Page

Kibarkan Panji Islam Kok Dianggap Anti Keberagaman


Sosialisasi bendera Rasulullah SAW atau panji Islam merupakan langkah yang sangat bagus, mengingat akhir-akhir yang lalu sebagian umat Islam merasa asing, takut dan ngeri yang akhirnya memandang negatif, mengaitkan dengan kekerasan dan terorisme terhadap panji dan bendera umat Islam ini. Begitulah opini yang dinginkan oleh musuh-musuh Islam agar umat Muslim jauh, jauh, terus menjauh dari ajaran Islam.

Alhamdulillah, rangkaian awal sosialisasi #PanJiIsIam beserta #IndonesiaMoveUp di beberapa daerah di Indonesa sebagai pemanasan kegiatan kolosal Masirah Panji Rasulullah SAW (Mapara), sedikit banyaknya telah mengubah paradigma salah yang dihembuskan musuh-musuh Islam. Terlihat umat begitu antusias berfoto dan melakukan pawai (masyirah) tanpa rasa takut lagi dengan membawa bendera dan panji Islam. Bendera (liwa) berwarna putih dan panji (rayah) berwarna hitam terdapat kalimat syahadah di dalamnya adalah milik kita, milik umat Islam, benderanya negara (daulah) Islam.

Tentu saja musuh Islam meradang, tidak tinggal diam melihat umat yang damai dan bangga mengibarkan panji Islam tersebut. Melalui editorial di salah satu media cetaknya, pada 29 Maret 2017 mereka menuliskan serangan tersebut.

”Antikeberagaman kian tak terkendali ketika pola pikir yang keliru itu dipaksakan dalam kontestasi politik. Agama yang suci dan sakralpun dibajak lalu dijadikan amunisi untuk menghabisi lawan yang ujung-ujungnya hanya untuk meraup kekuasaan Pilkada DKI Jakarta merupakan contoh gamblang gambaran yang terang benderang betapa anti keberagaman betul-betul menjadi acaman tingkat dewa. Tak cuma orang dewasa, anak-anak telah pula terpapar virus jahat itu. Dalam video yang bertagar #IndonesiaMoveUp yang belakangan di medsos, misalnya beberapa anak berseragam sekolah dasar dengan penuh semangat meninggikan panji-panji agama tertentu.”

Sungguh itu tuduhan yang tidak benar. Pertama, Islam adalah satu agama yang universal, mengatur seluruh aspek kehidupan manusia mulai dari masalah ibadah ritual, cara berpakaian, makanan, ekonomi, sosial, budaya seluruhnya, hingga politik pun ada tatacaranya dalam Islam, lebih tepatnya, Islam adalah sebauh mabda' (ideologi).

Memang Islam adalah agama yang suci, bukan dipaksakan tapi memang mengatur perpolitikan. Seperti halnya ungkapan Imam Al-Ghazali, "Agama dan kekuasaan adalah seperti dua orang saudara kembar, keduanya tidak bisa dipisahkan. Jika salah satu tidak ada maka yang lain tidak akan berjalan dengan sempurna. Agama adalah pondasi sementara kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu tanpa adanya pondasi akan rusak dan jika tidak dijaga akan hilang."

Kedua, panji Islam adalah bagian dari ajaran Islam, memang sepantasnya setiap umat Islam memahami, mengetahui panji Rasulnya dan ditanamkan rasa cinta terhadap Allah SWT dan Rasul-Nya, merupakan hal yang seharusnya ditanamkan sejak usia dini.

Ketiga, sesungguhnya panji Islam terdapat kalimat tauhid, kalimat yang mempersatukan umat Islam sebagai satu kesatuan tanpa melihat lagi keanekaragaman bahasa, warna kulit, kebangsaan ataupun mazhab dan paham yang ada di tengah umat Islam. Imam Abdul Hayyi Alkattani mengatakan bahwa jika suatu kaum berhimpun di bawah satu bendera artinya bendera itu menjadi tanda persamaan pendapat kaum tersebut (ijtima'i kalimatihim) dan juga tanda persatuan hati mereka (ittihadi qulubihim). Dengan demikian kaum itu akan menjadi bagaikan satu tubuh dan akan terikat satu sama lain dalam satu ikatan kuat persaudaraan.

Keempat, kenapa pengibaran panji Islam ini dibenturkan dengam Pilkada DKI Jakarta khususnya dan dianggap mendiskriminasikan Ahok? Ini kegagalfokusan yang sangat parah. Ahok sudah jelas dari awal adalah tersangka atas pelecehan atau penghinaan Al-Qur’an, sudah jelas harus dihukum. Kenapa kondisinya saat ini umat malah yang disalahkan? Sekenarionya seperti tak cukup jika sekedar berupaya membersihkan nama Ahok si penista tapi juga harus mampu membekuk umat Islam hingga berbalik menjadi tersangka.

Silakan sebagai umat yang cerdas tentu mampu menimbang perkara ini dengan benar. Sungguh mengherankan, tuduhan antikeberagaman adalah tuduhan tanpa dasar dan merupakan bentuk kebencian yang nyata terhadap Islam.

Bacaan: Tabloid Media Umat edisi 196
---

Pentingnya Faktor Agama Dalam Politik


bela umat ajaran agama

…Ya, faktor agama bagaimanapun tidak bisa diabaikan di negeri yang mayoritas Muslim ini. Dalam kasus Ahok, persoalannya bukan sekadar dalam Islam haram memilih pemimpin kafir, yang sedikit banyak menjadi pengganjal Ahok, penistaan agama yang dilakukan Ahok terkait QS Al-Maidah: 51 di Kepulauan Seribu, menyentuh hal yang paling sensitif bagi kaum Muslim.

Tidak mengherankan, sebagai respon penghinaan ini, untuk pertama kalinya, umat Islam bisa turun ke jalan, diperkirakan 2 juta lebih dalam aksi 212. Pembelaan terhadap Al-Qur’an menggerakkan umat Islam dari berbagai daerah di Indonesia dan dari berbagai lapis masyarakat.

Meskipun baru bersifat parsial dan lebih dominan faktor sentimen (perasaan), pengaitan agama dalam pilkada DKI ini, sudah mengkhawatirkan kelompok-kelompok liberal dan sekuler di Indonesia. Termasuk media asing pun menyoroti ini sebagai sesuatu yang membahayakan. Tidak mengherankan, isu radikalisme, mengancam kebhinnekaan, hingga pengaitan terhadap teroris dan ISIS demikian kuat dihembuskan terhadap umat Islam yang menolak Ahok.

Kemenangan Anies-Sandi pun diopinikan sebagai kemenangan kelompok radikal, intoleransi dan anti kebhinnekaan. Presiden Jokowi sendiri pun sempat terjebak dalam permainan opini ini, sampai-sampai menyebutkan agama dan politik harus dipisahkan. Meskipun Presiden Jokowi kemudian meralatnya setelah mendapat kecaman dari berbagai pihak.

Jadi, maraknya isu radikalisme, terorisme, ancaman terhadap NKRI, merupakan isu propaganda sebagai cerminan ketakutan terhadap umat Islam yang merindukan dan menginginkan penerapan syariah Islam secara totalitas di bawah naungan Khilafah Islam. Dan ini bukan hal yang baru. Penjajah kolonial Belanda juga mencap umat Islam yang ingin melepaskan diri dari penjajahan dan penindasan Belanda, yang menginginkan syariah Islam dan bersatu di bawah naungan khilafah sebagai teroris dan ekstrimis radikal.

Yang kita sayangkan kalau ada elemen umat yang justru terjebak dalam propaganda ini dengan memusuhi umat Islam yang ingin memperjuangkan syariah dan khilafah. Bahkan mau diadu-domba, hingga menyebarkan fitnah dan kekerasaan terhadap sesama Muslim. Padahal, sesungguhnya sesama Muslim adalah bersaudara, yang sejatinya harus saling memperkuat dan menyayangi satu sama lain, bukan sebaliknya.

Karena itu kita perlu ingatkan, musuh sejati umat Islam bukanlah sesama Muslim. Apalagi yang memperjuangkan syariah dan khilafah yang diwajibkan dalam Islam. Musuh sejati kita adalah negara-negara kapitalisme-liberal, yang telah memaksakan ideologi penjajahan diterapkan di negeri Islam.

Negara-negara penjajah seperti Amerika dan sekutunyalah yang telah menimbulkan api fitnah di tengah-tengah umat Islam, menyulut konflik di negeri Islam, menjajah dan membunuh umat Islam. Merekalah yang juga mendukung rezim-rezim represif di negeri-negeri Islam yang telah membunuh rakyatnya sendiri, seperti yang dilakukan oleh rezim Assad di Suriah dan Sisi di Mesir.

Sementara, Khilafah Rasyidah ala Minhajinnubuwah adalah kewajiban syariah Islam dan kebutuhan umat Islam. Khilafah dibutuhkan oleh umat Islam untuk menerapkan seluruh syariah Islam, mempersatukan umat, dan melindungi umat Islam. Dengan menerapkan syariat Islam, akan menghentikan penjajahan di negeri-negeri Islam, memadamkan api fitnah, mengembalikan kemuliaan dan kedaulatan umat Islam.

Karena itu ke depan, agenda penting kita adalah memperjuangkan tegaknya seluruh syariah Islam di bawah naungan khilafah. Inilah solusi sejati umat Islam yang akan menghantarkan kepada kebahagian di dunia dan akhirat. AllahuAkbar!

Bacaan: Tabloid Media Umat edisi 195
---

Kasus Novel Baswedan: Koruptor Tak Lagi Takut


ilustrasi democrazy

Selasa (11/4), menjadi hari yang menghentikan langkah Novel Baswedan mengungkap perilaku kotor oknum pemakan duit negara untuk sementara. Pada hari itu ia disiram air keras oleh dua orang tak dikenal usai shalat shubuh. Cairan H2SO4 telah membakar kulit muka dan mata kirinya.

Novel Baswedan dikenal sebagai penyidik KPK paling ulet, banyak kasus suap dan korupsi besar yang ditanganinya, dan tak sedikit pula sejumlah pejabat atau pengusaha besar terseret dalam kasus yang diungkap oleh Novel.

Meski pelaku penyiraman belum tertangkap dan motif dari para pelaku belum diketahui, masyarakat menilai bahwa kejadian tersebut ada sangkut-pautnya dengan pekerjaan Novel. Lagi pula ini bukan penyerangan yang pertama kalinya. Menurut data yang dihimpun Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi, Novel sudah berkali-kali mengalami upaya kekerasan dan pembunuhan.

Seperti yang terjadi pada tahun 2010, saat mengusut kasus cek pelawat yang melibatkan 25 anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 2004-2009 dan mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Gultom. Juga kasus korupsi pengadaan simulator SIM pada 2012, dengan tersangka Irjen Djoko Susilo.

Dan pada 2015, mobil tim penyidik KPK serta penyidik Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), termasuk di dalamnya Novel, mengalami kecelakaan masuk sungai di Dompu, Nusa Tenggara Barat. Saat itu mereka sedang mengecek fisik terkait kasus dugaan korupsi pengadaan e-KTP.

Menurut pengamat sosial dan politik Iwan Januar, kejadian yang menimpa Novel adalah bentuk dari hilangnya rasa takut para pelaku koruptor terhadap operasi pemberantasan korupsi.

”Bukan berarti selama ini aparat penegak hukum yang berperang memberantas korupsi tidak pernah menerima ancaman dan intimidasi, tapi bahwa para koruptor dan kaki tangannya membuktikan ancaman mereka secara fisik dan dilakukan di tempat publik, menandakan bahwa mereka ini orang-orang kuat, dan yakin negara tidak akan sanggup menggulung mereka," jelas Iwan kepada Media Umat.

Iwan menilai bahwa KPK sudah lama coba dilumpuhkan melalui produk hukum, kemudian anggotanya dikriminalisasi, termasuk Novel. Sekarang para koruptor dan pendukungnya mulai melakukan aksi kekerasan fisik. Ini pesan yang dikirim oleh mereka bahwa koruptor ini sudah marah sekali karena eksistensi mereka diusik-usik.

”Siapa yang tidak kesal, apalagi sekarang semua parpol sudah pasang kuda-kuda untuk pemilu 2019. Mereka butuh citra yang bersih dan uang yang banyak. Pantas saja mereka kesal pada orang-orang seperti Pak Novel,” kata Iwan.

Iwan juga mengatakan adat korup di negara Indonesia sudah seperti lingkaran setan, hampir tak ada parpol, anggota legislatif, politisi bahkan aparat keamanan yang tak berada dalam pusaran korupsi. Kalaupun bukan pelaku mereka adalah temannya koruptor atau anggota parpol yang pejabat parpolnya melakukan korupsi.

"Nah, celakanya bukan saja koruptor yang moralnya bejat, tapi teman-teman di sekelilingnya malah memberikan support, perlindungan, dan perlawanan. Ini kan sama-sama bejat, dan berarti memang lingkaran setan,” ungkapnya.

Korupsi yang terjadi di Indonesia dinilai Iwan sudah secara sistematis dan kolektif, yang menyebabkan adanya politik sandera hingga akhirnya kasus korupsi tidak akan pernah habis.

”Akhirnya semua orang pegang kartu truf masing-masing. Sehingga ketika ada koleganya disidik aparat karena dugaan kejahatan korupsi, kawan-kawannya membantunya dengan cara apa saja agar ia bisa lolos," kata Iwan.

Menurut Iwan, sebab korupsi yang dirasakan saat ini adalah sistem Demokrasi yang bisa dibilang mahal, sehingga memancing banyak orang untuk melakukan apa saja demi membayar apa yang sudah dia keluarkan untuk masuk sistem demokrasi.

”Tidak ada jalan lain selain pilih pejabat yang punya integritas, berakhlak mulia, aturannya jelas, dan mau tidak mau harus campakkan demokrasi. Karena biang keroknya memang demokrasi,” pungkasnya. []fatih

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 195
---

Menjadi Pengusaha Mulia Mengemban Panji Rasulullah SAW


umat Islam berideologi Islam

Oleh: Supangkat Salim, Lajnah Khusus Pengusaha, HTI Tangerang Selatan, Founder Pengusaha Muslim Tangsel

Kemuliaan adalah salah satu nilai dan motivasi, yang ingin diraih dan mendorong seseorang menjadi pengusaha. Ada banyak perspektif, ukuran dan cara meraih kemuliaan di alam sekuler ini. Ada yang mengatakan to live, to love, to learn, to leave legacy, ada juga yang berkata harta, tahta, kata, dan cinta dsb. Demi mendapatkanya, sebagian pengusaha rela membayar mahal untuk mengikuti training atau coaching di dalam dan luar negeri.

Islam sebagai way of life tentu telah menetapkan ukuran yang clear tentang kemuliaan. Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya orang paling mulia di kalangan kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa” (TQS. al-Hujurat: 13). Dan Islam tentunya memberikan banyak jalan bagi penganutnya untuk meraih kemuliaan walaupun tanpa membayar mahal.

Di antara kalangan para muttaqin adalah para Nabi, syuhada dan shalihin. Pada titik ini pengusaha memiliki peluang besar untuk meraih kedudukan seperti mereka, sebagaimana sabda Nabi SAW: ”Seorang pedagang Muslim yang jujur dan amanah (terpercaya) akan dikumpulkan bersama para Nabi, orang-orang siddiq dan orang-orang mati syahld pada hari kiamat” (HR. Ibnu Majah).

Jujur dan amanah adalah bagian dari perintah syara. Dengan kejujuran dan amanahnya, pengusaha Muslim akan berusaha mencari amal terbaik untuk mendapatkan kemuliaan terbaik. Sebagai pengusaha yang sudah terbiasa melakukan analisa bisnis, membuat perencanaan bisnis dan membangun budaya kerja. Tentu tidak sulit untuk merealisasikannya.

Untuk keselamatan dunia dan akhirat, tentu tidak mencukupi hanya jujur dan amanah dalam perniagaan, sementara tidak jujur dan amanah sebagai seorang Muslim. Seorang Muslim dituntut keberpihakannya pada tauhid Islam dan menolak kekufuran. Dengan demikian tanpa menjadi pejuang syariah dan khilafah tentu akan sulit bagi seorang pengusaha Muslim untuk menjadi jujur, amanah dan selamat dunia, akhirat.

Dengan kata lain seorang pengusaha Muslim sudah seharusnya menjadi pengemban panji-panji Rasulullah SAW. Karena antara panji Rasulullah dengan eksistensi syariah dan khilafah ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan.

Panji Rasulullah ada dua al-liwa (berwarna putih) dan al-rayah (berwarna hitam) pada keduanya tertulis kalimat syahadat: laa ilaha illallah Muhammad rasulullah, kalimat tauhid yang menyelamatkan manusia di dunia dan akhirat.

Sebagai simbol syahadat, Rasulullah SAW akan mengibarkan panji tersebut pada hari Kiamat. Kelak Rasulullah SAW menyebut bendera tersebut sebagai Liwa al-Hamdi. Sabda Rasulullah Saw.: "Aku adalah pemimpin anak Adam pada Hari Kiamat dan aku tidak sombong. Di tanganku ada Liwa al-Hamdi dan aku tidak sombong.” (HR. at-Tirmidzi)

Mulianya Kedudukan al-liwa dan ar-rayah serta pengembannya digambarkan dalam sabda Nabi SAW: ”Sungguh aku akan memberikan al-rayah kepada seseorang yang ditaklukkan benteng melalui kedua tanganya; Ia mencintai Allah dan Rasul-Nya; Allah dan Rasul-Nya pun mencintainya.” (HR. Muttafaqun 'alayh).

Dalam hadits di atas Rasulullah SAW memberikan keteladanan dalam mengemban al-liwa dan ar-rayah, sebagai tugas kenegaraan yang sangat mulia, yang tidak diemban kecuali oleh orang yang mulia. Dan para sahabat berharap mendapatkan kemuliaan tersebut. Inilah tren kekinian kaum Muslimin di Indonesia. Pengusaha tentunya tidak mau ketinggalan tren. Wallahua'lam bi ash-shawab. []

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 195
---

Jangan Cuman Jadi Pembela Islam Kumatan (bagian 1)



Oleh: Luky B Rouf, Lajnah Dakwah Sekolah – DPP HTI

Rupanya dagangan opini dan pelabelan teroris atau fundamentalis ini masih terus akan dijual seiring pelemahan semangat pembelaan Islam yang nggak kunjung berhasil, bahkan disinyalir makin menguat. Alhamdulillah dengan izin Allah, kaum Muslimin wa bil khusus di Indonesia semangat jihad, membela Islam, bahkan gelora menerapkan syariah senantiasa membahana, sehingga inilah yang membuat para penggerak opini miring tentang syariah, jihad, pembelaan Islam menjadi kebakaran jenggot. Dan akhirnya lagu lama tadi senantiasa diputar.

Di kalangan remaja, anak-anak muda kita bisa melihat tak sedikit yang memiliki semangat pembelaan Islam, tak rela Islam dinistakan, ulamanya dilecehkan, syari'ahnya dikesampingkan. Mereka tergerak dalam lautan gelora dalam beberapa aksi yang sudah digelar oleh kaum Muslimin beberapa waktu lalu. Maka gelora semangat ini nggak boleh padam, bahkan harus senantiasa dikobarkan dan dilanjutkan untuk lebih serius dan terarah menjadi pembela-pembela Islam yang sejati. Bukan hanya pembela Islam yang kumatan, atau tergerak hanya ketika baru terbukti Islam dilecehkan.

Islam memang tetap akan mulia tanpa kita bela, sebagaimana Rasulullah Saw. sampaikan dalam sebuah haditsnya: ”Islam itu tinggi dan tidak ada yang mengalahkan ketinggiannya.” (HR. Ad-Daruquthni (III/181 no.3564)

Jadi bukan masalah Islamnya, tapi masalah kitanya sebagai pemeluk, penganut sampe di mana pembelaan kita terhadap Islam, sampai di mana amal perbuatan kita sebagai Muslim. Tentunya bukan untuk dilihat dan dinilai oleh manusia, tapi sematamata kita lakukan dalam rangka taqarub (mendekatkan diri) kepada Allah, sebagai sarana ibadah kita kepada Allah.

Islam ini dinistakan bukan hanya karena seorang penista yang melecehkan salah satu ayat di Surat Al-Maidah, tapi sadar atau enggak kita, kaum Muslimin saudara kita sendiri yang melecehkan (baca: mengabaikan) ayat-ayat Allah yang lain. Seorang Muslimah yang sudah baligh misalnya, ketika keluar rumah wajib mengenakan jilbab dan khimar karena itu perintah dari Allah di surat Al-Ahzab 59 dan AnNuur 31, tapi faktanya kaum Muslimah enjoy-enjoy keluar rumah pamerkan aurat, bahkan sebagian bangga bertelanjang ria.

Itu baru satu contoh atau satu perintah, bagaimana dengan perintah atau larangan Allah dalam ratusan atau ribuan ayat Allah maupun hadits Rasulullah SAW? Apakah kita juga pernah tersinggung jika ayat-ayat tersebut juga dilecehkan atau diabaikan oleh kaum Muslimin sendiri? Apakah kita juga gerah ketika melihat banyak sekali pelecehan, kemaksiatan bertebaran di depan mata kita?

Jika jawaban dari semua pertanyaan itu adalah ”tidak" atau ”belum” maka itu, indikasi bahwa kita hanya menjadi pembela Islam yang kumatan, pembela Islam yang musiman, pembela Islam yang tren-trenan. Sebagai gantinya, kita harusnya merasa tidak cukup hanya menjadi pembela Islam kumatan, kita harus menjadi pembela Islam yang sejati. Bagaimana sih menjadi pembela Islam yang sejati?

Pertama, pembela Islam sejati harus mau membina diri dalam tsaqofah Islam. Dirinya nggak merasa cukup hanya sekedar datang ke taklim, setelah itu pulang, besoknya datang lagi, trus pulang. Dia rela waktunya disita untuk senantiasa mentafakuri, mendalami tsaqafah Islam bersama para pembinanya (musyrif).

Kedua, untuk menjadi pembela Islam sejati harus mau dan mampu berdakwah. Kenapa? Karena memang Islam tidak akan mencapai kejayaannya, tidak akan sampai ke telinga kita jika tidak ada yang mengemban. Di sisi yang lain, kemungkaran dan kemaksiatan di sekitar kita harus dihilangkan, dan salah satunya dengan cara dakwah. Di manapun harus berdakwah. Dakwah itu everywhere dan everytime.

Ketiga, pembela Islam sejati tidak membatasi gerak dan pengetahuannya hanya di lingkup lokal. Istilahnya, act local think global. Pemersatu kaum Muslimin adalah akidah Islam, bukan darah atau daerah. Itulah kenapa Rasulullah Saw mengibaratkan kita 'satu tubuh', karena memang kita harus merasakan apa yang dirasakan oleh kaum muslimin di Suriah misalnya, di Palestina, di Patani, dan sebagainya. Sehingga persaudaraan kita itu lintas negara, lintas benua. Wajarlah jika persatuan kita juga seharusnya dalam satu wadah yakni khilafah Islamiyah. []

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 195
---

Penentu Kemenangan (Pelajaran Dari Perang Mu’tah)


Salah satu peperangan dahsyat yang terjadi pada masa Rasulullah SAW adalah Perang Mu'tah. ltulah perang antara pasukan Negara Islam pimpinan Rasulullah Muhammad SAW . dan pasukan Kerajaan Romawi pimpinan Kaisar Heraclius. Perang dahsyat ini terjadi di Mu'tah (sekitar Yordania sekarang), yang terjadi pada tahun ke-8 H (629 M), dengan hanya 3.000 personel di pihak pasukan Muslim dan 200 ribu personel di pihak pasukan Romawi.

Penyebab Perang Mu'tah ini bermula ketika Rasulullah SAW mengirim utusan bernama Harits bin Umair al-'Azdi yang akan dikirim kepada penguasa Bashrah (Romawi Timur) bernama Hanits bin Abi Syamr al-Ghassani yang baru diangkat oleh Kekaisaran Romawi. Di tengah perjalanan, utusan itu dicegat dan ditangkap oleh penguasa setempat bernama Syurahbil bin 'Amr al-Ghassani, pemimpin dari Bani Gasshaniyah (daerah jajahan Romawi) dan dibawa ke hadapan Kaisar Romawi Heraclius. Setelah itu kepalanya dipenggal.

Pada tahun yang sama, 15 orang utusan Rasulullah SAW dibunuh di Dhat at-Talh, daerah di sekitar Syam. Hal inilah yang membuat Rasulullah SAW sedih sekaligus marah. Setelah berunding dengan para sahabat, lalu diutuslah pasukan Muslim sebanyak 3.000 orang untuk berangkat ke Syam. Ini adalah pasukan terbesar yang dimiliki kaum Muslim setelah Perang Ahzab. Saat itu Rasulullah SAW bersabda, ”Pasukan ini dipimpin oleh Zaid bin Haritsah. Bila ia gugur, komando dipegang oleh Ja'far bin Abu Thalib. Bila ia gugur, panji (rayah) diambil oleh Abdullah bin Raw'ahah.” Saat itu beliau meneteskan air mata. Selanjutnya panji (rayah) itu dipegang oleh seorang 'Pedang Allah' dan akhirnya Allah SWT memberikan kemenangan (HR. al-Bukhari).

Inilah pertama kalinya Rasulullah SAW mengangkat tiga panglima sekaligus dalam satu peperangan karena beliau mengetahui bahwa ketiganya akan syahid dalam peperangan tersebut.

Menurut Ibnu Ishaq dan Ibnu Hisyam, pertempuran ini berakhir imbang karena kedua belah pihak sama-sama menarik mundur pasukannya meski yang lebih dulu menarik pasukan adalah Romawi. Namun, menurut Ibnu Katsir, dalam pertempuran ini kemenangan berada di tangan pasukan Muslim. Terkait Perang Mu'tah ini, Imam Ibnu katsir berkomentar, ”Ini kejadian yang menakjubkan sekali. Dua pasukan bertarung, saling bermusuhan dalam agama. Pihak pertama adalah pasukan yang berjihad fi sabilillah dengan kekuatan 3.000 orang. Di pihak lainnya, pasukan kafir yang berjumlah 200 ribu pasukan; 100 ribu orang dari Nasrani Romawi dan 100 ribu orang dari Nasrani Arab. Mereka saling bertarung dan menyerang. Meski demikian sengitnya, hanya 12 orang yang terbunuh dari pasukan kaum Muslim, sementara jumlah korban tewas dari kaum musyirik sangat banyak.” (Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa an-Nihayah, 4/214).

Jumlah berbeda disebutkan oleh Ibnu Ishaq bahwa dari kaum Muslim yang terbunuh hanya 8 orang (antara lain para panglima pasukan yaitu Zaid bin Haritsah al-Kalbi, Ja'far bin Abi Thalib dan Abdullah bin Rawahah), sementara dari pasukan Romawi, yang tewas sekitar 20.000 orang.

Di dalam peperangan ini Khalid bin Walid telah menunjukkan suatu kegigihan yang sangat mengagumkan. Khalid ra. sendiri berkata, ”Dalam Perang Mu'tah, sembilan bilah pedang patah di tanganku kecuali sebilah pedang kecil dari Yaman.” (Riwayat al-Bukhari).

Ibnu Hajar mengatakan, riwayat ini menunjukkan bahwa kaum Muslim telah banyak membunuh musuh mereka Mahabenar Allah SWT yang berfirman (yang artinya): “Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata, ”Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah? Allah beserta orang-orang yang sabar.” (TQS. Al-Baqarah [2]: 249).

Mahabenar pula Allah SWT yang berfirman (yang artinya): “Jika ada di antara kalian 20 orang yang bersabar maka akan dapat mengalahkan 200 orang.” (TQS. Al-Anfal [8]: 65)

Alhasil, dalam berjuang di jalan Allah SWT, kemenangan tidak ditentukan oleh jumlah yang banyak. Sebaliknya, kekalahan tidak disebabkan oleh jumlah yang sedikit. Hal itu pun berlaku di medan dakwah. Semua berpulang pada pertolongan Allah SWT, sementara pertolongan-Nya tentu amat bergantung pada kedekatan (taqarrub) kita kepada Allah SWT, yang dibuktikan dengan ketakwaan kepada-Nya, sebagaimana ditunjukkan oleh generasi para sahabat dulu. Wallahu a'lam.

Bacaan: Tabloid Media Umat edisi 195
---

Ketika Mujtahid Belia Lahir Di Era Khilafah



Belum pernah ada era yang kegemilangannya bisa mengalahkan era Khilafah Islam, terutama dalam mencetak generasi unggul di zamannya. Lihat saja, jumlah ulama kaum Muslim dari berbagai disiplin ilmu yang tak terhitung jumlahnya. Lihat karya yang mereka hasilkan rasanya bagai samudera, saking banyaknya. Dan tak pernah habis dibaca. Itu menggambarkan betapa dahsyatnya era Khilafah dalam menghasilkan sumber daya manusia yang belum pernah bisa ditandingi oleh peradaban manapun.

Ini seperti simbiosis mutualisme, satu dengan yang lain seperti rangkaian yang tak bisa dipisahkan, karena saling kait-mengait dan berpengaruh. Ilmu, seperti kata para ulama adalah pancaran nur ilahiyyah. Nur ilahiyyah ini tidak akan diberikan kepada orang yang maksiat kepada Allah. Dengan diterapkan sistem Islam dalam seluruh aspek kehidupan di tengah masyarakat, maka potensi maksiat di era Khilafah sangat kecil. Karena, jalan dan celah kemaksiatan telah ditutup rapat-rapat. Dengan begitu, generasi kaum Muslim yang lahir dan hidup di dalamnya sangat mudah mendapatkan pancaran nur ilahiyyah ini.

Selain itu, dengan diterapkannya sistem Islam ini juga membawa keberkahan dalam hidup mereka, sebagaimana dinyatakan oleh Allah dalam QS. Al-A'raf: 96. Karena itu, waktu, umur dan ilmu mereka berkah dengan dilipatgandakan oleh Allah. Lihatlah, bagaimana anak-anak di zaman itu, di usia 3-6 tahun mereka sudah hapal Al-Qur’an 30 juz, di bawah bimbingan masyayikh yang bersanad hingga Nabi SAW. Di usia 7 tahun, mereka sudah hafal Mandhumah Alfiyah Ibn Malik, kitab Nahwu yang paling tinggi dan rumit, dengan 1.000 bait. Setelah itu, mereka menghapal kitab-kitab hadits. Kitab al-Muwatha' karya Imam Malik, kitab Shahih al-Bukhari, Muslim, Kutub Sunan, termasuk al-Masanid, mereka hapal saat usia belia. Setelah itu, mereka mempelajari kitab-kitab fikih.

Hasilnya, lihatlah pada diri Imam Syafii. Di usia belum genap 14 tahun, ia sudah bisa mengeluarkan fatwa dan berijtihad. Ini bukan soal kecerdasan semata, tetapi kesungguhan, keberkahan dan perjuangan orang tua, ia, dan lingkungan masyarakat dan negara di zamannya. Imam Syafii lahir dari orang tua yang miskin, dan lahir sebagai anak yatim. Dari Gaza, ia dibawa ibundanya ke Makkah. Di Makkah, Imam Syafii kecil menghabiskan ilmu para ulama di Tanah Haram. Ibundanya kemudian meminta memo dari Amir Makkah untuk diserahkan kepada Imam Malik agar putranya bisa berguru kepada Imam Dar al-Hijrah itu.

Tetapi bukan karena memonya, Imam Malik bersedia menjadi guru Imam Syafii karena melihat potensi kecerdasan dan kehebatan anak belia ini. Di hadapan Imam Malik, Imam Syafii kecil sanggup menghafal kitab al-Muwatha' dengan tepat dan tak ada yang salah. Dalam riwayat lain, Imam Syafii, karena saking miskinnya, sampai harus mengikuti kajian Imam Malik dengan nguping. Ketika di majelis Imam Malik, ia terpaksa menulis dengan jari telunjuk kanannya yang dicelupkan ke mulutnya kemudian digoreskan ke telapak tangan kirinya. Sesuatu yang membuat marah Imam Malik karena dianggap main-main. Tetapi, setelah diketahui, ia melakukan itu karena memang tidak sanggup membeli pena dan kertas, barulah Imam Malik memaafkannya. Hasilnya, apa yang ditulis dengan simbolik oleh Imam Syafii kecil itu ternyata setelah dites Imam Malik tak ada satupun yang kelewat.

Kalau bukan karena waktu yang berkah, bagaimana mungkin Imam Syafii, bisa mengkhatamkan Al-Qur’an, konon sehari sebanyak tiga kali atau minimal sekali sehari. Semua itu karena keberkahan waktu, yang datang, karena memang suasana lingkungan masyarakat dan negaranya benar-benar hidup dalam cahaya Islam dan ketaatan. Bandingkan dengan zaman kita sekarang. []har

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 194
---

Menjadi Leader Dalam Informasi



Saat ini ketika khilafah belum tegak, posisi pengemban dakwah adalah pelayan ideologi Islam yang utama. Secara individu, berperan penting dalam mewujudkan ketahanan informasi di tengah-tengah masyarakat agar suasana kondusif. Tidak mudah percaya, terpancing emosi, panik, resah, dan terhasut. Pengemban dakwah hendaknya terdepan alias leader dalam mengelola informasi. Bagaimana caranya? Ada beberapa kaidah yang harus diperhatikan dalam menyikapi informasi, antara lain:

1. Senantiasa Tatabu'

Berita selalu mengikuti informasi kekinian. Mengikuti isu yang sedang hangat. Terutama, selalu mencermati sepak terjang negara nomor satu di dunia, juga negara yang memusuhi umat Islam. Termasuk mencermati berbagai kebijakan penguasa, terutama yang menyangkut urusan umat dan implikasinya terhadap mabda Islam.

2. Mengutamakan Kabar dari Orang Mukmin

Seharusnya, media Islam dan pengelolanya yang Muslim jadi rujukan. Sayangnya, dalam peradaban sekuler saat ini, media Islam belum berkembang baik. Kemunduran berpikir umat bahkan dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk melakukan rekayasa informasi yang menyesatkan. Dikira informasi Islami, padahal hoax. Karena itu, selektiflah memilih media. Utamakan yang bersumber dari Muslim. Tetapi, memilih media Islam juga harus selektif, karena tidak semua media Islam profesional dan sejalan dengan mabda Islam.

3. Tabayyun atau Konfirmasi pada Sumber Profesional

Selalu mencari kebenaran berita tersebut, informasi yang sesuai fakta, diolah secara profesional oleh pewarta yang memahami kinerja jurnalistik. Bukan oleh masyarakat awam yang ala kadarnya menyampaikan informasi. Karena itu, cermati sumber berita tersebut, apakah media resmi yang kredibel atau anonim. Media resmi, besar kemungkinan mendapat fakta valid yang terkonfirmasi, bukan hoax.

4. Validasi Pemikiran

Informasi yang sumbernya valid, belum tentu benar. Untuk itu harus bisa mendeteksi pemikiran yang salah, yakni dengan meninjau sudut pandang penyajian informasi yang sangat dipengaruhi ideologi dan kepentingan pemilik media. Sebab, dalam pemberitaan, terkadang tidak sekadar menyampaikan fakta apa adanya, tapi sudah mengandung opini atau framing tertentu sesuai arah pemahaman jurnalis atau pengelola media yang bersangkutan.

5. Waspadai Stigmatisasi Islam

Media kerap melakukan labelisasi pada umat Islam, seperti label teroris, radikal, ekstrim dan sebagainya. Stereotip atau monsterisasi ini biasanya terjadi karena media dalam negeri berlangganan kantor berita Barat yang memang sengaja menyelipkan cap-cap miring terhadap ideologi Islam.

6. Ikut Berperan Aktif dalam Kerja Media

Aktivitas dakwah adalah menyampaikan mabda Islam. Selain lisan, bisa juga dengan tulisan. Pengemban dakwah hendaknya menjadi produsen opini. Siap sedia diberdayakan baik sebagai penulis lepas, blogger, penceramah, trainer, host, presenter, jurnalis (kamerawati, reporter, editor, dll), script writer, sutradara, editor video, desainer grafis, web developer, web designer, dan sebagainya. []kholda

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 194
---
 

Jurus Jitu Jaga Si Buah Hati



Oleh: Ummu Fatimah, Ibu tiga orang anak tinggal di Depok

Sport jantung! Itulah yang kita rasakan sebagai kaum ibu di negeri ini. Belum habis kasus penculikan anak dengan berbagai modus, kini berita mencengangkan kembali menghantui para orang tua dengan-terkuaknya sebuah grup pedofil di facebook. Bayangkan saja, grup predator anak-anak yang baru terbentuk 9 Maret 2016, dalam satu tahun sudah diikuti 7000an lebih anggota.

Dan yang lebih mengerikannya terdapat 500 video dan 100 foto porno dengan anak-anak perempuan sebagai korban pelampiasan nafsu bejat mereka. Peraturan grup pun sangat menyeramkan. Harus memposting kegiatan seksual mereka bersama korban anak perempuan usia mulai dari 2 sampai 12 tahun. Dan tidak boleh memposting dengan korban yang sama, harus berganti. Artinya, sudah ada 500-an korban! Sungguh sangat jahat!

Dengan terbongkarnya aktivitas grup yang disetting private tersebut, membuka mata kita semua bahwa monster-monster pedofilia memang bertebaran di luar sana dan jumlahnya lebih dari 7 ribu orang. Dan kini tak main-main,anak-anak perempuan yang menjadi sasaran. Sungguh memprihatinkan, betapa anak-anak sekarang harus menghadapi masalah yang sangat berat dalam hidupnya, lantaran syariat Islam tidak diterapkan.

Lalu, saat ini apa yang harus kita lakukan sebagai orang tua? Mengunci anak terus dalam rumah juga bukan solusi. Anak butuh ruang untuk bereksplorasi dan tumbuh. Imun apa yang harus kita siapkan untuk anak-anak kita menghadapi serangan predator? Apapun hal-hal teknis yang dapat kita lakukan sekarang untuk melindunginya maka lakukan selama tidak haram. Tetapi itu saja tidak cukup melindungi anak secara penuh, selama negara tidak mendukung dengan penerapan syariat Islam secara kaffah termasuk menegakkan hukum Islam terkait pelaku pedofilia.

Di dalam lslam, anak-anak terjamin keselamatannya dengan penetapan sistem hukum yang berlapis-lapis. Tiga di antaranya sebagai berikut. Pertama, Islam mewajibkan orang tua merawat, mengasuh, mendidik, membina dan melindungi anak-anak mereka.

Kedua, Islam memerintahkan takwa. Takwa membuat seorang Muslim akan sungguh-sungguh melaksanakan perintah Allah meskipun berat. Ia juga akan berusaha keras meninggalkan perbuatan keji dan mungkar meski syahwatnya bergejolak. Takwa merupakan pencegah diri secara internal yang paling ampuh. Takwa mewujudkan sifat luhur yang sempurna pada manusia.

Ketiga, Islam mewajibkan negara menghukum pelaku kejahatan. Dalam Islam, pelaku perkosaan akan diganjar hukuman layaknya pezina. Bila belum menikah maka akan dikenakan seratus kali cambukan (QS. an-Nur [24]: 2). Bila telah menikah maka akan dirajam hingga mati.

Imam an-Nasa'i meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah ra. bahwa Nabi SAW pernah mencambuk seorang pria yang berzina. Kemudian beliau mendapat kabar bahwa pria itu telah menikah (muhshan). Beliau lalu memerintahkan untuk merajam dia hingga mati.

Bagi si penerima sanksi, sanksi itu akan bisa menjadi penebus atas dosanya di akhirat. Sanksi yang tegas dan keras ini sekaligus juga efektif menimbulkan efek jera dan mencegah orang melakukan perzinaan.

Pembunuh anak akan di-qishas, yakni balas dibunuh, atau membayar diyat sebanyak 100 ekor unta. Setiap anggota tubuh anak memiliki nilai diyat sama dengan orang dewasa. Bagi yang melukai kemaluan anak kecil dengan persetubuhan dikenai 1/3 dari 100 ekor unta, selain hukuman zina.

Begitulah, hukum Islam demikian istimewa. Ia mencegah terjadinya pelecehan dan kejahatan seksual terhadap anak-dan juga menyelesaikannya. Ketika anak-anak perempuan banyak yang terancam tak lagi perawan karena tidak diterapkannya syariat Islam, sudah seharusnya bagi kita para orang tua, masyarakat serta pemimpin negara mengembalikan segala macam persoalan pada syariah Islam yang secara paripurna diterapkan oleh negara. Agar kehormatan anak perempuan kita terjaga. Agar anak-anak perempuan kita mulia-dan pelaku pedofilia tak lagi merajalela karena tegaknya hukum Islam yang luar biasa adilnya. []

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 194
---

Apa Maksud Politisasi Agama



Ribut-ribut spanduk menolak menshalatkan jenazah penista agama memunculkan kembali isu politisasi agama. Politisasi agama juga dikaitkan dengan sikap umat Islam yang menolak pemimpin kafir. Disebut-sebut politisasi agama membahayakan sistem politik demokrasi, ujung-ujungnya membahayakan negara.

Isu politisasi agama, bukanlah merupakan hal baru. Sama dengan isu radikalisme agama, ekstrimis, militan, ancaman terhadap kebhinekaan, merupakan isu propaganda untuk menyudutkan Islam. Sebagaimana, isu-isu propaganda, politisasi agama sendiri, tidaklah memiliki pengertian yang jelas apalagi tunggal. Karena defenisi yang kabur, tidak mengherankan isu propaganda ini digunakan secara inkonsisten dan subyektif berdasarkan kepentingan produser isu.

Umat Islam dan ulama yang menyerukan haram pemimpin kafir berdasarkan ayat Al-Qur’an dan hadits, kerap dituding melakukan politisasi agama.

Di sisi lain, pihak penuding, juga menggunakan jargon-jargon agama untuk kepentingannya. Mereka juga menggunakan ulama-ulama bayaran untuk memenangkan jagonya, mengadakan dan hadir dalam acara-acara agama, memberikan hadiah umrah dan haji, termasuk membanggakan diri telah membangun masjid. Padahal semua itu jelas-jelas hanyalah topeng!

Politik Islam sendiri sangat mungkin terjadi. Namun bukan berarti agama dan politik harus dipisahkan, sebagaimana halnya propaganda kelompok sekuleris-liberal.

Dalam pandangan Islam, agama dan politik itu tidak bisa dipisahkan, Imam al-Ghazali menyebutnya dua saudara kembar. Ia menyatakan: "Karena itu, dikatakanlah bahwa agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Dikatakan pula bahwa agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak punya pondasi niscaya akan roboh dan segala sesuatu yang tidak memiliki penjaga niscaya akan musnah." (Al-Ghazali, Al-Iqtishad fi al-I'tiqad, hlm.199)

Sementara Ibnu Taymiyah menegaskan, ”Jika kekuasaan terpisah dari agama atau jika agama terpisah dari kekuasaan, niscaya keadaan manusia akan rusak.” (Ibnu Taimiyah, Majmu' al-Fatawa, XXVIII/394).

Apa yang dipraktikkan langsung oleh Rasulullah SAW saat menjadi kepala negara Islam di Madinah menunjukkan hal yang jelas, bahwa Islam dan politik tak dipisahkan. Tampak jelas peran Rasulullah SAW sebagai kepala negara, sebagai qadhi (hakim) dan panglima perang. Rasul SAW pun mengatur keuangan Baitul Mal, mengirim misi-misi diplomatik ke luar negeri untuk dakwah Islam, termasuk menerima delegasi-delegasi diplomatik dari para penguasa di sekitar Madinah. Masjid Nabawi sendiri pada masa Rasulullah SAW bukan hanya digunakan untuk urusan ibadah ritual, tetapi juga menjadi tempat Rasulullah SAW bermusyawarah bersama para sahabatnya untuk membicarakan segala urusan rakyatnya, termasuk mengatur strategi perang.

Ya, Islam dan politik tidak bisa dipisahkan, karena hakikat politik adalah pengaturan urusan-urusan rakyat. Sementara itu, Islam merupakan agama yang wajib menjadi pedoman hidup dalam pengaturan urusan-urusan manusia, termasuk mengatur urusan rakyat. Karena itu dalam pandangan Islam, urusan rakyat haruslah diatur oleh syariah Islam. Untuk itu mutlak membutuhkan kekuasaan dan negara yang didasarkan kepada syariah Islam. Negara inilah yang dalam fiqh siyasah disebut khilafah.

Yang perlu kita lakukan adalah membedakan mana politik Islam sejati, mana sekadar politisasi agama dalam pengertian hanya menggunakan agama sebagai topeng dan alat mendukung kekuatan politik.

Beberapa indikator politisasi agama antara lain, pertama, Islam tidak dijadikan landasan dan tujuan dalam berpolitik. Politik Islam sejati, wajib menjadikan Islam sebagai landasan, kekuasaan yang diraih digunakan untuk menerapkan syariah Islam secara totalitas. Karenanya, kita patut curiga kalau ada pihak yang menggunakan slogan-slogan agama, tapi menolak penerapan syariah Islam secara totalitas. Dalam Islam, kekuasaan itu bukanlah sekadar mendudukkan Muslim untuk berkuasa tapi untuk menerapkan seluruh syariah Islam dalam negara, menjadikan syariah Islam berkuasa.

Kedua, cenderung inkonsisten dalam menggunakan dalil agama. Di satu kesempatan menggunakan Al-Qur’an untuk menolak pemimpin kafir, namun di lain waktu dan kesempatan, justru mendukung pemimpin kafir untuk berkuasa dengan berbagai dalih. Di satu sisi mereka mengecam sikap menolak untuk mensholati jenazah penista agama dengan alasan bertolak belakang dengan ajaran Islam, tapi dalam urusan politik mereka tidak mau diatur oleh aturan Islam.

Ketiga, pelaku politisasi agama cenderung tingkah lakunya bertentangan dengan syariah Islam. Kerap menggunakan simbol-simbol agama dalam berpakaian, namun tetap berpraktek muamalah ekonomi ribawi, atau tetap korupsi dan memakan uang rakyat. Ini juga merupakan indikasi politisasi agama.

Karena itu politik Islam sejati, adalah menjadikan kekuasaan untuk menerapkan syariah Islam secara totalitas di bawah naungan khilafah. Bukan sekadar mendudukan Muslim di tahta kekuasaan, tapi juga mengubah sistem sekuler dan liberal dengan syariah Islam. Karena itulah politik Islam sejati hanya terwujud dengan adanya khilafah yang menerapkan seluruh syariah Islam. Allahu Akbar!

Bacaan: Tabloid Media Umat edisi 193
---

Penampilanmu Hari Ini



Jadi ABG, penampilan pun ikut berubah. Yang dulunya ingusan dan dekil, kini mulai perhatian akan perawatan fisik, pemilihan fesyen, aksesori, dan kelengkapan lainnya. Model yang lagi ngehits akan diikuti biar dikata gaul dan ogah disebut jadul.

Ada juga yang dimake over. Girls, please! Jangan obral dandanan, ya! Mendingan keju saat lumer rasanya nendang, tapi makeup yang meleleh bikin wajah cantikmu jadi belang. Cowok juga gak usah ikutan deh ngerok alis buat diganti tato. Apalagi badannya udah banyak digambarin.

Tampilan keik gini, itu tanda suka 'kabawa sa kabakaba' Ada yang bisa ngomong Jepang? Jawabnya jangan, 'Jepaa..ng.' Zonk! He.. iklan banget. Yang masih gagal fokus, maaf cuma bercanda. Tadi yang atas itu adalah istilah Sunda, maksudnya janganlah jadi bebek yang suka ngikut trend yang gak jelas. Pis ah!

Sob, ingetin temenmu yang belom pada ngerti akan ajaran Islam tentang tata cara berhias dan berpakaian. Ajaklah kawan perempuan yang berpakaian irit bahan dan berventilasi untuk mengenakan jilbab dan kerudung yang syar'i. Jadi, gak asal membungkus aurat. Ingetin juga untuk tidak asal bersolek. Kamu udah punya jawaban kan kalo mereka nanya apa arti tabarruj? Siip!

Temenmu yang cowok juga belum tentu pakaiannya pantes. Meski batas aurat laki-laki lebih sempit, tak berarti shalat cukup pake boxer selutut dan kaos oblong. Jangan juga salah kostum seperti setelan preman dengan rambut diukir gak karuan. Sob, kamu yang ikhwan boleh ngasih contoh tuh pakai jubah, sorban, dan kopiah putih. Pasti membuatmu nampak kinclong dan keren bangeuh!

Berpakaianlah yang benar dan santun, bukan demi gengsi dan pamer. Jangan seperti artis yang ngabisin banyak duit untuk mesen wardrobe rancangan disainer terkenal. Padahal, makenya cuma sekali coz malu jika dipake di acara lain. Mubazir, ya? Boleh aja setaun sekali punya baju baru yang nyaman di segala suasana. Sebagai penghias diri saat beribadah di masjid, pantes dipake ngaji, juga buat gaul sehari-hari. Nilai plus buat kamu jika ngerti selera berbusana yang apik.

Siapa tau ada yang berbakat jadi penampil dalam dakwah. Misalnya, dengan keilmuan dan keahlian public speaking yang dimiliki, kamu bisa berceramah di kajian remaja masjid atau berorasi dalam kampanye anti gaul bebas. Jika ditunjang appearance yang bisa bikin pede, OK lah, ya? Walaupun tampil simpel tapi elegan dengan batik dan tanpa polesan, kamu tetep bintang dan ganteng koq. Ciee

Apapun kemampuan yang dimiliki, berikanlah untuk dakwah! Mungkin masih malu jika berbicara di depan umum, bisa jadi passion-mu adalah menulis. Mading sekolah, medsos, tabloid, dll bisa dimanfaatkan. Berkarya di 'belakang panggung' dalam dakwah berjamaah juga berkontribusi besar.

Menjadi panitia pengajian, nyebarin buletin dakwah, ngontak temen biar ikutan ngaji, nyisihkan uang jajan buat infaq, atau 'sekadar' megang poster dalam aksi damai bela Islam. Lebih bangga lagi jika , berkesempatan untuk mengibarkan bendera Islam, Liwa’ dan Rayah. Pengemban panji Rasulullah adalah orang pilihan yang mencintai serta dicintai Allah dan Rasul-Nya.

Sob, ketaatan terhadap Allah akan membentengi diri kita dari bahaya liberalisme. Takwa adalah pakaian terbaik. Remaja yang bertakwa takkan dipusingkan dengan pergantian trend dan mode di setiap harinya, tapi akan disibukkan dengan berbekal amal shalih yang senantiasa lebih baik dari sebelumnya. Ia juga ikut berperan untuk mewujudkan ketakwaan kolektif. Berjuang agar aturan Islam diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan. Oke, remaja Smart, tampilkan dakwahmu!

Bacaan: Tabloid Media Umat edisi 193
---

Militansi Muslimah Pejuang



Para feminis begitu militan memperjuangkan kesetaraan gender. Isu yang diusung sejak abad 16-18 M itu tak pernah berhenti digelindingkan. Berbagai cara dilakukan, baik secara personal maupun jalur struktural. Baik dengan cara elegan, maupun cara menjijikkan, seperti menelanjangi tubuh-tubuh perempuan itu sendiri.

Termasuk melalui PBB -sebagai kepanjangan tangan pengemban ideologi kapitalisme- yang tak henti memaksakan isu gender ke berbagai negeri Islam. Menyerang nilai-nilai mulia yang dibawa Islam. Menuduhnya pengekang Perempuan. Padahal tanpa perlu mengusung persamaan, perempuan Islam sangat mulia.

Nah, sebagai Muslimah, jangan sampai kalah militan dibanding para pejuang feminis. Agar para perempuan kian mengenal Islam lebih dalam. Mencintai dan membutuhkan Islam, sebagai penjamin hak-hak dan pelindung kaum perempuan. Maka, tunjukkan militansi sebagai pejuang Muslimah dengan cara sebagai berikut:

1. Militan dalam mencari ilmu dan mengasah skill

Tak pernah berhenti belajar, mencari tahu, menggeluti buku, mendatangi guru, menyampaikan dan menyebarkan ilmu. Banyak ilmu menghindarkan kebodohan. Menjauhkan diri dari informasi yang penuh kebohongan. Tiap manusia punya potensi, talent, bakat dan kemampuan terpendam. Keluarkan dan asah. Sebagai pejuang, harus militan mengasah kemampuan. Teknik menyampaikan pendapat, berbicara di depan umum, multimedia, menulis, keorganisasian dan sebagainya.

2. Militan dalam mengkaji Islam

Jadikan halaqah sebagai prioritas. Selalu hadir, kecuali alasan syar'i. Antusias siapapun gurunya. Berusaha aktif menghidupkan kajian. Ikhlas menyediakan fasilitas yang dibutuhkan.

3. Sabar menghadapi ujian

Muslimah selalu sabar dan mencari pemecahan dengan serius jika memiliki kelemahan fisik, keterbatasan materi, dan gangguan-gangguan domestik yang terkadang membuat mager alias malas gerak. Tidak pede, lokasi jauh, boros ongkos, anak rewel, dan segala hambatan harus selalu dicari solusi. Meminjam istilah motivator, berubahlah terus ke arah lebih baik, meski satu persen sehari.

4. Saling tolong menang dan silaturahmi

Antar pejuang Muslimah saling menyayangi, peduli dan tolong-menolong. Tak segan memberikan bantuan, rela dimintai bantuan, empati terhadap yang membutuhkan dan tahu diri pada tempatnya. Tidak bermaksud membebani teman, sebaliknya selalu ingin meringankan.

5. Militan dalam mengatur waktu

Jatah hidup berkurang sangat cepat. Hari-hari berlalu tanpa menunggu. Buat agenda detail tentang aktivitas harian. Senin, Selasa hingga Ahad usahakan selalu full agenda. Tidak ada kata santai atau nanti-nanti saja. Manajemen waktu membuat usia kian berguna.

6. Militan dalam berkorban

Kontribusi dalam perjuangan bisa dalam bentuk pikiran, tenaga fisik atau materi. Jika bukan tipe konseptor yang tak bisa memberi saran-saran terbaik untuk jalan dakwah, silakan korbankan fisik. Jika fisik pun lemah tak berdaya karena sakit-sakitan, bagaimana jika berkorban harta? Jika miskin pula, tak bisa menyumbang harta bagaimana? Militanlah dalam ibadah, doa dan beramal saleh. Jika tak bisa juga? Mungkin karena nyawa sudah tak di badan. []kholda

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 193
---

Amerika Tak Berubah, Tetap Memusuhi Islam



Terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika memunculkan banyak reaksi di dunia termasuk umat Islam. Banyak yang melihat Amerika sekarang berbeda dengan sebelumnya, hanya dengan melihat sosok kontroversi Trump. Benarkah demikian? Untuk mengaji hal itu wartawan Media Umat Riza Aulia mewawancarai aktivis Hizbut Tahrir Eropa, Okay Pala, yang datang ke Jakarta di tengah-tengah acara Konferensi Perempuan Internasional pada Sabtu (11/5).

Bagaimana pengaruh kebijakan Trump terhadap dunia Islam?

Jangan kita merasa terjebak dengan kepribadian Trump, (yang kontroversial) tapi kita harus melihat bahwa kebijakan Amerika tidak berubah dengan bergantinya presiden, mungkin ada perubahan di dalam negeri tapi dalam kebijakan luar negeri, Amerika tetaplah bermusuhan terhadap dunia Islam, yang berbeda hanya perubahan wajah dan tingkatannya. Bush melakukan perang secara langsung, tapi akibatnya terjadi krisis ekonomi yang tidak bisa dia menangkan, tidak mendapatkan cukup dukungan. Ketika Obama terpilih, dia melakukan hal yang sama. Dia menggunakan drone untuk membunuh banyak Muslim.

Bagaimana dengan Trump sekarang?

Sekarang Trump juga melakukan hal yang sama, tapi pendekatannya berbeda. Contohnya dengan Turki, terjadi pendekatan secara halus. AS membiarkan Turki tumbuh dengan Islam liberal, tapi mereka membatasinya. Mereka khawatir, kalau tidak dibatasi dunia Islam akan menuntut khilafah. Kita lihat dunia Islam saat ini memiliki kecenderungan kepada Islam yang sangat kuat. Mereka sadar, saat mereka memerangi dan membunuh umat Islam, akan banyak lagi yang menggantikannya. Jadi taktiknya adalah dengan memberi jalan kepada Islam liberal. Trump hanya melanjutkan apa yang dilakukan Obama.

Meskipun terjadi krisis kapitalisme yang memperlemah Barat tapi kenapa tetap tidak mudah untuk mempromosikan ide-ide Islam dan ide-ide khilafah?

Apakah dunia Barat kuat maupun lemah, tetap saja sulit untuk menyebarkan ide-ide Islam karena kita melihat bahwa para penguasa di dunia Islam didukung oleh Barat. Karena itulah terjadi revolusi karena mereka adalah para diktator, jadi seruan untuk Islam akan dihentikan. Walaupun kita melakukan yang terbaik, tapi banyak yang berakhir dengan penjara. Pada semua tingkatan, seruan kita berusaha dihentikan. Memang kita bisa memanfaatkan kelemahan kapitalisme ini, tapi umat yang jumlahnya sangat besar ini memiliki banyak masalah yang berat, karenanya kita perlu banyak waktu dan tenaga dan karena itulah terdapat kevakuman ideologi di Barat dan dunia.

Lantas masalahnya apa?

Sebenarnya kerusakan kapitalisme sudah sangat nyata, lihatlah apa yang dilakukan Barat dengan demokrasi, lihat apa yang terjadi dengan Mursi. Walaupun dia menang lewat demokrasi tapi Amerika tetap saja mendukung rezim militer. Kita lihat penyakit-penyakit kerusakan akhlak dan kemaksiatan yang datang dari dunia Barat yang sekuler. Sebenarnya umat melihat hal ini tapi masalahnya adalah alternatif. Kita melakukan hal yang terbaik untuk memunculkan alternatif itu dan itulah perjuangan kita.

Jika demikian, apa yang harus kita lakukan?

Ini adalah pertanyaan yang paling umum ditanyakan di dunia Muslim. Yang paling penting adalah bahwa pertanyaan membutuhkan jawaban yang benar. Yakni perubahan ini harus terjadi dengan metode yang khas. Jika tidak, maka perubahan yang hakiki tidak terjadi, meskipun kita mengorbankan waktu, pikiran dan tenaga, namun pada hal yang salah. Dalam banyak revolusi, kita melihat darah kaum Muslim yang tumpah. Karenanya perubahan hanya akan terjadi dengan tegaknya khilafah, pemerintahan Islam yang telah digariskan oleh Allah SWT. Untuk meraihnya harus seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW, yakni perubahan yang menyeluruh (inqilabiyah) dengan cara thalabun nusrah, mendapatkan dukungan nyata dari pemilik kekuasaan (seperti militer). Dengan cara itulah perubahan yang hakiki akan terwujud. []riza aulia

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 193
---

Cinta Kepada Rasul SAW



Imam Muslim meriwayatkan dari Anas bin Malik ra., bahwa dahulu ada seorang Arab badui datang menemui RaSulullah SAW. Lelaki badui itu berkata, “Wahai Rasulullah, kapankah hari kiamat itu?" Beliau menjawab, ”Apa yang sudah kamu persiapkan untuk menyambut datangnya kiamat?" Dia menjawab, ”Kecintaan kepada Allah dan rasulNya.” Beliau pun bersabda, ”Sesungguhnya kamu akan bersama dengan yang kamu cintai.”
Anas bin Malik pun berkata, ”Maka tidaklah kami bergembira setelah datangnya Islam dengan suatu kegembiraan yang lebih besar daripada mendengar sabda Nabi SAW, “Sesungguhnya kamu akan bersama dengan orang yang kamu cintai.”
Anas berkata, ”Kalau begitu, aku mencintai Allah, Rasul-Nya, Abu Bakar, dan 'Umar. Aku berharap kelak aku bisa bersama dengan mereka -di akhirat-, walaupun aku tidak bisa beramal seperti amal-amal mereka" (HR. Muslim no.2639)

Imam Nawawi menjelaskan bahwa hadits yang agung ini menyimpan makna di antaranya adalah: [1] Keutamaan mencintai Allah dan rasul-Nya SAW. Begitu pula terkandung keutamaan mencintai orang-orang shalih yang masih hidup ataupun yang sudah meninggal. [2] Termasuk dalam bentuk kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah dan Rasul-Nya, demikian pula menghiasi diri dengan adab-adab syariah (lihat Syarh Muslim, 8/234-235).

Maka, orang yang mengaku cinta kepada Allah dan Rasulullah SAW tidak akan ada keberatan sedikitpun di dalam dirinya terhadap risalah yang dibawa Nabi SAW. Mereka akan menempatkan risalah Nabi SAW menjadi yang tertinggi, mengalahkan aturan manapun, termasuk aturan yang dibuat manusia secara berjamaah. Tidak ada di dalam dada mereka keberatan sedikitpun.

"Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (TQS. An-Nisa: 65)

Imam Asy Syaukani berkata: "…Dalam ancamaan yang keras ini ada hal yang membuat kulit bergetar dan hati merinding, karena sesungguhnya: pertama, hal ini merupakan sumpah Allah dengan nama Allah sendiri yang dikuatkan dengan harfu nafyi bahwa mereka tidak beriman. Allah meniadakan iman dari mereka, yang mana iman itu merupakan modal yang baik bagi hamba-hamba Allah, sampai mereka mengerjakan "ghayah" yaitu menjadikan rasul sebagai hakim (tahkim rasul). Lalu Allah tidak mencukupkan dengan itu saja namun Allah lalu berfirman, "Lalu mereka tidak menemukan kesempitan dalam diri mereka atas keputusanmu." Allah menggabungkan perkara lain dari tahkim, yaitu tidak adanya kesempitan (rasa berat), artinya kesempitan dalam dada.

Ia melanjutkan.... "Jadi tahkim dan tunduk saja tidak cukup, sampai dari lubuk hatinya muncul sikap ridha, tentram dan hati yang sejuk dan senang. Allah belum mencukupkan dengan ini semua, namun masih menambah lagi dengan hal lain, yaitu firman-Nya: "menerima/ menyerahkan diri” maksudnya tunduk dan menaati secara lahir dan batin. Allah belum mencukupkan dengan hal ini saja, namun masih menambah dengan menyebut masdar -tasliman. Maka tidak ada iman bagi seorang hamba sampai ia mau bertahkim kepada Rasulullah lalu ia tidak mendapati rasa berat (kesempitan) dalam hati atas keputusan nabi dan ia menyerahkan dirinya kepada hukum Allah dan syariah-Nya sepenuh penyerahan, tanpa dicampuri oleh penolakan dan menyelisihi." (Fathul Qadir, 1/611)

Imam Ibnu Katsir berkata mengenai ayat ini, “Allah Ta'ala bersumpah dengan Dzat-Nya yang Mulia dan Suci bahwasanya seseorang tidak beriman sampai ia menjadikan Rasul sebagai hakim dalam seluruh urusan. Apa yang diputuskan Rasul itulah yang haq yang wajib dikuti lahir dan batin." (Tafsiru Ibni Katsir 1/461)

Semoga kita layak disebut sebagai pengikut Nabi SAW!

Bacaan: Tabloid Media Umat edisi 193
---

Belajar Dari Abdurrahman Bin Auf



Oleh: Fahmi Shadry, Anggota DPP Lajnah Khusus Pengusaha HTI, Pebisnis di bidang Digital Communication Technology

Abdurrahman bin Auf ra. menjadi orang kedelapan bersyahadat di hadapan Rasulullah SAW. Beliau menerima kabar Islam pertama kali dari sahabat karibnya, Abu Bakar ash-Shiddiq ra. yang telah lebih dahulu memeluk lslam. Kecintaan beliau terhadap Islam melebihi kecintaannya terhadap dunia dan harta bendanya. Beliau siap mengorbankan hartanya demi untuk mempertahankan keimanannya. Hal ini ditunjukkan ketika beliau hendak berhijrah ke Madinah, kaum kafir Quraisy merampas seluruh harta dan asset bisnisnya di Mekkah. Perampasan yang sama juga beliau alami sebelumnya ketika hendak berhijrah ke negeri Habasyah.

Abdurrahman bin Auf ra. merupakan seorang pebisnis yang brillian dan piawai dalam melakukan business revival, memulai bisnis dari nol. Ketika Hijrah, oleh Rasulullah SAW beliau dipersaudarakan dengan Sa'ad bin ar-Rabi'ak-Autsari, sosok kaya raya di Madinah. Sa'ad sempat menawarkan separuh hartanya kepada Abdurrahman sebagai modal memulai bisnis. Mendengar itu Abdurrahman menjawab, "Semoga Allah memberkahi keluargamu dan hartamu. Tunjukkan saja kepadaku, di mana pasar?” Selama di Madinah, Abdurrahman merintis perdagangan keju dan minyak samin, berkat kepiawaiannya dalam waktu tidak lama laba yang diperoleh semakin meningkat dan beliau kembali menjadi pengusaha sukses dan kaya raya.

Abdurrahman bin Auf ra. telah meneguhkan hatinya berjuang di jalan Allah dan siap mengorbankan jiwa, raga dan hartanya demi kejayaan Islam. Ketika bisnisnya telah berkembang pesat, Abdurrahman dianjurkan oleh Nabi SAW, ”Wahai Abdurrahman, kamu sekarang menjadi orang yang kaya raya dan kamu akan masuk surga dengan merangkak, pinjamkanlah hartamu kepada Allah agar lancar kedua kakimu” (Al-Hakim dalam al-Mustadrak).

Anjuran Nabi beliau laksanakan dengan berinfak dalam jumlah yang luar biasa. Abu Nuaim dalam kitab Al-Hilyah jilid 1 halaman 99 dari Az Zuhri katanya: ”Di masa Rasulullah SAW pernah 'Abdurrahman bin Auf menginfakkan 4000 Dirham (setara Rp280 juta jika 1 Dirham = Rp70.000), kemudian beliau berinfak 40.000 Dirham (setara Rp2,8 milyar jika 1 Dirham: Rp70.000), kemudian beliau berinfak 40.000 Dinar (setara Rp80 Milyar jika 1 Dinar: Rp 2 juta). Kemudian beliau menanggung dan menyiapkan lima ratus (500) ekor kuda lengkap dengan peralatannya untuk fi sabilillah. Kemudian beliau memberikan seribu lima ratus kendaraan untuk fi sabilillah, semua harta yang diberikan fi sabilillah tersebut diperoleh dari hasil bisnisnya.

Kecintaan Abdurrahman kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW sungguh luar biasa. Beliau turut serta dalam berbagai peperangan bersama Rasulullah SAW. Dalam perang Uhud, Abdurrahman mendapatkan 20 luka parah pada tubuhnya. Salah satunya sampai menyebabkan dirinya pincang dan beberapa giginya rontok sehingga mengurangi kemampuan berbicara lancar.

Dalam sebuah riwayat dalam kitab ar-Riyadh an-Nadhirah fi Manaqibil 'Asyarah, ada hadits Nabi yang mengabarkan Abdurrahman bin Auf termasuk dalam 10 orang yang dijamin Surga, bersama Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin ‘Ubaidillah, Zubair bin ‘Awwam, Sa'ad bin Abi Waqqash, Said bin Zaid dan Abu 'Ubaidah bin Jarrah.

Semoga kita bisa meneladani Abdurrahman bin Auf ra., seorang Entrepreneur As-Sabiqunal Awwalun yang tunduk pada kebenaran Islam, bersedia berjuang jiwa, raga dan hartanya demi tegaknya Islam di muka bumi. Semoga Allah memudahkan segala urusan kita dan memberikan keistiqamahan untuk terus berjuang menegakkan syariah dalam naungan khilafah ‘ala minhajin Nubuwwah. Aamiiin. []

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 191
---