Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Kaum Kristen Minta Dipimpin Khalifah Kaum Muslim


Kaum Kristen Meminta Bantuan Khalifah Murad II

Sebelum Khalifah Bayazid I [1360-1403 M] kalah dalam Perang Ankara melawan musuh bebuyutannya, Timur Leng, dan ditawan, maka mulailah terjadi kekacauan di Anatolia. Kesempatan ini digunakan oleh penguasa Bunduqiyah untuk mengambil Salonika. Namun, putranya, Khalifah Murad II [1403-1451 M] yang berkuasa setelahnya, tidak pernah melupakan Salonika. Tetapi, dia ingin merebutnya kembali dengan cara yang baik.

Khalifah Murad II mulai mengirim hadiah kepada para penguasa Bunduqiyah, dan meminta mereka untuk meninggalkan kota tersebut, serta mengembalikannya kepada Kekhalifahan 'Utsmani. Penguasa Bunduqiyyah pun mengirim utusan untuk mengulur-ulur, dan buying time, sampai kesabaran Khalifah habis. Saat kesabaran Khalifah sudah habis, ia sampaikan kepada utusan terakhir yang datang kepadanya:

”Nenek moyang kami telah membebaskan Salonika, sehingga ini telah menjadi kota Islam. Karena itu, kami tidak mungkin mengizinkan masuk atau berkuasanya orang asing terhadap kota ini. Jika kalian tidak mau meninggalkan Salonika, dan pergi dengan sukarela, saya akan datang dan mengusir kalian dari sana dengan paksa!”

Untuk mewujudkan ancamannya itu, Khalifah memang menunggu beberapa bulan. Ketika tak ada jawaban sama sekali dari mereka, maka Khalifah menyiapkan armada laut tahun 1431 M. Armada ini akhirnya bertemu dengan armada maritim Bunduqiyyah di dekat Galipoli. Khalifah pun berhasil mengalahkan mereka dengan kekalahan telak. Lalu, sampai ke Salonika, mengepungnya dan menyerangnya. Akhirnya, setelah peperangan yang sengit, Salonika berhasil dikembalikan ke pangkuan Islam dan Khalifah memasuki kota ini dengan kemenangan.

Ketika Khalifah Murad memasuki kota Salonika, ia diberitahu bahwa utusan dari Kota Yania datang. Mereka ingin menghadapnya, karena ada perkara penting. Khalifah pun terkejut mendengar berita tersebut, karena kota ini tidak ada hubungan apapun dengannya. Karena saat itu berada di bawah pemerintahan Italia.

Kota Yania berada di bawah kekuasaan keluarga Italia, Tocco. Ketika Carlo Tocco II meninggal tahun 1430 M, anak saudaranya, Carlo Toko I, yang berkuasa, tetapi anak-anak Tocco I ini secara ilegal memberontak dan merebut kekuasaan. Mulailah era kekacauan dan peperangan menimpa rakyat. Ketika mereka mendengar Khalifah berada di wilayah Salonika, yang dekat dengan wilayah mereka, mereka mengirim utusan.

Khalifah perintahkan kepada ajudannya untuk mendengar apa yang disampaikan utusan tersebut. Kata Khalifah, ”Selamat datang... Apa yang membuat kalian datang ke sini? Dan apa yang kalian harapkan?” Kata utusan tersebut, ”Wahai Paduka Sultan yang agung, hamba datang hendak meminta bantuan Paduka. Semoga, harapan kami tidak salah." Kata Khalifah, "Mengapa saya bisa membantu kalian?" Mereka melaporkan,”Wahai Tuan kami, sesungguhnya para penguasa kami selalu menzhalimi kami. Mereka memperlakukan kami seperti budak. Mereka merampok kekayaan kami, kemudian memaksa kami berperang." Jawab Khalifah, ”Apa yang bisa saya lakukan? Ini adalah masalah kalian dengan penguasa kalian?”

Kata mereka ”Kami bukanlah penganut Islam, wahai Paduka. Kami adalah penganut Kristen. Tetapi, kami telah banyak mendengar tentang keadilan kaum Muslim. Mereka tidak pernah menzhalimi rakyatnya. Mereka tidak memaksa siapapun untuk memeluk agama mereka. Semua yang mempunyai hak, dihargai haknya oleh mereka. Kami telah mendengarkan ini dari para pelancong dan pedagang yang telah mengunjungi kesultanan Paduka. Karena itu, kami berhadap Paduka berkenan menjadikan kami dalam perlindungan Paduka. Paduka hendaknya memerintah negeri kami, agar Paduka bisa membebaskan kami dari kezhaliman para penguasa kami yang zhalim.” Utusan itu pun menyerahkan kunci emas kota tersebut.

Khalifah pun memenuhi harapan penduduk Kota Yania. Ia pun mengirim salah seorang panglimanya untuk memimpin tentara ke kota ini. Kota ini pun berhasil dibebaskan dengan nyata tahun itu juga, tepatnya tahun 1431 M.

Ini merupakan kisah nyata, bukan dongeng. Begitulah, kaum Muslim benar-benar menjadi simbol keadilan dan kebaikan. [Referensi: Ourkhan Muhammad 'Ali, Rawa'i' Min at-Tarikh al-'Utsmani, hal. 33-36]

Tabloid Media Umat edisi 216

Selamatkan Kampus Dari Islamophobia



Kampus itu semestinya berfungsi sebagai tempat untuk menumbuhkan intelektualitas bukan kerdilitas. Tentu sebuah kekerdilan berpikir ketika kampus diseret menjadi alat untuk mempersekusi mereka yang memiliki pendapat syar’i yang berbeda dengan petinggi kampus.

Apa yang dilakukan oleh Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Yudian Wahyudi, sangat mengusik dunia akademisi. Seperti yang diberitakan di media massa, Yudian berencana melarang penggunaan cadar di kampusnya dalam rangka mencegah radikalisme dan fundamentalisme.

Ada 42 mahasiswinya yang memakai cadar telah dikumpulkan dan diminta mencabut cadarnya tersebut. Meski terakhir dikabarkan bahwa Yudian terpaksa akan menunda rencana tersebut akibat tekanan publik Muslim yang sangat kuat.

Tidak selesai di situ, Yudian juga menuding miring konsep ajaran Islam lainnya yakni khilafah. Itu dilakukan ketika dirinya menjadi saksi ahli yang ditunjuk pemerintah dalam sidang gugatan HTI atas pencabutan SK Badan Hukum Perkumpulannya pada Kamis (8/3/2018) di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Intinya, Yudian menuding bahwa khilafah itu bukan ajaran Islam.

Seorang akademisi sudah semestinya mengedepankan disinterestedness dan objektivitas dalam bersikap. Bentuk objektivitas itu di antaranya adalah didukung oleh data yang valid atau dalil yang shahih. Karenanya sikap Yudian terhadap cadar dan khilafah itu penting untuk dikritisi karena ada indikasi ketidakobjektifan dan mengkriminaliasasi ajaran Islam.

Pertama, mengaitkan cadar dengan terorisme dan radikalisme adalah sekadar bentuk framing yang dibangun dari logika kebencian. Tentu sangat naif kalau kemudian disimpulkan bahwa cadaritu identik dengan terorisme yang berujung pada pelarangan penggunaan cadar di kampus, hanya karena ada seorang pelaku terorisme yang menggunakan cadar ketika melakukan aksinya.

Itu mirip dengan melarang menggunakan baju batik di kampus gara-gara ada seorang pelaku korupsi yang biasa pakai baju batik. Atau melarang mahasiswa membawa tas ransel ke kampus karena ada pelaku terorisme yang memakai tas ransel ketika melakukan aksi terornya. Atau melarang mahasiswa memakai sepatu di dalam kampus karena ternyata pelaku penembakan di sebuah sekolah di Amerika Serikat menggunakan sepatu. Logika seperti itu tentu tidak sekadar keliru tapi juga memalukan. Tidak ada satupun ulama mu'tabar yang melarang cadar.

Kedua, khilafah merupakan ajaran Islam yang bukan istilah asing lagi dalam khasanah keilmuwan Islam. Menurut cendekiawan Muslim Dr. Mahmud al-Khalidi (Qawa'id Nizham al-Hukm fi al-Islam, hlm. 226), khilafah adalah kepemimpinan umum atas seluruh kaum Muslim di dunia untuk menerapkan syariah dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.

Kewajiban menegakkan khilafah telah menjadi ijmak para ulama ahlu as-sunnah wal jama'ah, khususnya imam mazhab yang empat, yakni Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Syaikh Abdurrahman al-Jaziri dalam kitabnya al-Fiqh 'ala al-Madzahib al-Arba'ah, 5/416.

Hal senada juga ditegaskan oleh Imam Ibnu Hajar al-Asqalani bahwa para ulama telah sepakat tentang wajibnya mengangkat seorang khalifah dan bahwa kewajiban itu adalah berdasarkan syariah, bukan berdasarkan akal (Fath al-Bari, 12/205).

Jadi sikap mengkriminalisasi dan mempersekusi cadar dan khilafah itu adalah indikasi terjangkitnya virus islamophobia. Faktanya, tidak ada yang bahaya dari ajaran Islam, termasuk syariah khilafah, karena Islam adalah rahmat bagi semesta alam. Itu bisa ditelusuri dari rekam jejak peradaban islam yang eksis memimpin dunia selama 14 abad.

Bahaya yang sesungguhnya justru datang dari para kelompok liberal dan islamophobia itu. Karena merekalah yang mempropagandakan kehidupan sekuler yang ingin menyingkirkan Islam dari kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Wallaahua'lam bi ash-shawaab.

Bacaan: Tabloid Media Umat edisi 216

Ketika Negara Tertimbun Utang Dan Impor



Oleh: Dr. M. Kusman Sadik

Ibarat tubuh manusia, utang itu laksana kanker yang dapat menggerogoti daya tahan suatu negara. Apalagi jika utang tersebut disertai riba, yang Al-Qur’an menggambarkannya seperti orang mabuk yang sempoyongan akibat jeratan riba tersebut.

Ini bukan hoax, Indonesia terbelit utang yang jeratannya makin parah sejak dari tahun 2015 hingga saat ini. Pada tahun 2015 utang luar negeri Indonesia sudah mencapai Rp3.165 triliun. Kini, sesuai data yang dirilis Bank Indonesia (BI), utang luar negeri Indonesia pada akhir Januari 2018 lalu telah meningkat 10,3 persen (yoy) menjadi 357,5 miliar dolar AS atau sekitar Rp4.915 triliun (kurs Rp13.750 per dolar AS).

Tumpukan utang sebesar itu tentu merupakan masalah serius, apalagi trennya yang terus menaik dari tahun 2015. Artinya selama tiga tahun terakhir Indonesia tidak hanya tidak mampu menurunkan volume utangnya tetapi bahkan terus menambahnya dengan utang baru. Ada beberapa hal yang patut digarisbawahi terkait menumpuknya utang tersebut.

Pertama, penambahan utang tersebut memang sebagai konsekuensi dari kebijakan pemerintah sendiri. Sebagaimana diketahui utang tersebut digunakan untuk mengejar pembangunan infrastruktur yang menjadi target utama pembangunan pemerintah. Mungkin saja pembangunan infrastruktur itu dipilih sebagai prioritas karena termasuk hal yang mudah dilihat fisiknya. Sehingga diharapkan mampu menggambarkan 'keberhasilan‘ pembangunan. Padahal sesungguhnya menyimpan masalah besar karena pembiayaannya berasal dari utang.
Apalagi dalam jangka pendek hingga jangka menengah, pembangunan infrastruktur itu tidak akan banyak berpengaruh pada sektor pertanian, perikanan, dan industri kecil. Padahal sektor tersebut merupakan bagian fundamental ekonomi Indonesia, karena sebagian besar perekonomian masyarakat bergerak di situ. Sektor yang terkena dampak positif hanya sektor yang secara langsung terkait dengan infrastruktur. Seperti sektor industri semen, besi, baja, dan sejenisnya yang umumnya dimiliki oleh para elite pengusaha raksasa dan BUMN.

Kedua, pada saat pembangunan secara besar-besaran infrastruktur yang dananya berasal dari utang tersebut, Indonesia justru mengimpor beras 500.000 ton dari Vietnam dan Thailand. Hingga pertengahan Maret 2018 sudah terlaksana impor tersebut sebanyak 261.000 ton dan sisanya akan dilakukan bertahap hingga bulan Juni mendatang.

Tidak hanya beras, garam pun juga diimpor. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan, pada Januari 2018 garam impor yang masuk ke Indonesia sebesar 131.957 ton dengan nilai USD 3,88 juta. Sementara pada Februari 2018, Indonesia mengimpor garam sebanyak 167.261 ton dengan nilai USD 5,61 juta.

Menurut Kementerian Perindustrian, total impor garam selama tahun 2018 ini akan mencapai 3.7 juta ton. Bahkan telah diterbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 2018 yang menjadi payung legalitas untuk mengimpor garam tersebut.

Semua kebijakan di atas menjadi sangat ganjil ketika diklaim untuk menyejahterakan masyarakat. Pada satu sisi utang terus menumpuk untuk infrastruktur, sementara sektor fundamental ekonomi masyarakat seperti pertanian dan kelautan justru diabaikan. Impor beras dan impor garam tersebut tidak berpihak terhadap kedaulatan, keberlanjutan dan kesejahteraan petani dan petambak garam. Kebijakan itu justru sebenarnya lebih berpihak pada keuntungan segelintir elit pengusaha besar yang ber gerak disektor perdagangan dan impor.

Hal itu sebenarnya menunjukkan fakta kebijakan neoliberal di negeri ini. Sebuah kebijakan yang cenderung menjauhkan masyarakat dari kesejahteraan. Utang hanya memperkuat negara pemberi utang, sementara negara pengutang akan dijerat hingga lemas tidak berdaya.

Apalagi dana utang digunakan untuk membiayai proyek yang tidak bersentuhan langsung dengan fundamental ekonomi masyarakat! Ditambah lagi dengan impor pangan yang dapat mematikan para petani di negeri ini. Karenanya, tidak ada yang bisa diharapkan dari kebijakan neo-liberal semacam itu kecuali kesengsaraan satu, kesengsaraan dua, kesengsaraan tiga, dan seterusnya. Wallaahua'lam bi ash-shawaab.[]

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 217

Dengan Islam Wanita Mulia



Oleh: Fatmah Ramadhani, alumni FKM UI

Para filsuf di masa Yunani kuno berpolemik apakah perempuan memiliki jiwa atau tidak. Mereka percaya perempuan sumber penyakit dan bencana. Di Romawi, kaum lelaki memiliki hak mutlak terhadap keluarganya. Ia bebas melakukan apa saja bahkan membunuh istri dalam keadaan tertentu.

Seorang perempuan yang melakukan kesalahan di peradaban Persia bisa dijatuhi hukuman berat. Bila mengulangi kesalahan, Kaisar tidak segan menjatuhkan hukuman mati. Sebelas-dua belas, peradaban India juga berlaku keji pada kaum hawa. Seorang janda dibakar hidup-hidup bersama mayat suaminya sebagai wujud kesetiaan.

Taurat Yahudi menyebutkan, "Perempuan lebih pahit dari kematian, dia tidak akan sampai pada kesempurnaan.” Akibatnya perempuan dianggap rendah dan diperjualbelikan. Adapun perlakuan buruk agama Nasrani pada perempuan bersumber dari kitab sucinya sendiri:
"Aku ingin supaya kamu hidup tanpa kekhawatiran. Orang yang tidak beristri memusatkan perhatiannya pada perkara Tuhan, bagaimana Tuhan berkenan kepadanya. Orang yang beristri memusatkan perhatiannya pada perkara duniawi, bagaimana ia dapat menyenangkan istrinya, dan dengan demikian perhatiannya terbagi-bagi. Perempuan yang tidak bersuami dan anak-anak gadis memusatkan perhatian mereka pada perkara Tuhan, supaya tubuh dan jiwa mereka kudus. Tetapi perempuan yang bersuami memusatkan perhatiannya pada perkara duniawi, bagaimana ia dapat menyenangkan suaminya." (I Korintus 7:32-34).
Teks ini menjadi dalil bagi tokoh-tokoh gereja memandang rendah dan menjauhi pernikahan. Perempuan dianggap sebagai penyebab disalib dan dibunuhnya anak Tuhan, penyebab umat manusia diusir dari surga, dan penyebab seluruh kesusahan umat manusia.

Bagaimana dengan Arab? Membunuh anak perempuan merupakan budaya jahiliah, keberadaan anak laki-laki lebih membanggakan karena fisik yang kuat. Belum lagi kebiasaan hina berbagi istri untuk dinikmati laki-laki lain.

Islam hadir sebagai rahmat bagi seluruh alam. Masyarakat Islam berdiri di atas tauhid, meyakini keberadaan Allah sebagai Pencipta untuk mengatur kehidupan, termasuk mengatur perempuan tanpa mengabaikan lelaki. Tidak lain bertujuan memberi keadilan dan kemuliaan hakiki bagi keduanya.

Perempuan dalam Islam bukan makhluk nomor dua apalagi sumber segala dosa. Islam memandang perempuan sebagai saudara kandungnya lelaki, kedudukan mereka sama di hadapan Pencipta, hanya takwa yang menjadi pembeda.

Sebagai manusia, banyak aturan yang serupa antara mereka, seperti shalat, haji, menuntut ilmu dan lain-lain. Dalam perbedaan fisik, Islam sangat memahaminya sehingga lahirlah aturan berbeda antara mereka. Perbedaan ini bukan diskriminasi, namun menyamaratakan atau bertukar peran antara laki dan perempuan hampir mustahil dilakukan. Bila dipaksakan, hanya membuat ketimpangan dan kekacauan.

Posisi sebagai ibu dan manajer di rumah adalah posisi yang bergengsi di dalam Islam. Di tangan perempuan terletak tahap awal membangun suatu peradaban. Andil langsungnya adalah dengan menjalani peran sebagai aktor peradaban. Kita dapat berkaca pada istri-istri Nabi Muhammad SAW maupun para shahabiyah. Mereka adalah aktor pembangun peradaban Islam, mereka tekun mengikuti kajian dan didikan Nabi SAW sehingga menjadi perempuan yang berani, cerdas dan rela berkorban di jalan dakwah.

Andil tidak langsung tak kalah pentingnya yaitu bertanggung jawab penuh dalam menjalankan peran sebagai istri atau ibu. Di balik besarnya sosok Bukhari dipastikan ada seorang istri yang luar biasa. Saat mengembara mengumpulkan hadits, tidak merasa khawatir meninggalkan anak-anaknya bersama sang bunda, tidak khawatirakan kenakalan anak-anak.

Begitu pula di balik kebesaran sosok ulama dipastikan ada seorang ibu yang luar biasa. Barangkali Imam Syafi'i, si anak yatim akan hidup mengemis di pinggir jalan karena kemiskinan keluarganya. Tapi ia memiliki seorang ibu tangguh yang memenuhi rongga tubuhnya dengan ilmu. Hingga ia menjadi sosok ulama besar.

Kemuliaan martabat perempuan di masa depan hanya bisa kita sematkan pada Islam. Peradaban Islam terbukti gemilang mengeluarkan manusia dari peradaban jahiliah menuju peradaban mulia. Inilah yang wajib kita perjuangkan: khilafah IsIam.[]

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 217

Impor Beras, Bukti Negara Dikuasai Pemilik Modal



Keputusan pemerintah mengimpor 500 ribu ton beras menunjukkan program kedaulatan pangan sebagai salah satu prioritas hanya sebagai pencitraan. Impor beras di tengah opini surplus dan sedang panen raya semakin memperjelas kebijakan pemerintah yang selama ini memang tidak pernah berpihak kepada rakyat.

Masyarakat selalu menjadi pihak yang dikorbankan walaupun pemerintah senantiasa berdalih untuk kepentingan rakyat ternyata itu hanya sebatas retorika. Sebagaimana kebijakan-kebijakan lainnya seperti pencabutan subsidi BBM dan rencana pencabutan subsidi LPG 3 kg yang melahirkan kesulitan bagi orang miskin. Kebijakan pemerintah mengimpor beras juga akan berdampak semakin terpuruknya kesejahteraan masyarakat terutama para petani.

Ketua Umum DPN Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Fadli Zon mengemukakan, rencana pemerintah untuk mengimpor beras 500 ribu ton hanya membuktikan kacaunya tata kelola pangan pemerintah, sekaligus rendahnya mutu data pangan pemerintah. "Saya melihat kebijakan impor beras ini sangat aneh. Pernyataan pemerintah tidak ada yang sinkron satu sama lain. Disebut aneh karena Kementerian Pertanian mengklaim sampai Januari 2018 ini kita mengalami surplus beras sebesar 329 ribu ton,“ katanya.

Pengamat ekonomi Arim Nasim menilai, impor beras di tengah stok yang mencukupi sebenarnya semakin menunjukan kebobrokan paradigma sistem ekonomi kapitalis dan kebijakan politik sekularis. Ada dua hal yang bisa dilihat dari peristiwa impor beras ini, yaitu kesalahan menjadikan kelangkaan sebagai problematika ekonomi dan kebijakan ekonomi yang tidak pernah berpihak kepada rakyat.

Ia menjelaskan, sistem ekonomi kapitalis memandang bahwa masalah perekonomian adalah terletak pada kelangkaan, sehingga solusi yang diberikan adalah meningkatkan produksi barang atau jasa, tapi tidak pernah memperhatikan secara serius masalah distribusi barang tersebut kepada setiap individu. Akibatnya, walaupun barang tersebut secara jumlah mencukupi tapi tidak ada jaminan setiap orang dapat memenuhi barang tersebut. Pemerintah senantiasa berusaha untuk memfokuskan pada peningkatkan produksi nasional atau penyediaan stok nasional tanpa memperhatikan secara serius distribusi kekayaan tersebut di tengah-tengah rakyat,” katanya.

Hal ini terbukti walaupun setiap tahun pemerintah mengklaim cadangan beras surplus baik didapatkan dari hasil panen maupun ditambah hasil impor, masih banyak warga negara yang mengalami kelaparan. Menurut penelitian FAO tahun 2015, masih ada sekitar 19,4 juta penduduk Indonesia yang masih mengalami kelaparan. Menurut Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani, dalam sistem kapitalis yang menjadi penguasa sebenarnya adalah para kapitalis/ pemilik modal/ konglomerat).

Wajar kalau kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah selalu berpihak kepada para pemilik modal dan selalu mengorbankan kepentingan masyarakat. “Impor beras dilakukan karena ada mafia rente yang mencari keuntungan melalui komisi dari setiap ton beras yang diimpor," kata Arim.

Dampak impor beras ini, kata Arim, akan mengganggu para petani yang merupakan 44 persen dari total angkatan kerja (sekitar 60 juta orang). “Sudah waktunya kita me-reshuffle sistem ekonomi kapitalis dan menggantinya dengan sistem ekonomi yang memberikan jaminan keadilan dan kesejahteranan bagi umat manusia yaitu sistem ekonomi Islam." jelasnya.[]an

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 212

Rezim Pemerintah Anti Islam, Imajinatif?



Pernyataan Ketua DPP PDI Perjuangan Andreas Hugo Pereira bahwa isu Jokowi unfriendly dengan umat Islam hanya imajinatif, menarik untuk kita kritisi. Sebagaimana yang diberitakan Republika (15/1/2018), Ketua DPP PDI Perjuangan itu menampik isu yang selalu dialamatkan kepada Presiden Joko Widodo dan PDIP yang selalu unfriendly atau tidak bersahabat dengan umat Islam. Menurutnya, isu tersebut tidak benar dan hanya imajinatif yang dibuat untuk menjatuhkan Presiden Jokowi dan PDIP. Pernyataan Andreas ini terkait berbagai serangan yang selalu dialamatkan kepada PDIP dan Presiden Jokowi setiap jelang tahun politik, seperti Pilkada dan Pilpres. Menurutnya, dalam demokrasi sikap kritis oleh lawan politik boleh, tapi jangan melakukan kampanye hitam seperti isu-isu komunis dan anti Islam.

Namun, opini yang berkembang di tengah-tengah kaum Muslimin tentang sikap rezim Jokowi yang kurang bersahabat terhadap umat Islam bukanlah muncul begitu saja. Tidak ada asap kalau tak ada api. Cara pandang keliru terhadap umat Islam dengan menganggap umat Islam sebagai ancaman telah membuat beberapa kebijakan rezim Jokowi ini dipandang tidak bersahabat dan sarat dengan permusuhan terhadap umat Islam.

Aksi Bela Islam, yang berjalan damai, tanpa kekerasan, kemudian dituding didalangi kelompok radikal Islam. Demikian pula saat muncul seruan dari para ulama dan ormas -ormas Islam untuk tidak memilih pemimpin kafir seharusnya dilihat sebagai hal yang biasa saja. Karena dalam Islam memang haram memilih pemimpin kafir, namun dicap oleh rezim sekarang sebagai sikap anti kebhinnekaan.

Ada kesan kuat yang muncul bahwa ulama dan tokoh-tokoh Islam yang dianggap mengancam kepentingan rezim dikriminalisasi. Ormas Islam dicabut status badan hukumnya secara zhalim tanpa proses pengadilan. Suara umat Islam yang kritis dan berdasarkan syariah Islam pun dibungkam dan dituding sebagai penghasutan, kebencian, makar, anti kebhinnekaan, radikal hingga teroris. Tuntutan penerapan syariah Islam dituding ancaman negara. Kewajiban mengangkat khilafah Islam yang merupakan ajaran Islam dikriminalisasi dan dimonsterisasi.

Saat umat Islam bersama-sama menyuarakan solidaritas mereka untuk saudara Muslim Rohingya, muncul tudingan solidaritas Muslim Rohingya digoreng untuk menjatuhkan Jokowi. Tidak hanya itu, dibangun opini bahwa petaka pembantaian Muslim Rohingya digunakan oleh kelompok-kelompok radikal untuk melakukan tindakan terorisme.

Ketidakadilan sikap aparat penegak hukum juga dirasakan umat Islam. Dengan alasan menyebarluaskan kebencian, SARA, dan radikalisme, situs-situs yang banyak dimiliki aktivis Islam, termasuk akun-akun sosial media yang bersikap kritis pada rezim diberangus. Aparat dengan sigap menahan mereka yang berpihak terhadap Aksi Bela Islam, karena dianggap menyebarkan meme atau tulisan yang dianggap menghina. Sementara akun-akun pro-Jokowi, yang kerap menghina Islam dan ulama, tampak seperti dibiarkan.

Ulama yang berperan penting dalam Aksi Bela Islam dikriminalisasi. Ustadz Alfian Tanjung, yang sudah dibebaskan dari pengadilan Surabaya ditangkap lagi. Padahal yang disuarakan adalah ancaman terhadap komunisme/ PKI, yang memang masih ada dan berbahaya. Sementara itu, Victor Laiskodat yang dalam ceramahnya menghina ajaran Islam yang mulia Khilafah Islamiyah tidak dipermasalahkan. Tidak hanya itu, Victor juga menuding partai-partai tertentu sebagai pendukung radikalisme. Pidatonya pun seperti memprovokasi masyarakat luas secara langsung atau tidak langsung untuk melakukan pembunuhan.

Yang menyedihkan lagi, ada kesan kuat rezim sekarang mengadu domba sesama umat Islam. Dengan mendekati satu komponen Islam dan membenturkan dengan komponen umat Islam yang lain. Ada kesan bahwa tindakan persekusi masif terhadap ulama-ulama atau mubaligh yang pro Aksi Bela Islam, seolah dibiarkan dilakukan oleh sesama kelompok Islam. Strategi stick and carrot pun dilakukan, ulama atau kelompok yang sejalan dengan rezim diangkat, sementara yang tidak sejalan diberikan sanksi.

Cara-cara dengan politik belah bambu dan adu-domba ini, tentu sangat berbahaya. Berarti, rezim dengan sengaja telah menciptakan kondisi konflik horisontal sesama umat Islam. Walhasil, kalau rezim sekarang tidak mengubah cara pandang terhadap umat Islam, apalagi bertindak semakin represif, anggapan tidak bersahabat bahkan anti-Islam, sangat mungkin semakin menguat.

Bacaan: Tabloid Media Umat edisi 212

Badan Siber Melahirkan Kekhawatiran



Oleh: Dr. Kusman Sadik

Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) telah resmi dibentuk setelah ditandatanganinya Perpres No.53 Tahun 2017. Secara logis, ada sejumlah kekhawatiran terhadap keberadaan badan yang langsung di bawah Presiden tersebut.

Pertama, badan siber tersebut berpotensi dapat meredam sikap kritis masyarakat pada pemerintah. Khususnya ketika sikap kritis tersebut disampaikan di media sosial. Padahal media sosial sendiri saat ini telah menjadi sarana paling favorit untuk menyampaikan sikap dan pemikiran masyarakat.

Secara umum, tingkat ancaman keamanan dunia maya dapat dikategorikan tiga, yaitu ancaman siber (cyber threat), kejahatan siber (cyber crime), dan perang siber (cyber conflict). Masalahnya, ketiga kategori tersebut tidak memiliki definisi spesifik, sehingga bersifat multitafsir yang sangat tergantung pada siapa yang menafsirkan.

Misalnya, kritik kepada pemerintah di media sosial bisa saja dikategorikan sebagai ancaman siber (cyber threat). Pasalnya kritik tersebut dapat saja dianggap menimbulkan kegaduhan dan ketegangan publik. Apalagi jika yang mengkritik tersebut memiliki followers yang cukup banyak di media sosial.

Bahkan kritik semacam itu dapat saja mereka kategorikan sebagai perang siber (cyber conflict) karena dianggap sudah menyerang wibawa pemerintah. Badan siber memiliki kewenangan untuk menafsirkan apakah hal tersebut terkategori ancaman, kejahatan, atau bahkan perang siber. Tentu saja penafsiran semacam itu sangat berbahaya karena bersifat subyektif dan sarat dengan kepentingan politik.

Kedua, bagi umat Muslim badan siber tersebut dikhawatirkan dapat berpotensi mengekang dakwah. Pasalnya umat Muslim yang dalam dakwahnya menyerukan penerapan syari'ah secara kaaffah bisa saja mereka tuding radikal, anti-kebhinnekaan, atau melakukan hate-speech. Apalagi jika di dalam dakwahnya tersebut umat Muslim mengkritik kebijakan pemerintah yang dianggap tidak sesuai dengan syari'ah.

Misalnya saat umat Muslim mengkritik kebijakan ekonomi neoliberal berupa penyerahan sumber daya alam kepada asing ataupun penjualan berbagai aset negara. Hal tersebut dikritik karena bertentangan dengan syariah dalam bidang ekonomi. Yakni terkait hukum syariah pengelolaan harta milik umum (milkiyatul 'ammah) dan harta milik negara (milkiyatud daulah) yang dilarang oleh syara' untuk diserahkan kepada asing.

Ketika dakwah semacam itu disampaikan di area publik melalui media sosial bisa saja kemudian ditafsirkan oleh mereka sebagai bentuk ancaman, kejahatan, atau bahkan perang siber dari kelompok radikal. Apalagi kalau dakwah tersebut tidak sekadar mengkritik kebijakan pemerintah. Namun juga disertai ajakan untuk menerapkan syariah secara kaffah dalam sistem khilafah sebagai solusi terhadap problem akibat penerapan ekonomi neo-liberal tersebut.

Penafsiran subyektif seperti itu akan menyudutkan aktivitas dakwah Islam yang salah satu bagian dakwah tersebut adalah melakukan koreksi terhadap penguasa (muhasabah lil-hukmi). Yakni mengoreksi segala kebijakan penguasa yang disinyalir bertentangan dengan syariah Islam.

Karenanya sikap kritis umat Muslim terhadap badan siber ini sangat diperlukan. Sebagaimana sikap kritisnya terhadap UU Ormas. Kewaspadaan dan sikap kritis tersebut diperlukan dalam rangka melindungi dakwah Islam dari upaya pengekangan dan kriminalisasi. Sebab bagi setiap Muslim, dakwah itu kewajiban dari Allah SWT sebagaimana kewajiban shalat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya.

Hal terpenting dari dakwah Islam adalah seruan untuk menerapkan syariah Islam secara kaffah. Prosesnya dilakukan secara edukatif dan argumentatif dan bukan dengan kekerasan. Syariah Islam didakwahkan dan ditawarkan sebagai solusi terhadap berbagai problem yang membelit negeri ini. Mulai dari problem akhlak, pendidikan, ekonomi, sosial, keamanan, hingga problem politik. Jadi sangat naif kalau dakwah semacam ini dianggap sebagai ancaman.

Bagi umat Muslim dakwah untuk kembali pada syariah secara kaffah tersebut juga merupakan wujud ketakwaan dan ketundukan kepada Allah SWT. Karenanya setiap ada upaya pengekangan terhadap dakwah akan memunculkan perlawanan dari umat Muslim. Semakin kuat dan represif pengekangannya akan semakin kuat pula perlawanannya. Dalam sejarahnya yang panjang, umat Muslim tidak pernah surut dan bahkan selalu tegar dan kokoh membela dakwah Islam. Wallaahua'lam bi ash-shawaab.[]

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 212

Awas Politik Pecah-Belah Terhadap Umat Islam



Pernyataan Kapolri Jenderal Tito Karnavian dalam sebuah video tentang perintah agar jajaran Polri mendukung penuh NU dan Muhammadiyah, menimbulkan kritik. Masalahnya dalam video tersebut bisa muncul kesan seolah-olah Kapolri mengabaikan peran ormas-ormas Islam lain, selain NU dan Muhammadiyah. Tidak hanya itu, ormas Islam selain NU dan Muhammadiyah dianggap akan merontokkan negara ini. Bisa jadi, bukan itu maksud yang sesungguhnya, yang ingin disampaikan Kapolri, namun pernyataan dalam video tersebut telah menimbulkan kegaduhan.

Terdapat banyak ulama-ulama besar yang berjuang melawan penjajahan. Tidak semua dari NU dan Muhammadiyah. Ada HOS Cokroaminoto tokoh pejuang dari Syarikat Islam (SI), yang sebelumnya bernama Syarikat Dagang Islam (SDI). Tidak bisa dilupakan peran Muhammad Natsir, yang merupakan kader Persis, murid utama A Hassan dari Bandung, lewat Mosi integral Natsir, demi menjaga keutuhan negeri ini.

Di luar Jawa, seperti dalam catatan Teuku Zulkarnaen (MUI Pusat) terdapat tokoh-tokoh Islam yang angkat senjata melawan penjajahan. Di Medan, dari Al-Washliyah muncul para ulama yang angkat senjata melawan penjajah Belanda seperti Riva'i Abdul Manaf (pengarang lagu "Panggilan Jihad“), Bahrum Jamil, Bahrum Sholih dan lainnya.

Dari Ittihadiyah (Medan) ada Syeikh Muhammad Dahlan, Syeikh Zainal Arifin Abbas, penulis besar asal Medan, yang juga ulama pejuang yang angkat senjata melawan penjajah, Syeikh Sayuti Nur. Di Aceh berdiri Persatuan Ulama Aceh yang menuliskan fatwa jihad melawan penjajah kafir Belanda. Di Sumatera Barat berdiri Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI). Di Lombok ada Nahdhatul Wathon, yang didirikan oleh Tuan Guru Zainudddin.

Ada politik adu-domba dan pecah-belah terhadap kalangan ormas Islam di dalam strategi yang direkomendasikan Rand Corporation dalam dokumen berjudul Civil Democratic Islam, Partners, Resources, And Strategies yang ditulis Cheryl Benard. Untuk membendung kebangkitan gerakan Islam, lembaga think-tank Amerika ini, membuat langkah-langkah detil.

Antara lain, memecah-belah umat Islam dengan mengklasifikasi menjadi: fundamentalis, tradisionalis, modernis, dan sekuleris. Setelah itu melakukan politik adu-domba. Untuk fundamentalis, hadapi dan lawan. Sementara tradisionalis, dukung untuk melawan fundamentalis. Adapun modernis, dukung. Dan kita melihat dan merasakan, upaya-upaya menjalankan strategi Rand Corporation ini semakin menguat belakangan ini.

Kita mengingatkan upaya memecah-belah ini tidak akan berhasil dilakukan karena ada pertolongan Allah. Apalagi kalau dimaksudkan untuk membendung keinginan umat Islam bersatu menerapkan syariah Islam. Menerapkan syariah Islam, sesungguhnya merupakan kewajiban dari Allah SWT yang didasarkan pada keimanan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Kewajiban ini tidak bisa dipadamkan oleh siapapun. Ini pulalah yang dicita-citakan oleh para ulama negeri ini saat bicara tentang konsep pemerintahan. Menjadikan negeri ini diatur berdasarkan syariah Islam. Meskipun tentu saja terdapat dinamika politik dalam perjalanannya.

Keinginan mendirikan negara yang didasarkan pada syariat Islam, tampak dalam pidato Ketua PB Moehammadiyyah. Ki Bagoes menyampaikan pidatonya pada persidangan BPUPKI kedua, 31 Mei 1945. Berikut beberapa petikan dari pidato Ki Bagoes Hadikoesoemo: ”Tuan-Tuan dan sidang yang terhormat! Dalam negara kita, niscaya Tuan-Tuan menginginkan berdirinya satu pemerintahan yang adil dan bijaksana, berdasarkan budi pekerti yang luhur, bersendi permusyawaratan dan putusan rapat, serta luas berlebar dada tidak memaksa tentang agama. Kalau benar demikian, dirikanlah pemerintahan itu atas agama Islam, karena ajaran Islam mengandung kesampaiannya sifat-sifat itu.”

Hal ini juga tampak dari pandangan KH Wahid Hasyim , terhadap pidato Soekarno di Amuntai (27/1/1953), presiden RI pertama ini menyatakan kalau Islam digunakan untuk memerintah negara banyak daerah akan Iepas. Pernyataan Soekarno ini segera ditanggapi oleh salah seorang tokoh terkemuka Islam dari Nahdlatul Ulama KH Wahid Hasyim dengan menulis: "Pernyataan bahwa pemerintahan Islam tidak akan dapat memelihara persatuan bangsa dan akan menjauhkan Irian, menurut pandangan hukum Islam, adalah perbuatan mungkar yang tidak dibenarkan syariat Islam. Dan wajib bagi tiap-tiap orang Muslimin menyatakan ingkar atau tidak setuju.”

Allahu Akbar!

Bacaan: Tabloid Media Umat edisi 213

Menyoal Deklarasi PTN Melawan Radikalisme



Pergolakan polemik yang menerpa negeri ini menyerupai bola salju yang kian hari semakin membesar. Dari sekiannya, isu yang bertahan tetap aktual sejak Mei 2017 adalah pemberitaan Perppu Ormas. Hingar bingar euforia kebijakan Presiden mengeluarkan Perppu Ormas tampaknya menjadi bumerang dan celakanya malah disetujui DPR menjadi UU. Sehingga DPR tampak menjadi Dewan Perwakilan Rezim.

Terlihat hadirnya aksi protes oleh berbagai kalangan, bahkan dari elemen mahasiswa dan para pakar hukum menolak dengan lantang dari berbagai penjuru negeri. Bukan tanpa sebab. Kajian yang mendalam dan menyeluruh, menghasilkan kesimpulan bahwa Perppu Ormas sangat berbahaya. Selainnya, tercium agenda politik di balik terbitnya Perppu tersebut.

Disinyalir Perppu ini sebagai alat untuk membungkam suara-suara kritis terhadap pemerintah, dan terutama seruan Islami sebagaimana yang gencar dilakukan oleh ormas-ormas Islam.

Di satu sisi pemerintah melalui Kemenristekdikti melakukan berbagai agenda dengan tema melawan radikalisme. Kegiatan tersebut mengarah kepada perguruan tinggi yang ada di Indonesia. Dan pada 25-26 September 2017 telah dilakukan focus group discussion yang dihadiri kurang lebih 80 pimpinan perguruan tinggi negeri bersama Presiden, Kemenristekdikti, Menteri Agama, dan Kapolri. Kegiatan ini bertempat di Bali. Tema yang menjadi topik yakni upaya perumusan solusi atas ideologi yang mengancam negeri ini. Tidak berhenti di situ, perguruan tinggi se-Indonesia menggelar kuliah akbar pada 28 Oktober dengan tema yang sama. Momentum sumpah pemuda yang menjadi ajang tahunan disulap sebagai wahana pemerintah untuk publikasi bahaya radikalisme.

Jika mencermati dengan spesifik argumentasi yang dibangun pemerintah menyoal radikalisme, mengerucut pada ideologi yang berkala disuarakan oleh ormas Islam.

Sebut saja HizbutTahrir Indonesia yang sangat gencar mendakwahkan penerapan syariah Islam secara menyeluruh dalam kehidupan. Bukan semata dalam ranah individu, tetapi elemen sosial hingga negara adalah keharusan. Sebab Islam adalah diin yang sempurna. Hal ini didasari dengan dalil Al-Qur’an dan hadits. Lalu oleh sebagian pihak, perjuangan HTI yang bersifat pemikiran dan tanpa kekerasan tersebut dikait-kaitkan dengan ISIS dan berbagai pemboman. Tentunya hal ini akan berdampak kepada pemikiran mahasiswa yang hadir. Terutama mereka yang kurang memahami atau tidak sama sekali tentang islam yang merupakan ideologi yang wajib diperjuangkan umat, hingga syariah Islam menjadi dasar hukum dalam sendi-sendi kehidupan.

Namun bagi yang telah memahami Islam dan berdakwah atasnya adalah sebaliknya. Tidak akan terpengeruh sedikitpun. Bahkan seruan radikalisme perspektif pemerintah terkesan lemah. Sebab tidak memiliki kekuatan pemikiran yang konsisten dan mendasar.

Selebihnya, terkesan ngawur dan menunjukkan doktrin atas kesepakatan yang mereka desain atas status radikalisme. Deklarasi dan seruan melawan radikalisme oleh perguruan tinggi harus disikapi dengan berimbang, dicermati secara intelektual, serta dianalisis secara mendalam dan menyeluruh. Sikap kritis ini untuk mencegah adanya pendistorsian terhadap ajaran Islam khilafah, sehingga tidak menjadi sebagaimana yang diungkapkan oleh Menkopolhukam, Kapolri dan surat undangan yang disebar Menristekdikti.

Perlu ditegaskan bahwa khilafah merupakan bagian dari ajaran Islam. Dan mendakwahkan Islam merupakan kewajiban sebagai seorang Muslim.

Bacaan: Tabloid Media Umat edisi 207

Upaya Mengekang Dakwah



Meskipun dipenuhi badai kritik dan kecaman terhadap Perppu Ormas, DPR tetap mengesahkan Perppu tersebut menjadi Undang-Undang Ormas pada 24 Oktober 2017 lalu. Padahal kritikan dan kecaman terhadap Perppu tersebut bukan datang dari kalangan pinggiran. Namun datang dari para akademisi dan pakar hukum di negeri ini. Bahkan institusi akademik seperti Fakultas Hukum UI dan Unpad serta berbagai-Ormas Islam turut mengecam Perppu tersebut.

Ada beberapa catatan yang patut kita cermati terkait pengesahan UU Ormas tersebut. Pertama, apa yang terjadi di DPR itu semakin menambah bukti bahwa kelahiran suatu undang-undang di parlemen seringkali memang didasarkan pada kepentingan pragmatis semata. Sedangkan apa yang biasanya mereka nyatakan demi kepentingan rakyat, sebenarnya tidak lebih dari sekadar bumbu humanis di hadapan publik.

Faktanya mudah dilihat, walaupun terang benderang kerapuhan argumentasi pada Perppu tersebut namun tetap juga lolos menjadi undang-undang. Karenanya, sulit ditampik bahwa UU Ormas tersebut sejatinya memang untuk memuaskan kepentingan elit poIitik partai pendukung Perppu, bukan untuk kepentingan rakyat.

Kedua, bagi umat Muslim, UU Ormas tersebut bukan hal sepele, tapi ancaman yang sangat serius. Yakni ancaman terhadap keberlangsungan dakwah Islam di negeri ini. Makanya wajar ratusan ribu umat Muslim melakukan aksi pada saat DPR bersidang untuk mengesahkan UU tersebut. Tentu saja aksi itu dilakukan karena umat menyadari bahwa UU tersebut berpotensi menjadi alat pengekang atau bahkan mesin pembunuh terhadap dakwah Islam.

Misalnya pada Pasal 59 ayat 4 huruf c dalam Perppu tersebut yang melarang suatu Ormas menganut, mengembangkan, dan mengajarkan paham yang bertentangan dengan Pancasila. Ini termasuk pasal karet yang sangat berbahaya menjadi alat represifisme penguasa. Karena penguasa bertindak sebagai penafsir tunggal dari apa yang dimaksud paham yang bertentangan dengan Pancasila tersebut.

Atas dasar pasal itu, ormas Islam yang dalam dakwahnya menyerukan penerapan syari'ah secara kaaffah bisa dituding anti Pancasila dan bisa dibubarkan. Ini sangat berbahaya pada aktivitas dakwah lslam yang salah satu bagian dakwah tersebut adalah melakukan koreksi terhadap penguasa (muhasabah lil-hukmi). Yakni mengoreksi segala kebijakan penguasa yang disinyalir bertentangan dengan syari'ah Islam. Aktivitas dakwah seperti itu akan mudah dituding sebagai anti Pancasila.

Sebagai konsekuensi dari logika yang mereka bangun, bahwa yang mengkritik penguasa dan menawarkan solusi syariah adalah anti-penguasa dan anti kebhinnekaan. Sementara, mereka yang dituding anti-penguasa itu bisa disebut anti Pancasila.

Ketiga, meskipun telah disahkan oleh DPR namun kita yakin tidak akan menyurutkan umat Muslim untuk terus melakukan penolakan terhadap UU Ormas tersebut. Hal itu bukan karena sekadar untuk melindungi eksistensi Ormas Islam semata, namun yang jauh lebih penting adalah melindungi dakwah Islam dari upaya pengekangan dan pengebirian. Sebab bagi setiap Muslim, dakwah itu wajib hukumnya sebagaimana kewajiban lainnya, seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya.

Inti dari dakwah adalah seruan untuk menerapkan syariah Islam secara kaffah. Prosesnya dilakukan secara argumentatif dan bukan dengan kekerasan. Syariah Islam didakwahkan dan ditawarkan sebagai solusi terhadap berbagai problem yang membelit negeri ini. Mulai dari problem akhlak, pendidikan, ekonomi, sosial, keamanan, hingga problem politik.

Di samping itu, bagi umat Muslim dakwah untuk kembali pada syariah secara kaffah tersebut merupakan wujud ketaqwaan dan ketundukan kepada Allah SWT. Karenanya, setiap ada upaya pengekangan terhadap dakwah akan memunculkan perlawanan dari umat Muslim. Semakin kuat dan represif pengekangannya, akan semakin kuat pula perlawanannya. Wallahu a'lam bi ash-shawab.

Bacaan: Tabloid MediaUmat edisi 207

Menumpang Pencitraan Pada Kegemilangan Khilafah



Oleh: Dr. M. Kusman Sadik

Terlepas setuju atau tidak pada konsep khilafah, masa keemasan khilafah tidak mungkin mampu disembunyikan. Selama kurang lebih 13 abad sistem warisan Rasulullah SAW itu telah memayungi dunia dengan penuh keberkahan dan kesejahteraan.

Pada tahun politik saat ini para politisi sedang gencar menjajakan dirinya dengan berbagai pencitraan. Mereka ingin mendapat simpati dari masyarakat dengan mencitrakan dirinya sebagai pemimpin yang baik. Termasuk ada yang kebablasan mencitrakan dirinya seperti sosok Khalifah Umar bin Khaththab.

Tentu ada yang perlu menjadi catatan. Pertama, para politisi yang selama ini terlihat anti pada konsep khilafah ternyata mereka tidak mampu melawan fakta bahwa khilafah itu penuh keagungan. Makanya upaya mencitrakan diri sebagai Umar bin Khaththab adalah bukti dari hal itu.
Sejatinya, figur Umar bin Khaththab tidak bisa dipisahkan dari sistem khilafah sebab beliau adalah salah seorang pemimpin pada sistem khilafah tersebut. Ketakwaan, kewibawaan, keteguhan, dan kepedulian yang ditunjukkan oleh Umar bin Khaththab adalah keteladanan sebagai seorang pemimpin dalam sistem khilafah. Sebuah sistem yang di dalamnya diterapkan hukum yang berdasarkan pada Al-Qur’an dan as-Sunnah yakni syariah Islam. Tentu menjadi sebuah anekdot jika ada yang mencitrakan diri seperti Umar bin Khaththab sementara orang tersebut tidak hanya menolak namun juga mengkriminalisasi syariah dan khilafah.

Kedua, sejarah dunia tentu tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang kegemilangan khilafah. Seperti yang digambarkan sejarawan Paul Kennedy tentang imperium (Khilafah) Utsmani dalam bukunya The Rise and Fall of the Great Powers (Unwin-Hyman, London 1989). Menurutnya dalam beberapa abad sebelum tahun 1500, dunia Islam di bawah imperium Utsmani telah jauh melampaui Eropa dalam bidang budaya dan teknologi. Paul Kennedy menyebutkan bahwa kota-kota di dunia Islam saat itu demikian luas, rakyatnya terpelajar, perairannya sangat bagus. Beberapa kota di antaranya memiliki universitas-universitas dan perpustakaan yang lengkap dan memiliki masjid-masjid yang indah. Dia juga menambahkan bahwa dalam bidang matematika, kastografi, pengobatan dan aspek-aspek lain dari sains dan industri, kaum Muslim selalu berada di depan.

Berabad jaraknya dari Umar bin Khaththab, kepedulian khilafah terus dirasakan oleh banyak negara termasuk Eropa. Misalnya Mary McAleese, presiden ke-8 Irlandia yang menjabat dari tahun 1997 sampai 2011 itu telah memuji kepedulian khilafah saat itu. Dalam pernyataan persnya yang dilansir di laman irishcentral.com, ia memuji bantuan Khilafah Turki Utsmani ke negaranya, Irlandia, yang terjadi sekitar tahun 1847 silam.

Bantuan itu dikirimkan saat Irlandia terkena musibah kelaparan hebat yang dikenal dengan peristiwa the great famine. Musibah tersebut telah menyebabkan sekitar 1 juta penduduk Irlandia meninggal dunia. Terkait bantuan itu, Mary McAleese berkata, ”Sultan Ottoman (Khilafah Utsmani) mengirimkan tiga buah kapal, yang penuh dengan bahan makanan, melalui pelabuhan-pelabuhan Irlandia di Drogheda. Bangsa Irlandia tidak pernah melupakan inisiatif kemurahan hati ini."

Tuduhan bahwa syariah dan khilafah adalah ancaman, sesungguhnya bagian dari penyesatan politik dan upaya memalingkan umat dari ancaman sebenarnya yakni ideologi kapitalisme-liberalisme. Faktanya di negeri ini, berbagai kerusakan yang terjadi di bidang ekonomi, hukum, sosial, dan politik bersumber pada penerapan sistem kapitalisme-liberalisme itu. Apabila kita peduli untuk melepaskan negeri ini dari berbagai persoalan ancaman tersebut, kita harus memilih sistem yang baik dan benar. Itulah syariah Islam yang diterapkan dalam sistem Khilafah.

Keberadaan syariah sebagai rahmat adalah natiijah (hasil) dari syariah yang diterapkan. Sehingga syariah hanya akan mewujudkan rahmatan lil 'alamin jika diterapkan secara keseluruhan (kaaffah). Karenanya, fatamorgana besarlah yang akan diperoleh manakala sekadar bermain citra dengan figur Khalifah Umar, sementara syariah dan Khilafah dikriminalkan. Wallaahua'lam bi ash-shawaab. []

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 218

Muatan Politik Dalam Dakwah



Oleh: Dr. M. Kusman Sadik

Ada pihak yang terus berupaya memisahkan Islam dari kehidupan nyata, termasuk di antaranya adalah politik. Apalagi akan memasuki tahun 2018 yang disinyalir sebagai tahun politik. Mereka menginginkan Islam sekadar dibatasi pada aspek amal, spiritualitas dan moralitas semata seperti ibadah mahdhah dan akhlak.

Mereka selalu menuding negatif terhadap ormas Islam yang dalam dakwahnya menyentuh persoalan politik. Menurutnya itu bukan dakwah tapi politik. Sangat kentara bahwa mereka berusaha memaksakan standar sekulerisme-liberalisme untuk menilai dakwah umat Islam.
Salah satu kerikil yang sangat mengganggu umat Islam adalah para tokoh elite Muslim yang ikut menari bersama mereka yang menganut sekulerisme-liberalisme itu. Pandangan umat bisa menjadi kabur akibat ulah para elite semacam itu.

Terkait dakwah dan politik ini ada hal penting yang perlu digarisbawahi. Pertama, pada dasarnya Islam mengatur segenap perbuatan manusia dalam hubungannya dengan Tuhannya yakni Allah Swt. melalui hukum-hukum yang terkait akidah dan ibadah ritual seperti shalat, shaum, zakat, haji, dan sebagainya.

Islam juga mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri yakni berupa hukum-hukum yang terkait akhlak, pakaian, dan makanan. Demikian pula Islam mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya melalui hukum-hukum yang terkait mu'amalah dan 'uqubat, seperti ekonomi, pemerintahan, politik, dakwah, pendidikan, perang, pidana, dan lain sebagainya. (Lihat: Taqiyyudin an-Nabhani, 2001, Nidzamu al-Islam)

Kedua, Islam menolak sekulerisme, karena Islam bersifat menyeluruh (syumuliyah) yang mengatur ketiga jenis hubungan tersebut. Ide sekulerisme pada dasarnya adalah upaya pemisahan agama (Islam) dari kehidupan publik yakni negara (fashl ad-din 'an ad-daulah). Ide ini sebenarnya berakar dari peradaban Barat-Kristen, yang memisahkan agama (Kristen) dari negara. Hal ini tidak sesuai dengan realita syariah Islam.
Memang syariah Islam yang terkait pengaturan manusia dengan Tuhannya dan dirinya sendiri ini bisa dilaksanakan oleh individu. Namun syariah yang terkait pengaturan hubungan manusia dengan sesamanya, muamalat dan 'uqubat (sanksi hukum), sebagian besar justru harus dilaksanakan oleh negara. Misalnya muamalat yang terkait pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, politik dan keamanan membutuhkan keberadaan negara.
Demikian juga untuk masalah 'uqubat seperti hukum hudud, jinayat, ta'zir, dan mukhalafat, mutlak harus dilaksanakan oleh negara, tidak boleh dilaksanakan oleh kelompok apalagi individu. Jadi sangat tidak mungkin memisahkan Islam dengan persoalan politik dan negara.

Ketiga, realitas makna politik dalam Islam. Tentu bukanlah politik seperti yang diungkapkan oleh Harold D. Lasswell dalam bukunya ”Politics: Who Gets What, When, How”. Di mana politik hanya didudukkan sebagai persoalan siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana. Sehingga politik identik sekadar upaya meraih kepentingan pragmatis untuk pribadi dan kelompoknya.

Aktivitas politik dalam pandangan Islam adalah terkait dengan pengaturan urusan masyarakat (ri'ayah syu'un al-ummah), baik yang terkait dengan penguasa sebagai subyek (al-hakim) yang melakukan pengaturan urusan masyarakat, maupun yang terkait dengan umat sebagai obyek (al-mahkum) yang melakukan pengawasan (muhasabah) terhadap aktivitas penguasa dalam mengatur urusan masyarakat tersebut.

Salah satu bentuk dakwah yang bermuatan politik adalah apa yang disebut sebagai perjuangan politik (al-kifah as-siyasi). Misalnya mengkritik kebijakan penguasa yang menjalankan agenda neo-liberalisme. Dalam konteks dakwah, kritik semacam itu dilakukan bukan sekadar karena neo-liberalisme menjanjikan kesengsaraan bagi masyarakat. Namun lebih pada karena kebijakan neo-liberalisme itu bertentangan dengan syariah Islam.

Jadi, umat Islam sudah semestinya tidak memisahkan antara dakwah dan politik. Karena di samping melanggar syara', juga akan menjauhkan umat dari upaya penerapan syariah secara kaaffah. Sikap menerima sebagian syariah Islam (spiritualitas dan moralitas semata) dan menolak sebagian yang Iain (politik, pemerintahan, ekonomi, dan lain-lain) adalah sikap sekuler-liberal yang harus dijauhkan dari umat Islam. Wallahu a'lam bi ash-shawaab. []

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 210

Tidak Ada Kewajiban Membayar Fidyah Bagi Orang Mengakhirkan Qadha Ramadhan Tanpa Udzur Hingga Bertemu Lagi Dengan Ramadhan Berikutnya



Ketika seseorang memiliki kewajiban mengqadla beberapa hari puasa Ramadhan, tetapi dia terlambat mengqadha puasanya tersebut hingga tiba Ramadhan berikutnya, maka para fukaha berbeda pendapat tentang hukumnya: Abu Hanifah dan para sahabatnya, Ibrahim an-Nakha'i, al-Hasan al-Bashri, al-Muzani, dan Dawud bin Ali berpendapat bahwa orang tersebut hanya wajib mengqadha saja. Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa orang tersebut wajib mengqadha dan memberi makan seorang miskin dari setiap hari puasanya. Pendapat seperti ini diriwayatkan berasal dari Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan Abu Hurairah ra. Bukhari berkata: “...Ibrahim berkata: jika seseorang melalaikan qadha hingga tiba Ramadhan berikutnya, maka dia harus berpuasa mengqadhanya tanpa perlu memberi makan. Tetapi ada riwayat dari Abu Hurairah secara mursal, dan dari Ibnu Abbas, bahwa orang tersebut harus memberi makan.

Pendapat yang benar adalah pendapat yang dipegang oleh ulama Hanafiyah. Hal ini karena kewajiban fidyah bagi orang yang terlambat mengqadha hingga tiba Ramadhan berikutnya memerlukan nash syariat, sedangkan nash terkait masalah tersebut tidak ditemukan, sehingga pensyariatan hukum seperti ini tidak sah.
Terkait dengan riwayat dari Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan Abu Hurairah, serta pernyataan yang dinukil oleh at-Thahawi dari Yahya bin Aktsam: Aku menemukan pendapat tentang fidyah ini dari enam orang sahabat, dan aku tidak mengetahui orang yang menyalahi mereka dalam masalah ini, maka semua riwayat yang berasal dari sahabat ini tidak terbukti kuat, karena diriwayatkan melalui jalur-jalur yang dhaif, sehingga wajib ditolak dan tidak boleh diikuti.

Sejumlah ahli fikih keliru dalam pernyataan yang diriwayatkan dari sahabat: sesungguhnya orang yang sakit jika tidak berpuasa Ramadhan hingga tiba Ramadhan berikutnya, maka hendaknya dia berpuasa Ramadhan, dan memberi makan pengganti Ramadhan yang luput itu kepada seorang miskin dari setiap harinya. Di mana pernyataan ini tertukar dengan riwayat-riwayat dlaif di atas, sehingga mereka mengatakan wajibnya memberi makan (al-ith'am) secara mutlak. Yang benar adalah riwayat yang menyatakan orang yang sakit harus memberi makan, maka boleh untuk digunakan sebagai dalil. Riwayat-riwayat tersebut sesuai dengan Kitabullah. Sebelumnya telah kami jelaskan bahwa orang yang sakit yang tidak mampu berpuasa harus memberi makan, sedangkan riwayat-riwayat ini menyebutkan bahwa orang sakit yang tidak mampu lagi berpuasa sepanjang tahun, dan dia tidak sembuh-sembuh sepanjang tahun itu hingga tiba Ramadhan berikutnya, maka tahun sakitnya itu adalah waktu yang harus digunakannya untuk mengqadha puasa yang luput darinya. Ketika seseorang tidak sembuh pada waktu mengqadha, dan tidak mampu mengqadha pada waktunya, maka tidak ada kewajiban lain baginya selain memberi makan (al-ith'am). Pembahasan ini selengkapnya bisa Anda temukan dalam poin pertama bab ini.

Sumber: Tuntunan Puasa Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

Dalil Kaffarat Orang yang Membunuh Binatang Buruan Dalam Keadaan Berihram



Puasa yang Tidak Diberi Batasan Waktu, Yakni Puasa Orang yang Membunuh Binatang Buruan Dalam Keadaan Berihram

At-Thabari meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. ketika menafsirkan:

(QS. al-Maidah: 95)

Dia berkata: Jika seseorang yang sedang berihram membunuh suatu binatang buruan, maka dia diberi sanksi atas tindakannya itu. Jika dia membunuh kijang atau semisalnya, maka dia harus menyembelih kambing di Makkah. Jika tidak mendapatkan kambing maka dia harus memberi makan 6 orang miskin. Dan jika tidak mendapatkannya, maka dia harus berpuasa tiga hari. Namun, jika dia membunuh menjangan atau semisalnya maka dia harus menyembelih sapi. Jika tidak mendapatinya, maka dia harus memberi makan 20 orang miskin, dan jika tidak mendapatinya maka dia harus berpuasa 20 hari. Lain lagi jika dia membunuh burung unta, atau keledai, atau binatang liar dan semisalnya, maka dia harus menyembelih unta al-badanah. Jika tidak mendapatinya maka dia harus memberi makan 30 orang miskin. Dan jika tidak mendapatinya maka dia harus berpuasa 30 hari dan memberi makan satu mud (satu mud makanan yang mengenyangkan). Al-badanah adalah unta atau sapi yang digemukkan yang disembelih di Makkah. Ibnu Abbas menyebutkan puasa tiga hari dalam satu kondisi, berpuasa 20 hari dalam kondisi kedua, dan berpuasa 30 hari dalam kondisi ketiga, sehingga puasa di sini ditentukan berdasarkan dengan kadar binatang buruan yang dibunuh.

Saya katakan dengan ringkas: binatang buruan yang dibunuh hidup-hidup, ditaksir nilainya dengan makanan secara umum atau dari gandum, kemudian berpuasa satu hari untuk mengganti setiap mudnya. Rasulullah Saw. telah menyamakan nilai satu mud gandum dengan puasa satu hari dalam kaffarat orang yang menyetubuhi isterinya di siang hari bulan Ramadhan. Dan binatang buruan yang dimaksud di sini adalah seluruh hewan kecuali burung gagak, burung rajawali, tikus, kalajengking, dan anjing galak. Hewan-hewan ini adalah binatang keji, di mana seseorang yang berihram tidak akan dikenai sanksi jika membunuh salah satunya. Dalil atas penjelasan diatas adalah sebagai berikut:

1. Allah Swt. berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu, sebagai had-yad yang dibawa sampai ke Ka’bah, atau (dendanya) membayar kaffarat dengan memberi makan orang-orang miskin atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu, dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.” (TQS. al-Maidah [5]: 95)

2. Dari Abdullah ra.:

“Aku mendengar Nabi Saw. bersabda: “Lima jenis binatang, dan dalam salah satu riwayat lima jenis binatang keji (fawasiq), di mana tidak ada dosa bagi siapa saja yang membunuhnya, (yaitu) burung gagak, burung rajawali, kalajengking, tikus, dan anjing galak.” (HR. Muslim [2873])

Dalam riwayat Muslim yang kedua [2862] dari jalur Aisyah ra. disebutkan dengan redaksi:

“Lima jenis binatang keji yang boleh dibunuh di tanah halal ataupun tanah haram, yakni ular, burung gagak, burung gagak hitam berbelang putih, tikus, anjing galak dan elang.”

Dalam riwayat ini, ular disebutkan sebagai pengganti kalajengking. Hadits ini pun diriwayatkan oleh Bukhari.

(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Sumber: Tuntunan Puasa Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

Dalil Kaffarat Orang yang Melanggar Nadzar



Kedua: Puasa Orang yang Melanggar Nadzarnya

Sama seperti orang yang melanggar sumpahnya yang harus berpuasa tiga hari sebagai kaffaratnya (jika tidak memberi makan atau pakaian kepada sepuluh orang miskin, atau memerdekakan seorang hamba sahaya), maka orang yang melanggar nadzarnya juga harus berpuasa tiga hari sebagai kaffaratnya. Kaffarat sumpah sama dengan kaffarat nadzar. Dalil atas apa yang kami kemukakan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Dari Uqbah bin ‘Amir ra., dari Rasulullah Saw., beliau Saw. bersabda:

“Kaffarat nadzar itu (sama dengan) kaffarat sumpah.” (HR. Muslim [4253], Abu Dawud, an-Nasai. Ibnu Majah dan Ahmad)

2. Dari Uqbah bin ‘Amir ra.:

“Dia bertanya kepada Nabi Saw. tentang saudara perempuannya yang bernadzar akan berhaji dengan tanpa alas kaki dan tidak memakai khimar (penutup kepala), maka Nabi Saw. bersabda: “Perintahkanlah kepadanya untuk memakai khimar, berkendaraan, dan berpuasa selama tiga hari.” (HR. Abu Dawud [3293] dan Ibnu Majah)

Tirmidzi meriwayatkan hadits ini dan berkata: ini adalah hadits hasan, dan diamalkan oleh sebagian ahli ilmu. Inilah pendapat Ahmad dan Ishaq.
Dalil-dalil ini begitu jelas sehingga tidak perlu dirinci lagi.

Hendaknya diperhatikan benar, bahwa orang yang bernadzar kadangkala bernadzar untuk berpuasa selama beberapa hari, dengan jumlah hari yang kadang banyak atau sedikit, maka dalam kondisi ini dia harus memenuhi nadzarnya dan berpuasa sesuai dengan jumlah hari yang dinadzarkannya. Puasa seperti itu termasuk dalam pembahasan nadzar, bukan pembahasan puasa, sehingga di sini saya hanya ingin menunjukkannya saja, tanpa perlu mengulas dan membahasnya dalam satu ruang tersendiri.

(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Sumber: Tuntunan Puasa Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam