Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Kejadian Perang Badar - Sirah Nabi SAW



11. Memulai peperangan

Di pagi hari Jum’at, 17 Ramadhan, mereka saling bergerak, sehingga satu sama lain saling mendekat. Kaum musyrikin memobilisir pasukan mereka. Rasulullah Saw. pun memobilisir pasukannya. Rasulullah Saw. mengintruksikan kepada pasukannya agar tidak membunuh orang yang diduga bahwa orang tersebut dibiarkan oleh Rasulullah Saw. tetap tinggal di Makkah sebagai informan yang memata-matai musuh Rasulullah Saw.
Rasulullah Saw. bersabda, “Sungguh aku tahu persis bahwa beberapa orang di antara Bani Hasyim dan yang lainnya ada yang turut bersama mereka karena terpaksa. Mereka sama sekali tidak ingin memerangi kita. siapapun dari kalian yang bertemu mereka, maka kalian jangan membunuhnya. Siapa saja yang bertemu dengan Abu Bakhtari bin Hisyam bin al-Harits bin Asad, maka ia jangan dibunuh. Siapa saja yang bertemu dengan al-Abbas bin Abdul Muththalib, maka ia jangan dibunuh. Sebab turut sertanya mereka itu dikarenakan terpaksa.”
Rasulullah Saw. juga mengintruksikan para sahabatnya, “Jika mereka telah mengelilingi kalian, maka pertahankan kalian dengan melepaskan anak panah.” Rasulullah Saw. memerintahkan agar tidak mengumumkan bahwa mereka akan menyerang kaum musyrikin, sehingga ada perintah untuk itu.

Ketika beliau melihat jumlah kaum musyrikin sangat banyak, sedang jumlah kaum muslimin sedikit sekali, maka putuslah semua cita-cita beliau di bumi ini. Rasulullah Saw., yakin jika Allah Swt. tidak menutupi kekurangannya dengan memberinya rahmat, maka sekarang tidak ada lagi yang akan menolongnya.
Rasulullah Saw. memasuki tenda dengan ditemani Abu Bakar ash-Shiddiq. Rasulullah Saw., mulai berdo’a memohon kemenangan kepada Tuhan yang telah dijanjikan kepadanya, “Ya Allah, jika hari ini kelompok yang kecil ini Engkan binasakan, maka tidak ada lagi yang menyembah-Mu.” Bahkan, mata beliau mulai meneteskan air mata dengan do’anya itu, sehingga Abu Bakar sangat merasa haru melihatnya. Abu Bakar berkata, “Wahai Nabi Allah, sudah cukup kamu memohon kepada Tuhanmu. Sesungguhnya Allah pasti memberikan apa yang telah Dia janjikan kepadamu.”

Dari tengah-tengah barisan kaum musyrikin tampil ke depan ‘Utbah bin Rabi’ah dengan didampingi oleh saudaranya Syaibah dan putranya Walid bin ‘Utbah. Sehingga ketika dua kelompok itu sudah berhadapan, ‘Utbah menantang untuk bertanding, maka majulah tiga pemuda dari kaum anshar, yaitu: ‘Auf dan Mu’awwadz keduanya adalah putra Harits dan Abdullah bin Rawwahah. Namun, ‘Utbah menolak bertanding dengan mereka.
Kemudian ia memanggil, “Wahai Muhammad, suruh untuk bertanding dengan kami orang-orang yang sebanding dengan kami dari kaum kami.” Lalu Rasulullah Saw. menyuruh Ubaidah bin Harits, Hamzah bin Abdul Muththalib, dan Ali bin Abi Thalib untuk menghadapinya. Akhirnya ketiga orang dari kaum musyrikin itu terbunuh di tangan tiga orang dari kaum muslimin.
Kemudian, orang-orang saling merapat, sehingga perang pun berlangsung dengan sengitnya. Rasulullah Saw. yang sedang berada dalam tenda benar-benar berdebar, lalu beliau bangkit dan berkata, “Wahai Abu Bakar, sampaikan kabar gembira ini, bahwa pertolongan Allah telah tiba. Ini jibril sedang memegang tali kekang kuda yang ditungganginya berada di antara debu-debu.”
Kemudian, Rasulullah Saw. meninggalkan tenda, keluar menuju barisan kaum mujahidin, hingga ketika beliau sudah berada di tengah-tengah mereka. Rasulullah Saw. bersabda, “Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada dalam kekuasaannya, siapapun orang yang hari ini berperang melawan mereka kaum musyrikin, lalu dia terbunuh dengan sabar dan ikhlas karena Allah semata, maju terus pantang mundur, maka Allah pasti akan memasukkannya ke dalam Surga.”
Umar bin al-Humam yang di tangannya ada banyak kurma yang sedang dimakannya berkata, “Bakh... Bakh! (Kata yang diucapkan ketika dalam keadaan sangat kagum) Ternyata tidak ada yang bisa menghilangkan penghalang antara aku dan Surga, kecuali aku terbunuh oleh mereka kaum musyrikin.” Kemudian, ia membuang kurma-kurma dari tangannya dan segera mengambil pedangnya, lalu dengan gagah berani ia memerangi kaum musyrikin hingga akhirnya ia terbunuh.
Kemudian, Rasulullah Saw. mengambil segenggam penuh kerikil, lalu krikil itu beliau arahkan pada kaum kafir Quraisy, beliau berkata, “Hancurkan mereka!” Beliau meniupkannya pada mereka. Rasulullah Saw. mengintruksikan para sahabatnya, beliau berkata, “Serbu!” Sehingga terdengar suara guruh yang mengerikan. Akhirnya, Allah membunuh siapa saja yang hendak Dia bunuh di antara orang-orang kafir Quraisy yang sang pemberani, dan menahan siapa saja yang hendak Dia tahan di antara pembesar-pembesar kaum kafir Quraisy.

Bacaan: Prof. Dr. Muh. Rawwas Qol’ahji, SIRAH NABAWIYAH Sisi Politis Perjuangan Rasulullah Saw., Al-Azhar Press

Peristiwa Bi’rul Ma’unah/Bi’ir Ma’unah Makar Bani Sulaim Terhadap Negara Islam



d. Keinginan (Jahat) Bani Sulaim terhadap Negara Islam

Abu Bara’ ‘Amir bin Malik bin Jafar -sang penipu ulung- datang kepada Rasulullah Saw. di Madinah. Rasulullah Saw. menawarkan dan menyerukan Islam kepadanya, namun dia tidak mau masuk Islam dan tidak bersikap memusuhi Islam. Dia berkata: “Wahai Muhammad, kalau saja kamu mau mengirim beberapa orang di antara sahabatmu kepada penduduk Najd, selanjutnya mereka menyeru penduduk Najd kepada agamamu niscaya aku berharap penduduk Najd akan menerima agamamu ini.” Rasulullah Saw. bersabda: “Aku takut penduduk Najd bukannya menerima, tetapi malah menyakiti mereka.” Abu Bara’ berkata: “Jangan takut, aku bertetangga baik dengan mereka. Maka kirim mereka untuk menyeru penduduk Najd kepada agamamu.”
Lalu Rasulullah Saw. mengirim Mundzir bin ‘Amru saudara Bani Sa’idah “al-Ma’niqu Liyamut” (yang bersegera mati syahid) dengan membawa 70 sahabat pilihan di antara kalangan kaum muslimin. Di antara mereka Harits bin Shimmah, Haram bin Mulhan, ‘Urwah bin Asma’, Nafi’ bin Badil bin Warqa’, dan Amir bin Fuhairah mantan budak Abu Bakar ash-Shiddiq, merekalah orang-orang yang dinamakan kaum muslimin pilihan. Mereka berjalan hingga sampai di Bi’rul Ma’unah, yaitu tempat antara daerah Bani Amir dan Harrah Bani Sulaim, kedua daerah dekat dengan Bi’rul Ma’unah, namun ke daerah Harrah Bani Sulaim lebih dekat.

Setelah sampai di Bi’rul Ma’unah, Haram bin Mulhan mengirim surat Rasulullah Saw. kepada musuh Allah, Amir bin Thufail. Ketika Haram bin Mulhan sampai pada Amir bin Thufail, Amir bin Thufail tidak mau melihat isi surat itu, bahkan dia menzhaliminya, lalu dia membunuhnya. Kemudian dia berteriak minta bantuan kepada Bani Amir, namun Bani Amir enggan untuk memenuhi panggilannya. Mereka berkata: “Kami sekali-kali tidak akan mengkhianati Abu Bara'.” Abu Bara’ telah membuat kesepakatan untuk saling memberi perlindungan keamanan.
Kemudian, Amir bin Thufail berteriak minta bantuan suku-suku Bani Sulaim, mereka memenuhi panggilan itu. Mereka keluar hingga mereka mengepung para sahabat yang masih dalam rombongannya. Ketika mereka melihat para sahabat mengambil pedangnya, maka mereka langsung menyerang hingga para sahabat semuanya terbunuh -semoga Allah merahmati mereka semua- kecuali Ka'ab bin Zaid, mereka membiarkan Ka'ab dalam keadaan sekarat. Ka’ab ditumpuk di antara mereka yang terbunuh. Ka'ab masih hidup hingga akhirnya dia -semoga Allah merahmatinya- menjadi syahid pada perang Khandak.
Dalam pasukan Mundzir masih ada yang tersisa, yaitu Amru bin Umayyah adh-Dhamri dan Mundzir bin Amru bin 'Uqbah dari kaum Anshar. Keduanya tidak tahu dengan apa yang menimpa para sahabatnya, hanya saja burung terus-menerus mengelilingi perkemahan. Keduanya berkata: “Demi Allah, pasti ada sesuatu dengan burung ini.” Lalu keduanya mendekat untuk melihat, ternyata orang-orang Bani Sulaim telah menumpahkan darah para sahabatnya, dan tiba-tiba kuda mereka yang terbunuh berdiri. Al-Anshari berkata Amru bin Umayyah: “Apa pendapatmu?” Amru berkata: “Aku akan kembali pada Rasululah Saw. untuk menyampaikan berita ini.” Al-Anshari berkata: “Aku tidak akan mengutamakan diriku dengan meninggalkan tempat terbunuhnya Mundzir bin Amru, dan aku tidak akan mengadukan kezhaliman mereka kepadaku.” Kemudian orang-orang menyerangnya hingga akhirnya dia terbunuh.

Mereka menangkap Amru bin Umayyah dan menjadikannya sebagai tawanan. Ketika dia memberitahukan bahwa dia dari Mudhar, maka Amir bin Thufail membebaskannya, mencukur rambut ubun-ubunnya, dan melepaskannya dari perbudakan, lalu menyuruhnya kembali pada ibunya. Amru bin Umayyah pergi, ketika sampai di Qorqorah al-Kadar (Qorqorah al-Kadar adalah tempat yang jaraknya 96 mil dengan Madinah), dua orang dari Bani Amir mendekatinya, dan keduanya beristirahat bersamanya di tempat dia berteduh. Orang-orang Bani Amir punya perjanjian saling melindungi dengan Rasulullah Saw. yang tidak diketahui oleh Amru bin Umayyah.
Amru menanyai keduanya ketika keduanya bersamanya: “Dari mana kalian berdua?” Keduanya berkata: “Dari Bani Amir.” Dia berlaku ramah terhadap keduanya. Pada saat keduanya sedang tidur, dia berbuat zhalim dengan membunuh keduanya. Dia melihat bahwa dengan membunuh keduanya, berarti dia telah membalaskan dendam para sahabat Rasulullah Saw. yang telah terbunuh kepada orang-orang dari Bani Amir. Ketika Amru bin Umayyah menghadap Rasulullah Saw., dia menceritakan apa yang telah dialaminya. Rasulullah Saw. bersabda: “Sungguh kamu telah melakukan dua pembunuhan yang menyakiti keduanya.”
Kemudian, Rasulullah Saw. bersabda: “Ini perbuatan Abu Bara'. Sebelumnya aku sudah tidak menyukai dan mengkhawatirkan hal ini.”

Sumber: Prof. Dr. Muh. Rawwas Qol’ahji, SIRAH NABAWIYAH Sisi Politis Perjuangan Rasulullah Saw., Al-Azhar Press

Hasil Tawanan Negara Islam Dari Penaklukan Bani Musthaliq



2. Para tawanan Bani Mushthaliq

Dari Bani Mushthaliq ini, Rasulullah Saw. mendapat tawanan yang banyak sekali. Kemudian beliau membagi-bagikan para tawanan ini kepada kaum Muslimin. Di antara para tawanan yang berhasil diperoleh kaum Muslimin adalah Juwairiyah bintu Harits bin Abu Dhirar. Juwairiyah wanita cantik, manis dan langsing, sehingga siapa saja yang melihatnya pasti jatuh cinta. Juwairiyah bintu Harits masuk ke dalam jatah Tsabit bin Qais bin asy-Syammas, atau putra pamannya. Tsabit dan Juwairiyah membuat kesepakatan untuk pembebasan Juwairiyah, yaitu jika Juwairiyah telah membayar sejumlah harta, maka ia menjadi wanita merdeka. Juwairiyah berusaha datang ke rumah-rumah untuk mengumpulkan harta dalam rangka mempersiapkan kemerdekaannya.
Juwairiyah datang kepada Rasulullah Saw. untuk meminta bantuannya. Ia meminta kepada Rasulullah Saw. sejumlah harta -peristiwa ini akan menggambarkan kepada kita gambaran yang sangat jelas tentang cara Rasulullah Saw. memperlakukan tawanan. Rasulullah Saw. menempatkan mereka di tempat terbaik, meski Allah telah menjadikan mereka tawanan yang berada di bawah kekuasaannya. Dengan demikian, mereka melihat Rasulullah Saw. sebagai orang yang baik, bijak, adil, dan mulia.
Juwairiyah menghadap Rasulullah, lalu berkata: “Wahai Rasulullah, aku Juwairiyah bintu Harits bin Abu Dhirar pemimpin kaumnya. Aku sedang menghadapi cobaan yang kamu sendiri telah mengetahuinya, bahwa aku masuk ke dalam jatah Tsabit bin Qais, atau dia berkata: masuk ke dalam jatah putra pamannya. Tsabit dan aku telah membuat kesepakatan untuk pembebasanku dengan membayar sejumlah harta. Untuk itu, aku mendatangimu dengan harapan kamu membantuku dalam upaya pembebasanku ini.” Saat ini beberapa pemikiran membujuk benak Rasulullah Saw. semuanya berteriak dan meminta untuk dilakukannya tindakan apapun.

Tindakan untuk menolongnya harus segera dilakukan karena beberapa alasan: Pertama, Juwairiyah adalah pemudi terdidik yang berasal dari keluarga terhormat dan mulia. Sehingga, ia tidak pantas dihinakan dalam perbudakan. Dan harus dilakukan segera tindakan apapun untuk menyelamatkannya dari perbudakan yang dipaksakan kepadanya. Disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: “Maafkanlah kekeliruan-kekeliruan mereka yang mempunyai kedudukan.” Disebutkan juga dalam atsar: “Kasihanilah orang-orang mulia yang terhina.” Demikian itulah akhlak Rasulullah Saw. Rasulullah Saw. juga pernah membebaskan Safanah bintu Hatim ath-Tha’iy, sebab ia seorang wanita yang berasal dari keluarga mulia, berkududukan, dan terhormat.
Kedua, Juwairiyah adalah pemudi yang cantik, manis, dan langsing, sehingga ia tidak boleh dibiarkan berkeliaran dari rumah ke rumah, sebab akan menimbulkan fitnah di tengah-tengah masyarakat. Untuk itu harus menjaga dan melindungi kecantikannya.
Ketiga, Juwairiyah termasuk di antara orang-orang yang sedang menghadapi cobaan berat. Meski mereka termasuk musuh Rasulullah Saw., namun menghinakan dan memperbudak bukan target dan tujuan Rasulullah Saw. terhadap mereka. Akan tetapi, target dan tujuan beliau adalah membersihkan institusi politik mereka untuk menyelamatkan urusan Negara Islam. Namun, pasukan yang turut berperang tetap berhak atas harta rampasan perang dan para tawanan yang mereka dapatkan.
Untuk itu, Rasulullah Saw. berpikir bahwa apabila Juwairiyah juga dijadikan sebagai Ummahat al-Mukminin, maka akan banyak di antara kaum muslimin yang akan melepaskan para tawanan yang menjadi haknya, sebab mereka menjadi kerabat Rasulullah Saw. dari perkawinannya dengan Juwairiyah. Mengingat besarnya cinta dan penghargaan para sahabat terhadap Rasulullah Saw. Dengan itu Rasulullah Saw. benar-benar telah melakukan apa yang beliau inginkan, yaitu meninggikan kalimat Allah, menyenangkan perasaan orang, dan menutup pintu fitnah. Sehingga beliau menjadikan nilai-nilai tertinggi (keteladanan) sebagai bagian yang dikedepankan.
Rasulullah Saw. bersabda kepada Juwairiyah, “Maukah kamu sesuatu yang lebih baik dari itu?” “Apa itu, wahai Rasulullah?” tanya Juwairiyah. Rasulullah Saw. bersabda: “Aku akan membayar sejumlah harta yang menjadi syarat pembebasanmu, dan aku akan menikahimu.” Juwairiyah berkata, “Ya, aku mau, wahai Rasulullah.” Rasulullah Saw. bersabda: “Itu akan aku lakukan.”

Berita pun menyebar di tengah-tengah masyarakat bahwa Rasulullah Saw. telah menikahi Juwairiyah. Sehingga orang-orang berkata, “Sesungguhnya para tawanan yang sedang kita miliki adalah para kerabat Rasulullah Saw. dari perkawinannya dengan Juwairiyah.”
Akhirnya mereka membebaskan para tawanan yang mereka miliki. Bahkan jumlah keluarga Bani Mushthaliq yang mereka bebaskan lebih dari 100 orang. Demikianlah langkah yang ditempuh oleh Rasulullah Saw. dalam merealisasikan apa yang telah beliau rencanakan.

Sumber: Prof. Dr. Muh. Rawwas Qol’ahji, SIRAH NABAWIYAH Sisi Politis Perjuangan Rasulullah Saw., Al-Azhar Press

Nabi SAW Mengirim Pasukan Pimpinan Zaid bin Haritsah ke Orang-Orang Judzam Balasan Atas Perampasan



k. Pasukan pimpinan Zaid bin Haritsah pergi ke Hisma

Memasuki bulan Jumadzil Tsaniyah, Rasulullah Saw. menyiapkan pasukan yang dipimpin Zaid bin Haritsah untuk diberangkatkan ke Hisma yang terletak di belakang Wadil Qura dari arah Syam.
Ketika Rasulullah Saw. mengutus Dahiyah al-Kalabi ke Kaisar Romawi untuk menyampaikan surat beliau, Dahiyah pergi dan sampailah ia kepada Kaisar Romawi. Setelah tugasnya selesai, ia pun kembali, ia membawa barang dagangan dan hadiah pemberian Kaisar.
Di tengah jalan ia dicegat oleh Hunaid bin ‘Iwash bersama orang-orang dari Judzam. Mereka merampas apa saja yang dibawa Dahiyah. Kejadian itu didengar oleh orang-orang Bani Dhabib. Mendengar itu, mereka berlarian mendatanginya, dan menyerahkan kembali barang-barang Dahiyah. Kemudian Dahiyah kembali kepada Rasulullah Saw. Dan sesampainya pada Rasulullah Saw., ia menceritakan apa yang terjadi. Mendengar cerita itu, Rasulullah Saw. merasa perlu memberi pelajaran kepada kelompok tak berguna dan durjana itu, dalam rangka menyebarkan rasa aman, dan memperkuat hegemoni Negara Islam.
Rasulullah Saw. menyiapkan pasukan yang dipimpin Zaid bin Haritsah dengan kekuatan 500 orang, dan Dahiyah turut juga bersamanya. Zaid bergerak pada malam hari dan bersembunyi pada siang hari. Zaid menyerang mereka pada waktu pagi, sehingga banyak dari mereka yang terbunuh, termasuk Hunaid dan anak laki-lakinya. Zaid membawa binatang ternak mereka, yaitu 1.000 ekor unta, 5.000 ekor kambing, dan 100 orang tawanan yang terdiri dari kaum perempuan dan anak-anak. Zaid membawa semua itu ke Madinah al-Munawwarah.

Zaid bin Rifa’ah al-Judzami pergi kepada Rasulullah Saw. memberikan surat perjanjian yang pernah ditulis oleh Rasulullah Saw. untuk Zaid bin Rifa’ah dan kaumnya, yang diserahkan oleh seorang muslim kepadanya. Ia meminta kepada Rasulullah agar membebaskan mereka, para perempuan dan anak-anak yang masih hidup, dan mengembalikan kepada mereka harta bendanya. Rasulullah Saw. melakukan apa yang ia minta. Namun Zaid dan binatang ternak, serta para tawanan belum sampai ke Madinah al-Munawwarah.
Abu Yazid bin Amru yang menyampaikan perintah Rasulullah Saw. -agar mengembalikan binatang-binatang ternak dan para tawanan- kepada Zaid bin Haritsah. Zaid pun menjalankan perintah itu, ia mengembalikan semuanya kepada mereka.
Rasulullah Saw. mengembalikan harta benda mereka dan mereka yang ditawan kepada mereka dalam rangka menjalankan isi surat perjanjian yang pernah beliau tulis untuk Zaid bin Rifa’ah dan kaumnya -sebagaimana dugaan beberapa penulis sirah- sebab surat perjanjian ini tetap efektif (berlaku) selama orang-orang Judzam masih konsisten dengan janjinya terhadap Rasulullah Saw., setelah adanya pelanggaran dan tindakan yang melampaui batas, jadilah surat perjanjian ini ditarik kembali (batal), sedang orang yang membatalkannya adalah orang (pihak) yang pertama kali melakukan pelanggaran -yaitu orang-orang Judzam- akan tetapi Rasulullah Saw. mengembalikan harta benda dan para tawanan kepada mereka dengan pertimbangan politik, yaitu bertujuan untuk memperlihatkan sikap baik dan bijaksana. Sebab peperangan ini telah merealisasikan target-target yang diinginkan, yaitu memperkuat hegemoni Negara Islam, dan memberikan bukti kepada suku-suku bangsa Arab bahwa Negara Islam mampu memukul balik siapa saja yang mencoba-coba untuk merongrong eksistensi Negara Islam.

Selama tujuan ini benar-benar terealisasikan dengan kesempatan yang tidak sepekulatif, maka tidak ada masalah bagi Negara Islam berusaha menarik simpati suku ini, baik yang muslim, musyrik maupun suku-suku yang lainnya, dengan mengembalikan kepada mereka harta bendanya, para perempuannya, dan anaka-anaknya.
Dengan demikian, jelaslah bagi mereka bahwa Negara Islam tidak ingin kekuasaan dengan batil, dan merampas harta bendanya. Namun, yang diinginkan adalah memberikan rasa aman dan ketentraman di wilayah kekuasaan ideologi Islam yang adil, yang mampu merealisasikan kepentingan-kepentingan publik yang hidup di bawah kekuasaan Negara Islam.

Sumber: Prof. Dr. Muh. Rawwas Qol’ahji, SIRAH NABAWIYAH Sisi Politis Perjuangan Rasulullah Saw., Al-Azhar Press

Persiapan Nabi Saw. Melakukan Pembersihan Kekuatan Politik Yahudi Khaibar



F. Pembersihan Institusi Politik Yahudi Khaibar Dan Institusi-Institusi Yahudi Yang Lain

1. Persiapan Untuk Melakukan Pembersihan Terhadap Institusi Politik Yahudi Khaibar

Sebelum melakukan pembersihan terhadap institusi politik Yahudi Khaibar, Rasulullah Saw. harus terlebih dahulu melakukan beberapa aktivitas persiapan, di antaranya:

a. Mengirim pasukan pimpinan Abdurrahman bin ‘Auf pergi ke Dzumatil Jandal

Pada bulan Sya’ban itu juga, Rasulullah Saw. memanggil Abdurrahman bin 'Auf ra., dan memerintahkannya agar menyiapkan pasukan yang akan dikirim ke Dzumatil Jandal. Sehingga di pagi hari, Abdurrahman bin Auf ra. memakai sorban berwarna hitam. Rasulullah Saw. mendekatinya, lalu melepaskan sorbannya, kemudian memakaikannya kembali, dan menurunkan sebagian ujung sorban bagian belakang sepanjang empat jari atau sekitar itu. Rasulullah Saw. bersabda kepadanya, “Wahai Ibnu ‘Auf seperti inilah cara memakai sorban.” Abdurrahman bin ‘Auf ra., termasuk di antara para sahabat terbaik dan terkenal. Rasulullah Saw. menyerahkan liwa’ (bendera) kepadanya dan berkata, “Wahai Ibnu ‘Auf, ambillah bendera ini, berperanglah kalian semua di jalan Allah, lalu perangilah siapa saja yang mengingkari Allah, (namun) jangan berlebihan, jangan berbuat khianat, jangan membunuh secara kejam karena dendam, dan jangan pula membunuh anak-anak. Inilah janji Allah dan jalan Nabi-Nya yang harus kalian ikuti.”
Dengan demikian, Rasulullah Saw. menjelaskan kepada Ibnu ‘Auf dan seluruh manusia bahwa jihad di jalan Allah tidak disyari’atkan untuk menumpahkan darah dan tidak pula untuk menumpuk harta benda, namun jihad disyariatkan untuk menyelamatkan manusia dari kezaliman dan ketertindasan. Rasulullah Saw. juga menjelaskan kepada mereka bahwa perintah jihad tidak dibangun atas dasar kebencian atau dendam, tetapi dibangun atas dasar penegakan keadilan.
Kemudian Rasulullah Saw. bersabda kepada Ibnu ‘Auf, “Jika mereka memenuhi permintaanmu, maka nikahilah anak perempuan pemimpin mereka.”
Setelah itu Abdurrahman bin ‘Auf pun pergi hingga ia sampai di Dzumatil Jandal. Di sini ia tinggal selama tiga hari sambil menyeru mereka kepada Islam, sehingga pemimpin mereka al-Ashbagh bin Amru al-Kalbi masuk Islam -ia sebelumnya penganut agama Nashrani-, dan akhirnya banyak di antara kaumnya yang juga masuk Islam. Abdurrahman bin ‘Auf mewajibkan mereka yang tidak masuk Islam membayar jizyah.
Abdurrahman bin ‘Auf juga menikahi Tamadhur bintu al-Ashbagh, lalu ia membawa Tamadhur ke Madinah al-Munawwarah. Dari pernikahannya dengan Tamadhur ini lahirlah Abu Salamah bin Abdurrahman bin ‘Auf yang dikenal sebagai seorang ahli fiqh, ahli hadits, dan ahli ibadah.

b. Pasukan pimpinan Zaid bin Haritsah pergi ke Madyan

Pada bulan Sya’ban juga, Rasulullah Saw. menyerahkan liwa’ (bendera) kepada Zaid bin Haritsah agar pergi ke Madyan. Zaid pun pergi dan ia kembali dengan membawa para tawanan. Lalu mereka dijualnya. Dalam menjualnya tidak diperhatikan keberadaan anak-anak bersama ibunya. Kemudian Rasulullah Saw. lewat di dekat mereka, ketika mereka sedang menangis. Rasulullah Saw. bersabda: “Mengapa mereka menangis?” “Mereka ini terpisah antara anak dan ibunya, wahai Rasulullah,” jawab salah seorang sahabat. Rasulullah Saw. bersabda: “Kalian jangan menjual mereka, kecuali mereka tetap bersama. Ingat! Dalam menjualnya kalian tidak boleh memisahkan antara anak dan ibunya, juga antara anak dan ayahnya.” Dengan tindakan ini tampak jelas sekali adanya nilai kemanusiaan dan kasih sayang dalam Rasulullah Saw.

c. Pasukan pimpinan Ali bin Abi Thalib pergi ke Fadak

Pada bulan Sya’ban juga, Rasulullah Saw. mengirim Ali bin Abi Thalib pergi menuju Bani Sa’ad bin Bakar di Fadak. Sebab telah sampai berita kepada Rasulullah Saw. bahwa mereka hendak memasok sekelompok orang ke Khaibar, agar Khaibar mau ikut bersamanya dalam persekutuan yang telah diadakannya bersama kaum kafir Quraisy untuk melawan Negara Islam.
Ali pergi menuju mereka dengan membawa pasukan berkekuatan seratus orang. Ali langsung menyerang mereka, akhirnya mereka pun lari. Ali menguasai binatang ternak yang mereka tinggalkan, yaitu lima ratus unta dan dua ribu kambing. Selanjutnya Ali kembali ke Madinah.
Untuk mempersingkat urusan, Rasulullah Saw. mengirim orang-orang yang akan membunuh sumber fitnah di Khaibar, yaitu Sallam bin Abi al-Hakik.






Sumber: Prof. Dr. Muh. Rawwas Qol’ahji, SIRAH NABAWIYAH Sisi Politis Perjuangan Rasulullah Saw., Al-Azhar Press

Peristiwa Umrah Qadha’ Nabi SAW



6. Umratul Qadha’

Kemudian pada bulan Dzul Qa’dah, tahun ketujuh Hijriyah, Rasulullah Saw. pergi untuk menunaikan umrah qadha’, yakni melakukan umrah sebagai pengganti atas umrah yang tidak bisa beliau kerjakan pada bulan Dzul Qa’dah tahun sebelumnya, karena pada waktu itu kaum musyrikin melarangnya. Rasulullah Saw. pergi bersama para sahabat, yang mereka juga tidak bisa melakukan umrah pada waktu itu.
Ketika orang-orang kafir Quraisy mendengar tentang kedatangannya Rasulullah, maka mereka pergi. Orang-orang kafir Quraisy berbicara sesama mereka bahwa Muhammad dan para sahabatnya berada dalam kesulitan, kelaparan, dan penderitaan. Orang-orang Quraisy berbaris di Dar an-Nadwah untuk melihat Rasulullah dan para sahabatnya. Ketika Rasulullah Saw. memasuki masjid, beliau memasukkan kain selendangnya di bawah lengan kanannya, dan menjadikan ujung kain selendangnya menutupi lengan kirinya, sedang lengan kanannya beliau keluarkan.
Kemudian, beliau bersabda, “Semoga Allah marahmati orang yang sekarang sedang memperlihatkan kekuatannya kepada orang-orang Quraisy.” Selanjutnya, beliau menyentuh Rukun, lalu beliau pergi sambil berlari-lari kecil yang diikuti para sahabatnya, sehingga Baitullah tertutup oleh mereka. Selanjutnya beliau menyentuh Rukun Yamani, lalu berjalan hingga menyentuh Rukun Aswad. Beliau berlari-lari kecil sebanyak tiga kali thawaf, sedang sisanya beliau berjalan.
Keberadaan Rasulullah di Makkah dirasa sangat berbahaya oleh orang-orang Quraisy. Sebab, setelah Muhammad tinggal di Makkah, beliau mulai melakukan berbagai kegiatan dan kontak-kontak, bahkan beliau mulai membangun hubungan cinta kasih (pernikahan) dengan sebagian keluarga Makkah. Beliau meminang dan menikahi Maimunah bintu al-Harits. Di mana-mana mulai ditemukan orang-orang yang membicarakan tentang beliau dan ideologi yang beliau emban, di jalan-jalan, dan di tempat-tempat mereka berkumpul.
Orang-orang Quraisy telah merasakan bahwa mayoritas penduduk Makkah mulai tertarik dengan Rasulullah. Sehingga orang-orang Quraisy berkeinginan mengusir dari Makkah ketika itu juga. Kalau saja orang-orang Quraisy tidak mengkhawatirkan status quonya, sebab mereka sudah tidak memiliki pilihan di depannya, dan sudah tidak ada yang dapat mereka lakukan, kecuali meminta beliau agar konsisten dengan teks kesepakatan Hudaibiyah yang menetapkan bahwa beliau tidak boleh tinggal di Makkah lebih dari tiga hari.
Orang-orang Quraisy mempercayakan kepada Huwaithib bin Abdul ‘Uza untuk meminta Rasulullah dan para pengikutnya agar melaksanakan point yang telah disepakatinya. Rasulullah Saw. tinggal di Makkah selama tiga hari.
Pada hari ketiga, Huwaithib bin Abdul ‘Uza mendatangi beliau, dan berkata: “Wahai Muhammad, tiga hari masa tinggalmu telah berakhir. Untuk itu, pergilah.” Rasulullah Saw. bersabda: “Bagaimana kalau kalian membiarkan aku mengadakan resepsi pernikahan di tengah-tengah kalian, dan aku buatkan jamuan makanan untuk kalian, kemudian kalian menghadirinya?” Orang-orang Quraisy berkata: “Kami tidak memerlukan makananmu. Pergilah.”

Selama Rasulullah Saw. mendapatkan apa yang beliau inginkan melalui gencatan senjata yang diadakan tahun sebelumnya, maka untuk apa pada tahun ini beliau kembali melakukan umrah lagi? Jawaban atas pertanyaan itu dapat dilihat melalui dua faktor:

Faktor Agamis

Rasulullah diperintahkan melakukan umrah, namun beliau belum bisa melakukannya, sehingga beliau wajib mengqadha'nya, berdasarkan firman Allah Swt:

Dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu” (TQS. Muhammad [47]: 33)

Faktor Politis

a. Kalau saja Muhammad tidak melakukan umrah qadha', niscaya orang-orang Quraisy akan menyebarkan berita di tengah-tengah bangsa Arab, bahwa kedatangannya tahun yang lalu di Hudaibiyah ternyata tidak untuk mengagungkan Ka’bah. Namun, kedatangannya untuk mengobarkan perselisihan dengan orang-orang Quraisy, dan menciptakan fitnah di tanah haram. Sehingga jika itu yang terjadi, maka akibatnya tidak baik bagi Negara Islam.

b. Umrah qadha’ yang dilaksanakan Rasulullah sebagai bentuk unjuk kekuatan dan ketangguhan (show of force) Negara Islam. Untuk itu, Rasulullah memakaikan mereka pakaian khusus yang menunjukkan titik-titik kekuatan dalam tubuh mereka. Beliau juga melakukan parade militer yang indah ketika melaksanakan thawaf dan sa’i, dengan berwasiat kepada para tentaranya agar menunjukkan setiap bentuk kekuatan dan ketangguhan kepada mereka. Beliau berkata: “Semoga Allah merahmati orang yang sekarang sedang memperlihatkan kekuatannya kepada mereka, orang-orang Quraisy.”

c. Melakukan parade militer di negeri musuh mengandung banyak maksud-maksud politik. Di antara maksud-maksud politik itu yang paling menonjol adalah memperlihatkan keunggulan yang tidak tertandingi yang dimiliki oleh Negara Islam.

d. Muhammad merencanakan untuk menaklukkan Makkah dan membersihkan posisi serta pengaruh orang-orang Quraisy di Makkah. Umrah qadha’ dijadikan sebagai media pengintaian dan pencarian informasi baru untuk daerah pertempuran yang akan datang, sebab beberapa perubahan telah terjadi di banyak tempat di Makkah, dan sebagai media mengambil hati orang yang masih terisolasi di Makkah.

(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Sumber: Prof. Dr. Muh. Rawwas Qol’ahji, SIRAH NABAWIYAH Sisi Politis Perjuangan Rasulullah Saw., Al-Azhar Press

Negara Islam Menaklukkan Institusi-Institusi Politik Yahudi



3. Pembersihan Terhadap Institusi-Institusi Politik Yahudi yang Lain

Dengan berhasil dibersihkannya institusi politik Yahudi Khaibar, jatuhlah kekuatan-kekuatan politik Yahudi yang lain, yang ada di Jazirah Arab, sehingga kendali berada dalam kekuasaan Rasulullah Saw. Kekuatan Yahudi sudah tidak tersisa lagi, kecuali kantong-kantong Yahudi di Fadak, Wadil Qura, dan Taima', namun mereka tidak memiliki kekuatan yang pantas untuk diperhitungkan. Dengan demikian, tidak sulit bagi Rasuluilah Saw. untuk menundukkan. Dan terbukti, beliau dengan kekuasaan Negara Islam berhasil menundukkannya dengan sangat gampang dan mudah.

a. Fadak

Setelah orang-orang Yahudi penduduk Fadak mendengar dan mengetahui apa yang terjadi di Khaibar, mereka meminta berdamai sebagaimana penduduk Khaibar kepada Rasuluilah Saw. tanpa melalui peperangan. Rasulullah Saw. menerima permintaan itu. Penghasilan dari kebun-kebun di Fadak khusus untuk dimiliki dan dibelanjakan oleh Negara Islam, sebab para mujahid (tentara Islam) tidak menaklukkan Fadak dengan pasukan berkuda dan pasukan pejalan kaki. Dengan demikian, takluknya Fadak bukan melalui peperangan.

b. Wadil Qura

Adapun penduduk Wadil Qura, mereka tidak datang kepada Rasulullah Saw. dengan menunjukkan ketundukannya dan mengumumkan loyalitasnya kepada Negara Islam, serta menyatakan bergabung di bawah bendera Negara Islam, seperti yang dilakukan penduduk Fadak. Untuk itu, Rasulullah Saw. harus menundukkannya melalui kekuatan. Setelah urusan Khaibar selesai, beliau berangkat menuju Wadil Qura.
Beliau mengepung penduduk Wadil Qura beberapa hari, bersamaan dengan itu, beliau mengajak mereka memeluk Islam, namun mereka menolaknya, sehingga beliau terpaksa memerangi mereka dan menaklukkan mereka dengan kekerasan.
Beliau membagi harta rampasan perang penduduk Wadil Qura, seperti peralatan dan harta benda. Sedang tanah dan kebun kurma tetap di tangan pemiliknya -orang-orang Yahudi. Beliau memperlakukan mereka seperti perlakuan beliau kepada orang-orang Yahudi Khaibar.

c. Taima’

Setelah orang-orang Yahudi penduduk Taima’ mendengar apa yang terjadi dengan penduduk Wadil Qura, mereka datang dan minta berdamai kepada Rasulullah Saw. dengan kesiapan membayar jizyah, sehingga mereka tetap tinggal di negeri mereka, dan tanah-tanah mereka tetap dalam kekuasaan mereka.

Kaum Muslimin Tertidur Pulas

Setelah selesai membersihkan semua kelompok-kelompok Yahudi dengan menjadikan Khaibar sebagai landasan untuk itu, beliau pergi dari Khaibar dan kembali ke Madinah al-Munawwarah. Perjalanan telah membuat Rasulullah Saw. dan para sahabat merasa lelah. Mereka telah memasuki sepertiga malam terakhir. Rasulullah Saw. ingin mengistirahatkan pasukannya dan memberi mereka kesempatan untuk tidur. Untuk menghindari terjadi hal-hal yang tidak terduga-duga, sedang mereka dalam keadaan tidur, maka beliau ingin menyerahkan urusan (tugas) menjaga mereka, dan tugas membangunkan mereka untuk shalat Subuh kepada salah seorang di antara mereka.
Rasulullah Saw. bersabda: Siapa orang yang siap menunggu shubuh untuk kita, sehingga kita bisa tidur? -artinya siapa orang yang akan membangunkan untuk shalat shubuh-.” Bilal berkata: “Aku siap menunggu shubuh untukmu, wahai Rasululluh.”
Rasulullah Saw. berhenti, lalu oleh kaum muslimin, dan tidak lama kemudian mereka pun tidur. Bilal mendirikan shalat beberapa raka'at. Selesai shalat, Bilal bersandar pada untanya untuk menunggu waktu shubuh, namun ia sudah tidak tahan lagi menahan rasa kantuknya, dan akhirnya ia pun tertidur. Dengan demikian, tidak ada yang membangunkan mereka, kecuali panasnya sengatan matahari. Beliau adalah orang pertama yang bangun.
Beliau bersabda, “Wahai Bilal, apa yang engkau lakukan untuk kita?” “Wahai Rasulullah, aku tertidur juga seperti kamu,” jawab Bilal. Rasulullah Saw. bersabda, “Engkau benar.” Rasulullah Saw. pergi sambil menuntun untanya, beliau berhenti tidak jauh dari tempat sebelumnya. Lalu beliau berwudhu’ dan diikuti kaum muslimin. Beliau menyuruh Bilal melakukan iqamah shalat, lalu beliau mendirikan shalat bersama kaum muslimin. Setelah salam, beliau menghadap kaum muslimin dan bersabda: “Jika kalian lupa mendirikan shalat, maka shalatlah kalian ketika ingat, sebab Allah Swt. berfirman:

“Dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku” (TQS. Thaha [20]: 14)

Tampak bagiku -wallahu a’lam- bahwa pulasnya tidur Rasulullah Saw. dan kaum muslimin dalam periode ini, dan setelah berakhirnya pembersihan terhadap institusi-institusi politik kaum Yahudi memiliki makna tersendiri. Dengan demikian, sepertinya Allah Swt. berfirman kepada kaum muslimin, “Sekarang kalian dapat tidur dengan tenang dan aman, sebab sumber bahaya yang mengkhawatirkan masa depan kalian telah tiada.”

Tinggal satu pertanyaan, “Atau tidak mungkinkah semua itu selesai tanpa harus ketinggalan shalat?” Aku katakan, “Bahwa tidur meupakan kejadian yang alami, yang tidak dapat dihindari (hal biasa), sehingga perlu disertai kejadian lain agar menarik perhatian manusia, sedang kejadian yang lain itu tidak lain adalah ketinggalan shalat.”

(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Sumber: Prof. Dr. Muh. Rawwas Qol’ahji, SIRAH NABAWIYAH Sisi Politis Perjuangan Rasulullah Saw., Al-Azhar Press

Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam