Orang-orang yang
berhak mendapatkan zakat itu ada delapan golongan, yang Allah sebutkan dalam
firman-Nya:
“Sesungguhnya
zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para
pengurus zakat, mu’allaf, hamba sahaya, orang-orang yang berhutang, orang yang
berjuang (perang) fii sabilillah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan,
sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Mahamengetahui lagi
Mahabijaksana.” (TQS. At-Taubah: 60)
IBNU SABIL (MUSAFIR)
Para ulama sepakat
bahwa musafir yang jauh dari negerinya boleh menerima zakat dengan jumlah yang
cukup untuk membantunya sampai kepada tujuan, jika harta yang dibawanya tidak
cukup, mengingat sifat kefakiran yang menimpanya.
Mereka mensyaratkan
bahwa perjalanan itu untuk ketaatan atau bukan dalam rangka maksiat. Lalu
mereka berbeda pendapat jika perjalanan itu untuk perkara yang mubah.
Pendapat yang terpilih
di kalangan Syafi’iyyah adalah ia boleh menerima zakat, meskipun perjalanan
tersebut untuk sekedar rekreasi.
Ibnu Sabil menurut
madzhab syafi’iyah terbagi dalam dua kelompok:
1. Seseorang yang
mulai melakukan perjalanan dari tempat ia bermukim, meskipun di negerinya
sendiri.
2. Orang yang tengah
melakukan perjalanan dari negeri ke negeri.
Keduanya berhak
menerima zakat, meskipun ada orang yang bisa meminjamkan uang yang cukup dan
musafir tadi memiliki harta yang cukup untuk membayar hutang tersebut
sesampainya di negerinya.
Menurut Malik dan
Ahmad, ibnu sabil yang berhak menerima zakat adalah musafir yang hanya lewat,
bukan seseorang yang mulai melakukan perjalanan. Di samping itu, ia tidak
berhak menerima zakat jika ia bisa mendapatkan orang yang mau memberikan
pinjaman dana dan ia memiliki harta yang cukup di negerinya untuk membayar
hutang tersebut. Jika tidak ada yang bisa memberikan pinjaman atau ia tidak
memiliki harta yang cukup untuk membayar hutangnya, maka ia berhak menerima
zakat.
(artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Bacaan: Syaikh Sayyid
Sabiq, Fiqhus Sunnah, Kitaab az-Zakaah
(terjemahan), Pustaka Ibnu Katsir