Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Hijrahnya Rasul Kita




Adalah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah menjelaskan dalam buku ad-Daulah al-Islamiyah bab Baiat Aqabah,


_"Harus diingat bahwa Rasul ﷺ tidak pernah berpikir untuk hijrah dari Makkah hanya karena beliau menemukan banyak kesulitan di hadapan dakwah tanpa mampu bersabar, atau tidak berupaya untuk menanggulangi hambatan-hambatan tersebut. Sesungguhnya beliau ﷺ telah bersabar selama 10 tahun di Makkah. Selama itu beliau tidak pernah mengubah pikirannya dari dakwah. Beliau dan para pengikutnya memang mengalami berbagai teror dalam aktivitas dakwahnya, namun kejahatan-kejahatan kafir Quraisy tidak pernah bisa melemahkan dirinya sedikit pun. Perlawanan mereka tidak menyurutkan tekad beliau dalam berdakwah. Bahkan, keimanan beliau semakin bertambah pada dakwah, yang datang dari Tuhannya. Keyakinannya terhadap pertolongan Allah semakin kokoh dan kuat._


_Akan tetapi, beliau ﷺ menyimpulkan bahwa setelah mencoba berbagai langkah untuk mengubah keadaan masyarakat Makkah, ternyata mereka berpikiran dangkal, berhati bebal, dan berkubang dalam kesesatan, yang seluruhnya dapat melemahkan cita-cita dakwah dalam dirinya, sehingga melanjutkan langkah-langkah tersebut dalam dakwahnya akan menjadi upaya yang sia-sia. Karena itu, beliau melihat bahwa dakwah harus dialihkan dari kondisi masyarakat semacam ini ke kondisi masyarakat lainnya. Lalu beliau berpikir tentang kemungkinan hijrah dari Makkah. Pikiran inilah yang membawa beliau untuk hijrah ke Madinah, bukan karena beliau dan para sahabatnya sering mendapatkan siksaan."_ 


Penjelasan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani tersebut menunjukkan gambaran "seperti apa" kokohnya kesabaran Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya. Dalam kitab-kitab sirah nabawiyah kita bisa melihat betapa keras siksaan yang ditimpakan kaum Quraisy terhadap Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya. Dan dengan semua yang diterima Rasul itu, Rasulullah tidak berpikir untuk berhenti. Jangankan berhenti, berpikir untuk keluar dari Makkah pun tidak.


Namun benar, bahwa Rasulullah memang pada akhirnya, beliau keluar dari Makkah. Namun, bukan karena beratnya ujian yang beliau terima. Bukan karena beratnya siksaan kaum Quraisy yang ditimpakan kepadanya. Bisa jadi, beliau merasa bahwa ini merupakan sebuah konsekuensi dari jalan dakwah yang dilakukannya. 


Tetapi beliau berpikir untuk mengalihkan medan dakwah dari Makkah, adalah karena beliau merasa bahwa orang-orang Makkah sudah terlalu bebal untuk menerima dakwah yang bisa berakibat pada runtuhnya seluruh cita-cita dakwah Islam yang sesungguhnya.


Dakwah dengan menentang sistem adalah dakwah yang tidak mudah. Dakwah dengan menentang sistem memiliki konsekuensi mahal yang hanya bisa dibayar oleh mereka yang berani membayarnya. Karena dakwah menentang sistem, berarti dakwah dengan menantang penguasa yang menerapkan dan menjaga sistem tersebut. 


Padahal, setiap penguasa memiliki penjaga dan antek yang senantiasa kokoh berdiri menghadapi para pengemban dakwah. Dan itulah jalan dakwah yang ditempuh Rasulullah. 


Beliau telah berani menentang sistem jahiliyah, beliau menantang para penguasanya, menghinakan thaghut yang mereka muliakan. Beliau harus berhadapan dengan para penjaga sistem jahiliyah beserta antek-anteknya. Hingga kekerasan pun ditimpakan kepada beliau dan sahabatnya, namun beliau tak surut sedikit pun karenanya.


Membaca penjelasan Syaikh an-Nabhani ini, seketika pikiran melayang membayangkan bagaimana Syaikh an-Nabhani dan para pengikutnya berusaha menetapi jalan yang Rasulullah pilih. Terbayang bagaimana para pengikut Syaikh an-Nabhani yang berada di Palestina, Suriah, Mesir, Sudan, Yaman, Turki, Malaysia, hingga Eropa bahkan Indonesia. 


Mereka begitu kokoh menerima setiap konsekuensi dari jalan dakwah yang mereka pilih, sebagaimana kokohnya keimanan para sahabat Rasul yang keimanan mereka senantiasa tertancap kokoh layaknya paku berkualitas baja; semakin dipukul, justru semakin dalam tertancap, dan sama sekali tidak bengkok.


Terus terang diri ini sangat bersedih, karena merasa tak mampu menjadi seperti mereka. Diri ini hanya berharap mendapat secuil semangat agar kekokohan yang dimiliki para sahabat dan pengikut Syaikh an-Nabhani benar-benar merasuk dan melekat dalam diri ini. Ini semua adalah berkat keimanan dalam diri. 


Ya, keimanan membuahkan kesabaran. Dan kesabaran membuahkan kekuatan. Karena itulah, dalam kajian para pengikut Syaikh an-Nabhani, yang pertama kali dibahas adalah pembahasan tentang Thariqul Iman atau jalan menunju keimanan. Sebab, keimanan atau aqidah itulah yang melandasi semua yang menjadi tempat tumbuhnya pohon besar nan kokoh, yang akarnya menancap kuat di bumi, yang batangnya kokoh kuat tak mudah roboh. []


Agus Trisa

PENTINGNYA PUNYA RASA MALU




Zakariya al-Bantany







Seorang yang beriman atau Mukmin (Muslim) sejati, yang berakhlak mulia atau berkepribadian Islam. Adalah mereka yang memiliki rasa malu dan tahu malu.



Yaitu, malu bermaksiat kepada Allah. Dan malu memamerkan segala kemaksiatan dan kejahilannya. Malu mengulang-ulang kesalahan yang sama, untuk kedua kali dan kesekian kalinya.



Malu bila tidak menjalankan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan malu bila tidak ibadah, tidak menuntut ilmu, tidak beramal shalih, tidak dakwah amar ma'ruf wa nahi munkar, dan tidak jihad fisabilillah.



Serta malu bila melanggar Syariah-Nya, baik secara terang-terangan maupun secara diam-diam. Dan malu bila tidak berislam kaffah (Syariah dan Khilafah).



Juga, malu bila sampai kurang ajar dan su'ul adab serta biadab. Dalam memusuhi dan mengkriminalisasi ajaran Islam perihal Syariah dan Khilafah serta perjuangannya tersebut.



Dan juga malu-maluin saja, atau tidak tahu malu. Alias tidak tahu diri atas posisi dirinya dan hakikat jati dirinya sebagai manusia dan hamba yang diciptakan oleh Allah SWT.



Disinilah pentingnya, kita seorang yang beriman. Atau pun seorang Mukmin atau seorang Muslim itu memiliki rasa malu.



Karena, malu itu bagian dari keimanan dan bagian dari akhlak Islam. Dan bukti ketaqwaan kepada Allah SWT.



Rasulullah Saw bersabda:




إنّ لكلّ دين خلقا، وخلق الإسلام الحياء




"Setiap agama mempunyai ciri khas akhlak, dan ciri khas akhlak Islam itu rasa malu." (HR. Ibnu Majah).






 الحياء من الإيمان




"Malu sebagian dari Iman." (HR. Muslim).






الإيمان بضع و سبعون، أو بضع و ستون شعبة، فافضلها : لا إله إلا الله، و أدناها إماطة الأذى عن الطريق، و الحياء شعبة من الإيمان




"Iman itu terbagi tujuh puluh ataupun enam puluh cabang, yang paling tinggi tingkatannya adalah kalimat: " Lâ ilâha illa Allah", sedangkan yang paling rendah tingkatannya adalah menyingkirkan duri di jalan, dan Malu itu termasuk salah satu cabang iman." (HR. Muttafaqun alaih).






الـحياء و الإيمان قرنا جمـيعا، فإذا رفع أحدهما رفع الأخر




“Malu dan iman senantiasa bersama. Apabila salah satunya dicabut, maka hilanglah yang lainnya.” (HR. Al-Hakim dan Thabrani).






الـحياء من الإيمان و الإيمان فـي الـجنّة، والبذاء من الـجفاء والـجفاء فـي النّار




“Malu adalah bagian dari iman, sedang iman tempatnya di Surga, dan perkataan kotor adalah bagian dari tabiat kasar. Sedang, tabiat kasar tempatnya di Neraka." (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim).






الحياء لا يأتي إلا الخير




"Malu tidak mendatangkan sesuatu, kecuali hanya kebaikan semata". (HR. Bukhari).






إنّ ممّا أدرك النّاس من كلام النّبوّة الأولى، إذا لم تستح فاصنع ما شئت.




"Sesungguhnya salah satu perkara yang telah diketahui oleh manusia dari kalimat Kenabian terdahulu. Adalah, 'Jika engkau tidak malu, berbuatlah sesukamu'." (HR. Bukhari, Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Thabrani).






Wallahu a'lam bish shawab. []

CINTA SEJATI HAKIKI




Oleh: Zakariya al-Bantany







Sudah menjadi sunnatullah dan fitrahnya setiap manusia itu. Telah dikaruniai oleh Allah SWT berupa akal, segala potensi dan naluri (gharizah) dalam diri dan hidupnya.



Yaitu: naluri beragama/bertuhan/mensucikan sesuatu (gharizah at-tadayun); naluri eksistensi diri/mempertahankan hidup (gharizah al-baqa'); dan naluri melanjutkan keturunan/seksual/kasih sayang dan cinta (gharizah an-na'u).



Jadi, setiap orang yang normal mestilah punya naluri dan rasa cinta, ingin mencintai dan ingin dicintai. Serta ingin menyalurkan dan mempertahankan cintanya kepada seseorang atau kepada sesuatu yang dicintainya.



Hanya saja, cinta tidak boleh dibangun dan dilandasi oleh syahwat atau dorongan hawa nafsu semata. Atau pun jangan hanya dibangun dan dilandasi oleh gharizatun na'u (naluri seksual/melanjutkan keturunan) belaka.



Sehingga, hanya berujung menjadi cinta buta belaka dan cinta semu. Yang justru, dapat menghilangkan akal sehat, mematikan hati nurani dan iman di dalam dada. Serta pun tentunya, hanya menyalahi fitrah penciptaan manusia itu sendiri.



Hingga pula, akan berakhir hanya menjadi budak cinta semu semata yang merusak hidup dan jiwa raga. Yang menghalalkan segala cara dan melanggar Syariah. Dan menyimpang dari fitrahnya sebagai manusia yang berakal, hamba Allah (Abdullah) dan Khalifatullah fil Ardhi (wakil Allah di muka bumi).



Jadi, cinta sejati dan hakiki itu adalah cinta yang dibangun dan dilandasi oleh keimanan, ilmu dan ketaqwaan. Dengan fondasinya serta ikatannya, adalah akidah Islam dan ideologi Islam. Serta standar perbuatan cintanya adalah Syariah Islam. Dan standar kebahagiaan cintanya pun adalah ridha Allah.



Adapun wujud cinta sejati dan hakiki tersebut, adalah berupa ketaatan totalitas. Dan pengorbanan setulus hati, serta segenap jiwa raga kepada Allah dan Rasul-Nya.



Juga, dengan meneladani dan mentaati totalitas secara kaffah dengan segenap jiwa raga kepada Rasulullah Saw.



Begitulah, seharusnya wujud cinta sejati dan hakiki tersebut. Sebagai wujud keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman:



وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ



“Dan orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah: 165).





Bahkan, cinta sejati dan hakiki ini pun, telah dicontohkan dan dipraktekkan oleh para Sahabat Radhiyallahu anhum. Mereka sangat mencintai dan mengagungkan Allah dan Nabi Saw, lebih dari kecintaan mereka kepada diri dan anak-anak mereka.



Sebagaimana yang terdapat dalam kisah ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu, yaitu sebuah hadits dari Sahabat ‘Abdullah bin Hisyam Radhiyallahu anhu, ia berkata:



كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ آخِدٌ بِيَدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، فَقَالَ لَهُ عُمَرُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، َلأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِلاَّ مِنْ نَفْسِي. فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ وَالَّذِي نَفْسِيْ بِيَدِهِ، حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ نَفْسِكَ. فَقَالَ لَهُ عَمَرُ: فَإِنَّهُ اْلآنَ، وَاللهِ، َلأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ نَفْسِي. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اْلآنَ يَا عُمَرُ.



“Kami mengiringi Nabi Saw dan beliau menggandeng tangan Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu. Kemudian Umar berkata kepada Nabi Saw: 'Wahai Rasulullah, sungguh engkau sangat aku cintai melebihi apapun selain diriku.' Maka Nabi Saw menjawab: 'Tidak, demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, hingga aku sangat engkau cintai melebihi dirimu.' Lalu Umar berkata kepada beliau: 'Sungguh sekaranglah saatnya, demi Allah, engkau sangat aku cintai melebihi diriku.' Maka Nabi Saw bersabda: 'Sekarang (engkau benar), wahai Umar'." (HR. Al-Bukhari (no. 6632), dari Sahabat ‘Abdullah bin Hisyam Radhiyallahu anhu).





Dan diantara bukti cinta para Sahabat radhiyallahu 'anhum tersebut. Kepada Allah dan Rasul-Nya, adalah mereka cinta pula dengan seluruh ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw.



Khususnya pula, mereka cinta kepada ajaran Islam perihal Syariah dan Khilafahnya. Yang notabene adalah ajaran, sunnah dan warisan Rasulullah Saw. Sebagaimana cintanya para Sahabat radhiyallahu 'anhum tersebut, kepada Sang Nabi Saw itu sendiri.



Gambaran cinta sejati dan hakiki kepada Allah dan Rasul-Nya. Diantara salah-satunya, bisa kita lihat dan baca dari ucapan Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu. Beliau berkata:



ثَلَاثٌ لَأَنْ يَكُونَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيَّنَهُمْ لَنَا أَحَبُّ إِلَيَّ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا: الْخِلَافَةُ، وَالْكَلَالَةُ وَالرِّبَا



“Sungguh tiga perkara yang Rasulullah Saw terangkan kepada kami, lebih aku sukai daripada dunia dan seisinya, yakni: Khilafah, al-kalâlah dan riba.” (HR. Al-Hakim, Abu Dawud dan Al-Baihaqi).





Begitupula, bila kita mencintai seseorang dan sesuatu. Seperti kita mencintai dunia dan seisinya, atau pun cinta kita kepada kedua orang tua kita, isteri kita dan sebaliknya, juga mencintai anak-anak kita serta sesama Muslim, dan lain-lain.



Wajib dibangun dan dilandasi oleh cinta, iman dan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya beserta ajaran Islamnya. Dan tidak boleh cinta kita kepada dunia dan seisinya tersebut, justru melalaikan kita, dan mengalahkan cinta kita kepada Allah dan Rasul-Nya.



Dan sesungguhnya pula, seseorang itu pun akan bersama dengan sesuatu yang dicintainya. Serta pula dia akan bersama dengan orang yang dicintainya tersebut.



Dalam hadits diriwayatkan, dari Sahabat Anas bin Malik radiyallahu anhu, beliau bercerita:


“Seorang lelaki pernah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu dia bertanya, “Ya Rasulullah, kapan hari kiamat?”


Rasulullah Saw balik bertanya:



 وَمَا أَعْدَدْتَ لِلسَّاعَةِ



“Apa yang telah anda siapkan untuk hari Kiamat?”


“Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya”, Jawab lelaki tersebut.


Rasulullah Saw menanggapi:



فَإِنَّكَ مع من أحببت



“Sesungguhnya anda bersama orang yang anda cintai.” (HR. Muslim).





Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan hadits ini dalam kitab “Fathul Bari”:



“قَوْلُهُ :” (إِنَّكَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ) أَيْ: مُلْحَقٌ بِهِمْ حَتَّى تَكُونَ مِنْ زُمْرَتِهِم



“Anda bersama orang yang anda cintai, maksudnya, dibangkitkan bersama mereka, sampai anda menjadi bagian dari barisan mereka.”





Sahabat Anas bin Malik radhiyallahu anhu, pernah mengatakan ucapan yang indah:



فما فرحنا بعد الإسلام فرحا أشد من قول النبي-صلى الله عليه وسلم- “فإك مع من أحببت”, فأنا أحب الله ورسوله وأبا بكر وعمر فأرجو أن أكون معهم وإن لم أعمل بأعمالهم.



“Kami tidak pernah lebih gembira setelah masuk Islam daripada gembiranya yang disebabkan sabda Nabi Muhammad Saw: ‘Sesungguhnya engkau bersama yang engkau cintai’, maka aku mencintai Allah, Rasul-Nya, Abu Bakar dan Umar, dan berharap aku bersama mereka meskipun aku tidak beramal seperti amalan mereka.”





Cinta sejati dan hakiki, akan membawa seseorang kepada keikhlasan, ketulusan, kedekatan dan ketaatan serta pengorbanan. Sehingga memberikan dampak membekas pada dirinya. Sehingga tercermin dalam pola pikir dan pola perilakunya, atau tercermin dalam kepribadiannya di dalam kehidupan sehari-hari.



Imam Ibnu Al-Qoyyim rahimahullah, menuturkan dalam kitabnya, Zadul Ma’ad:



قَرَنَ كُلَّ صَاحِبِ عَمَلٍ بِشَكْلِهِ وَنَظِيرِهِ، فَقَرَنَ بَيْنَ الْمُتَحَابَّيْنِ فِي اللَّهِ فِي الْجَنَّةِ، وَقَرَنَ بَيْنَ الْمُتَحَابَّيْنِ فِي طَاعَةِ الشَّيْطَانِ فِي الْجَحِيمِ



“Pelaku satu perbuatan dikumpulkan bersama mereka yang sama kelakuannya, maka orang-orang yang saling mencintai karena Allah dikumpulkan bersama-sama di surga, dan orang-orang yang saling mencintai karena ketaatan kepada syaitan dikumpulkan di neraka.” [Zadul Ma’ad, 4/248].



Selain dibangkitkan bersama orang-orang beriman dan shalih serta bertaqwa. Orang-orang yang saling mencintai karena Allah juga mendapatkan keutamaan lainnya. Yaitu, Allah berikan naungan saat di hari tidak ada naungan, selain naungan-Nya. Rasulullah Saw bersabda:



  “سبعة يظلهم الله يوم لا ظل الا ظله منها”

“رجلان تحبا فى الله اجتمع عليه وتفرق عليه”~ 



“Ada tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan di hari tidak ada naungan selain naungan Allah. Di antaranya adalah, “seseorang yang saling mencintai karena Allah, bertemu dan berpisah karena Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim).





Syaikh Al-Mubarakfuri rahimahullah, memaparkan dalam Tuhfatul Ahwadzi, yang merupakan syarah kitab Sunan At-Tirmidzi.



Bahwa dari ragam riwayat itu, keseluruhannya saling melengkapi tentang bagaimana seorang Muslim yang tidak mampu melakukan banyak amal shalih seperti orang-orang shalih.



Agar tetap optimis, dan terus mempertahankan cinta kepada Allah, Rasul-Nya dan para shalihin, serta cinta terhadap ajaran Islam itu sendiri.



مَنْ أَحَبَّ قَوْمًا بِالْإِخْلَاصِ يَكُونُ مِنْ زُمْرَتِهِمْ وَإِنْ لَمْ يَعْمَلْ عَمَلَهُمْ لِثُبُوتِ التَّقَارُبِ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَرُبَّمَا تُؤَدِّي تِلْكَ الْمَحَبَّةُ إِلَى مُوَافَقَتِهِمْ



 “Jika seseorang mencintai kalangan shalih dengan ikhlas, maka sebagaimana dinyatakan Nabi, ia termasuk golongan mereka kendati amalannya tidak seperti yang dilakukan orang-orang shalih tadi, sebab keterpautan hati dengan mereka. Kiranya rasa cinta itu memotivasi agar bisa berbuat serupa.” [Muhammad bin Abdurrahman al-Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Jami’ at-Tirmidzi (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah), juz 7, hal 53].



Jadi begitulah, sesungguhnya hakikat dan wujud cinta sejati dan hakiki tersebut. Yang dibangun dan dilandasi oleh ilmu, iman dan ketaqwaan, atau pun ideologi dan akidah Islam. Akan melahirkan dan mewujudkan keselamatan dan kebahagiaan baik di dunia maupun di Akhirat.





Wallahu a'lam bish shawab. []

Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam