah ajaran Islam tersebut, jatuh pada dosa besar dan bisa pula menyebabkan pelakunya tersebut jatuh pada riddah (murtad dari Islam) alias ia bisa menjadi kafir.
Melecehkan wajibnya Khilafah termasuk perbuatan yang disebut istikhfaaf bi al-Ahkam al-Syar’iyyah (penghinaan terhadap hukum-hukum Syariah Islam). [Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, 3/251].
Para fuqaha telah sepakat barangsiapa menghina hukum-hukum Syariah Islam, dalam kedudukannya sebagai hukum syariah, seperti melecehkan wajibnya sholat, zakat, haji, puasa Ramadhan; atau melecehkan sanksi-sanksi pidana Islam, misalnya wajibnya hukum potong tangan bagi pencuri, wajibnya hukum dera (cambuk) bagi pezina, dan sebagainya, maka orang itu dihukumi telah kafir (murtad), yaitu sudah keluar dari agama Islam dan wajib dihukum mati jika tak bertaubat kepada Allah SWT. [Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, 3/251].
Dalilnya antara lain firman Allah SWT (yang artinya):
“Katakanlah, ’Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?’ Tak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman.” (TQS. At-Taubah [9]: 65-66). [Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, 3/249].
Namun, para fuqaha memberi catatan, perkataan yang dapat memurtadkan pengucapnya ada dua macam:
Pertama, perkataan yang maknanya pasti/tegas (jaazim) atau sharih (terang-terangan), yaitu perkataan yang hanya mempunyai satu pengertian dan tak dapat ditakwilkan/diartikan dengan maksud lain (maa laa yahtamilu al ta`wiil). Siapa saja yang mengeluarkan perkataan jenis pertama ini, misalnya mengatakan Nabi Isa as adalah anak Allah, atau agama Islam adalah karangan Nabi Muhammad Saw sendiri, dan yang semisalnya, dia dihukumi telah kafir.
Kedua, perkataan yang maknanya tak pasti atau ucapan kinayah (sindiran), yakni perkataan yang memungkinkan lebih dari satu maksud, atau perkataan yang dapat ditakwilkan/diartikan dengan maksud lain (maa yahtamilu al ta`wiil). Siapa saja yang mengucapkan perkataan jenis kedua ini, tak dapat dikafirkan. Syeikh Abdurrahman Al-Maliki berkata, ”Meskipun suatu ucapan mengandung peluang kekufuran 99 persen dan peluang keimanan hanya 1 persen, namun dikuatkan yang 1 persen daripada yang 99 persen, karena yang 1 persen itu adalah peluang keimanan. Sebab dengan adanya 1 persen peluang keimanan, perkataan kufur dapat ditakwilkan. Karena seseorang tak dapat dikafirkan dengan perkataannya, kecuali dengan perkataan kufur yang pasti.” [Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hlm. 85].
Perlu kami tambahkan, bahwa ketidaktahuan terhadap hukum Syariah Islam (al-jahlu bi al-ahkam al-syar’iyyah) dapat menjadi unsur pemaaf (‘udzur syar’i), jika seorang Muslim dan orang-orang yang semisal orang itu (keluarga, teman, kolega, dsb), memang tak mengetahui suatu hukum Syariah Islam dikarenakan satu dan lain hal. [Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, hlm. 175].
Berdasarkan penjelasan di atas, Muslim yang melecehkan kewajiban Khilafah dihukumi sesuai dengan fakta pengucapnya dan maksud perkataannya sebagai berikut:
Pertama, Muslim yang melecehkan wajibnya khilafah, sedang dia tahu Khilafah hukumnya wajib menurut Syariah Islam, dan perkataannya pasti/tegas dan tak dapat diartikan kepada maksud lain, maka tak diragukan lagi orang itu dihukumi kafir.
Kedua, Muslim yang melecehkan wajibnya Khilafah, sedang dia tahu Khilafah hukumnya wajib menurut Syariah Islam, namun perkataannya dapat diartikan kepada maksud lain, maka orang itu tak dihukumi kafir.
Ketiga, Muslim yang melecehkan wajibnya Khilafah, sedang dia tak tahu bahwa Khilafah hukumnya wajib menurut Syariah Islam, maka orang itu tak dihukumi telah kafir, baik perkataannya pasti maupun dapat ditakwilkan.
Tapi, meski Muslim yang melecehkan kewajiban Khilafah tak dikafirkan (jika masuk kategori kedua dan ketiga di atas), dia tetap berdosa besar. Karena paling tidak dia telah menghina sesama Muslim yang memperjuangkan Khilafah. Padahal menghina sesama Muslim telah diharamkan Islam. (QS. Al-Hujuraat [49]: 11).
[https://www.google.com/amp/s/mediaumat.news/buletin-kaffah-haram-melecehkan-ajaran-islam/amp/; https://anaksholeh.net/melecehkan-kewajiban-khilafah]...
.....