I'TIKAF
Definisi I’tikaf
I’tikaf berasal dari
kata 'akafa 'ala as-syai (menetapi sesuatu), jika dia menetapinya, dan menahan
diri di dalamnya. I’tikaf disebutkan dengan makna seperti ini dalam sejumlah
ayat al-Qur'an:
“Dan kami seberangkan
Bani Israil ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai kepada suatu
kaum yang tetap menyembah berhala mereka, Bani Israil berkata: “Hai Musa,
buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa
tuhan (berhala).” Musa menjawab: “Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak
mengetahui (sifat-sifat Tuhan).” (TQS. al-A'raf [7]: 138)
Allah Swt. berfirman:
“Berkata Musa:
“Pergilah kamu, maka sesungguhnya bagimu di dalam kehidupan di dunia ini (hanya
dapat) mengatakan: “Janganlah menyentuh (aku).” Dan sesungguhnya bagimu hukuman
(di akhirat) yang kamu sekali-kali tidak dapat menghindarinya, dan lihatlah Tuhanmu
itu yang kamu tetap menyembahnya. Sesungguhnya kami akan membakarnya, kemudian
kami sungguh-sungguh akan menghamburkannya ke dalam laut (berupa abu yang
berserakan).” (TQS. Thaha [20]: 97)
Allah Swt. berfirman:
“Dan sesungguhnya
telah Kami anugerahkan kepada Ibrahim hidayah kebenaran sebelum [Musa dan
Harun], dan adalah Kami mengetahui (keadaan)nya. (Ingatlah), ketika Ibrahim
berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Patung-patung apakah ini yang kamu tekun
beribadat kepadanya?” (TQS. al-Anbiya [21]: 51-52)
Allah Swt. berfirman:
“Merekalah orang-orang
yang kafir, yang menghalangi kamu dari (masuk) Masjidil Haram dan menghalangi
hewan kurban sampai ke tempat (penyembelihan)nya. (TQS. al-Fath [48]: 25)
Terdapat beberapa ayat
lain yang menyebutkan kata i’tikaf, tetapi semuanya bermakna sama, yakni
menetapi sesuatu dan menahan diri di dalamnya. Inilah makna i’tikaf dari segi
bahasa.
Sedangkan menurut
pengertian syariat, i'tikaf didefinisikan sebagai berdiam diri di masjid
sejenak dalam kondisi (shifat) yang dikhususkan, dengan niat mendekatkan diri
kepada Allah Swt. (at-taqarrub ilallah).
I’tikaf, jiwar atau mujawarah memiliki makna yang sama. Bukhari [4922], Muslim
dan Ahmad telah meriwayatkan dari jalur Jabir bin Abdullah ra. bahwa Rasulullah
Saw. bersabda:
“Aku beri’tikaf
menyendiri di gua Hira, ketika aku telah menyelesaikan i'tikafku, kemudian aku
turun…”
Bukhari [2020]
meriwayatkan dari jalur Aisyah ra., ia berkata:
“Adalah Rasulullah
Saw. biasa beri’tikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan, dan beliau Saw.
bersabda: “Carilah lailatul qadar di
sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.”
Muslim [2770]
meriwayatkan dari jalur Abu Said al-Khudri ra.:
“Adalah Rasulullah
Saw. suka beri'tikaf di bulan Ramadhan, sepuluh hari pertengahan bulan.”
Dengan demikian, tidak
benar membedakan pengertian i’tikaf dengan mujawarah dan jiwar, sebagaimana
diriwayatkan Abdurrazaq [8003] dari Atha bin Abi Rabbah: “Sesungguhnya i'tikaf
itu dilakukan di dalam masjid, adapun jiwar dilakukan di pintu masjid atau dalam
masjid.” Pembedaan seperti ini jelas salah dan dhaif, bahkan dalam kamus-kamus
bahasa disebutkan bahwa al-jiwar atau al-mujawarah bermakna al-i'tikaf. Di
dalam kamus Lisan al-Arab, Mukhtar as-Shihah, dan al-Qamus al-Muhith disebutkan: al-mujawarah: i'tikaf di masjid.
(artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Sumber: Tuntunan Puasa
Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul
Izzah