Page

Hijrahnya Rasul Kita




Adalah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah menjelaskan dalam buku ad-Daulah al-Islamiyah bab Baiat Aqabah,


_"Harus diingat bahwa Rasul ﷺ tidak pernah berpikir untuk hijrah dari Makkah hanya karena beliau menemukan banyak kesulitan di hadapan dakwah tanpa mampu bersabar, atau tidak berupaya untuk menanggulangi hambatan-hambatan tersebut. Sesungguhnya beliau ﷺ telah bersabar selama 10 tahun di Makkah. Selama itu beliau tidak pernah mengubah pikirannya dari dakwah. Beliau dan para pengikutnya memang mengalami berbagai teror dalam aktivitas dakwahnya, namun kejahatan-kejahatan kafir Quraisy tidak pernah bisa melemahkan dirinya sedikit pun. Perlawanan mereka tidak menyurutkan tekad beliau dalam berdakwah. Bahkan, keimanan beliau semakin bertambah pada dakwah, yang datang dari Tuhannya. Keyakinannya terhadap pertolongan Allah semakin kokoh dan kuat._


_Akan tetapi, beliau ﷺ menyimpulkan bahwa setelah mencoba berbagai langkah untuk mengubah keadaan masyarakat Makkah, ternyata mereka berpikiran dangkal, berhati bebal, dan berkubang dalam kesesatan, yang seluruhnya dapat melemahkan cita-cita dakwah dalam dirinya, sehingga melanjutkan langkah-langkah tersebut dalam dakwahnya akan menjadi upaya yang sia-sia. Karena itu, beliau melihat bahwa dakwah harus dialihkan dari kondisi masyarakat semacam ini ke kondisi masyarakat lainnya. Lalu beliau berpikir tentang kemungkinan hijrah dari Makkah. Pikiran inilah yang membawa beliau untuk hijrah ke Madinah, bukan karena beliau dan para sahabatnya sering mendapatkan siksaan."_ 


Penjelasan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani tersebut menunjukkan gambaran "seperti apa" kokohnya kesabaran Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya. Dalam kitab-kitab sirah nabawiyah kita bisa melihat betapa keras siksaan yang ditimpakan kaum Quraisy terhadap Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya. Dan dengan semua yang diterima Rasul itu, Rasulullah tidak berpikir untuk berhenti. Jangankan berhenti, berpikir untuk keluar dari Makkah pun tidak.


Namun benar, bahwa Rasulullah memang pada akhirnya, beliau keluar dari Makkah. Namun, bukan karena beratnya ujian yang beliau terima. Bukan karena beratnya siksaan kaum Quraisy yang ditimpakan kepadanya. Bisa jadi, beliau merasa bahwa ini merupakan sebuah konsekuensi dari jalan dakwah yang dilakukannya. 


Tetapi beliau berpikir untuk mengalihkan medan dakwah dari Makkah, adalah karena beliau merasa bahwa orang-orang Makkah sudah terlalu bebal untuk menerima dakwah yang bisa berakibat pada runtuhnya seluruh cita-cita dakwah Islam yang sesungguhnya.


Dakwah dengan menentang sistem adalah dakwah yang tidak mudah. Dakwah dengan menentang sistem memiliki konsekuensi mahal yang hanya bisa dibayar oleh mereka yang berani membayarnya. Karena dakwah menentang sistem, berarti dakwah dengan menantang penguasa yang menerapkan dan menjaga sistem tersebut. 


Padahal, setiap penguasa memiliki penjaga dan antek yang senantiasa kokoh berdiri menghadapi para pengemban dakwah. Dan itulah jalan dakwah yang ditempuh Rasulullah. 


Beliau telah berani menentang sistem jahiliyah, beliau menantang para penguasanya, menghinakan thaghut yang mereka muliakan. Beliau harus berhadapan dengan para penjaga sistem jahiliyah beserta antek-anteknya. Hingga kekerasan pun ditimpakan kepada beliau dan sahabatnya, namun beliau tak surut sedikit pun karenanya.


Membaca penjelasan Syaikh an-Nabhani ini, seketika pikiran melayang membayangkan bagaimana Syaikh an-Nabhani dan para pengikutnya berusaha menetapi jalan yang Rasulullah pilih. Terbayang bagaimana para pengikut Syaikh an-Nabhani yang berada di Palestina, Suriah, Mesir, Sudan, Yaman, Turki, Malaysia, hingga Eropa bahkan Indonesia. 


Mereka begitu kokoh menerima setiap konsekuensi dari jalan dakwah yang mereka pilih, sebagaimana kokohnya keimanan para sahabat Rasul yang keimanan mereka senantiasa tertancap kokoh layaknya paku berkualitas baja; semakin dipukul, justru semakin dalam tertancap, dan sama sekali tidak bengkok.


Terus terang diri ini sangat bersedih, karena merasa tak mampu menjadi seperti mereka. Diri ini hanya berharap mendapat secuil semangat agar kekokohan yang dimiliki para sahabat dan pengikut Syaikh an-Nabhani benar-benar merasuk dan melekat dalam diri ini. Ini semua adalah berkat keimanan dalam diri. 


Ya, keimanan membuahkan kesabaran. Dan kesabaran membuahkan kekuatan. Karena itulah, dalam kajian para pengikut Syaikh an-Nabhani, yang pertama kali dibahas adalah pembahasan tentang Thariqul Iman atau jalan menunju keimanan. Sebab, keimanan atau aqidah itulah yang melandasi semua yang menjadi tempat tumbuhnya pohon besar nan kokoh, yang akarnya menancap kuat di bumi, yang batangnya kokoh kuat tak mudah roboh. []


Agus Trisa

PENTINGNYA PUNYA RASA MALU




Zakariya al-Bantany







Seorang yang beriman atau Mukmin (Muslim) sejati, yang berakhlak mulia atau berkepribadian Islam. Adalah mereka yang memiliki rasa malu dan tahu malu.



Yaitu, malu bermaksiat kepada Allah. Dan malu memamerkan segala kemaksiatan dan kejahilannya. Malu mengulang-ulang kesalahan yang sama, untuk kedua kali dan kesekian kalinya.



Malu bila tidak menjalankan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan malu bila tidak ibadah, tidak menuntut ilmu, tidak beramal shalih, tidak dakwah amar ma'ruf wa nahi munkar, dan tidak jihad fisabilillah.



Serta malu bila melanggar Syariah-Nya, baik secara terang-terangan maupun secara diam-diam. Dan malu bila tidak berislam kaffah (Syariah dan Khilafah).



Juga, malu bila sampai kurang ajar dan su'ul adab serta biadab. Dalam memusuhi dan mengkriminalisasi ajaran Islam perihal Syariah dan Khilafah serta perjuangannya tersebut.



Dan juga malu-maluin saja, atau tidak tahu malu. Alias tidak tahu diri atas posisi dirinya dan hakikat jati dirinya sebagai manusia dan hamba yang diciptakan oleh Allah SWT.



Disinilah pentingnya, kita seorang yang beriman. Atau pun seorang Mukmin atau seorang Muslim itu memiliki rasa malu.



Karena, malu itu bagian dari keimanan dan bagian dari akhlak Islam. Dan bukti ketaqwaan kepada Allah SWT.



Rasulullah Saw bersabda:




إنّ لكلّ دين خلقا، وخلق الإسلام الحياء




"Setiap agama mempunyai ciri khas akhlak, dan ciri khas akhlak Islam itu rasa malu." (HR. Ibnu Majah).






 الحياء من الإيمان




"Malu sebagian dari Iman." (HR. Muslim).






الإيمان بضع و سبعون، أو بضع و ستون شعبة، فافضلها : لا إله إلا الله، و أدناها إماطة الأذى عن الطريق، و الحياء شعبة من الإيمان




"Iman itu terbagi tujuh puluh ataupun enam puluh cabang, yang paling tinggi tingkatannya adalah kalimat: " Lâ ilâha illa Allah", sedangkan yang paling rendah tingkatannya adalah menyingkirkan duri di jalan, dan Malu itu termasuk salah satu cabang iman." (HR. Muttafaqun alaih).






الـحياء و الإيمان قرنا جمـيعا، فإذا رفع أحدهما رفع الأخر




“Malu dan iman senantiasa bersama. Apabila salah satunya dicabut, maka hilanglah yang lainnya.” (HR. Al-Hakim dan Thabrani).






الـحياء من الإيمان و الإيمان فـي الـجنّة، والبذاء من الـجفاء والـجفاء فـي النّار




“Malu adalah bagian dari iman, sedang iman tempatnya di Surga, dan perkataan kotor adalah bagian dari tabiat kasar. Sedang, tabiat kasar tempatnya di Neraka." (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim).






الحياء لا يأتي إلا الخير




"Malu tidak mendatangkan sesuatu, kecuali hanya kebaikan semata". (HR. Bukhari).






إنّ ممّا أدرك النّاس من كلام النّبوّة الأولى، إذا لم تستح فاصنع ما شئت.




"Sesungguhnya salah satu perkara yang telah diketahui oleh manusia dari kalimat Kenabian terdahulu. Adalah, 'Jika engkau tidak malu, berbuatlah sesukamu'." (HR. Bukhari, Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Thabrani).






Wallahu a'lam bish shawab. []

CINTA SEJATI HAKIKI




Oleh: Zakariya al-Bantany







Sudah menjadi sunnatullah dan fitrahnya setiap manusia itu. Telah dikaruniai oleh Allah SWT berupa akal, segala potensi dan naluri (gharizah) dalam diri dan hidupnya.



Yaitu: naluri beragama/bertuhan/mensucikan sesuatu (gharizah at-tadayun); naluri eksistensi diri/mempertahankan hidup (gharizah al-baqa'); dan naluri melanjutkan keturunan/seksual/kasih sayang dan cinta (gharizah an-na'u).



Jadi, setiap orang yang normal mestilah punya naluri dan rasa cinta, ingin mencintai dan ingin dicintai. Serta ingin menyalurkan dan mempertahankan cintanya kepada seseorang atau kepada sesuatu yang dicintainya.



Hanya saja, cinta tidak boleh dibangun dan dilandasi oleh syahwat atau dorongan hawa nafsu semata. Atau pun jangan hanya dibangun dan dilandasi oleh gharizatun na'u (naluri seksual/melanjutkan keturunan) belaka.



Sehingga, hanya berujung menjadi cinta buta belaka dan cinta semu. Yang justru, dapat menghilangkan akal sehat, mematikan hati nurani dan iman di dalam dada. Serta pun tentunya, hanya menyalahi fitrah penciptaan manusia itu sendiri.



Hingga pula, akan berakhir hanya menjadi budak cinta semu semata yang merusak hidup dan jiwa raga. Yang menghalalkan segala cara dan melanggar Syariah. Dan menyimpang dari fitrahnya sebagai manusia yang berakal, hamba Allah (Abdullah) dan Khalifatullah fil Ardhi (wakil Allah di muka bumi).



Jadi, cinta sejati dan hakiki itu adalah cinta yang dibangun dan dilandasi oleh keimanan, ilmu dan ketaqwaan. Dengan fondasinya serta ikatannya, adalah akidah Islam dan ideologi Islam. Serta standar perbuatan cintanya adalah Syariah Islam. Dan standar kebahagiaan cintanya pun adalah ridha Allah.



Adapun wujud cinta sejati dan hakiki tersebut, adalah berupa ketaatan totalitas. Dan pengorbanan setulus hati, serta segenap jiwa raga kepada Allah dan Rasul-Nya.



Juga, dengan meneladani dan mentaati totalitas secara kaffah dengan segenap jiwa raga kepada Rasulullah Saw.



Begitulah, seharusnya wujud cinta sejati dan hakiki tersebut. Sebagai wujud keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman:



وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ



“Dan orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah: 165).





Bahkan, cinta sejati dan hakiki ini pun, telah dicontohkan dan dipraktekkan oleh para Sahabat Radhiyallahu anhum. Mereka sangat mencintai dan mengagungkan Allah dan Nabi Saw, lebih dari kecintaan mereka kepada diri dan anak-anak mereka.



Sebagaimana yang terdapat dalam kisah ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu, yaitu sebuah hadits dari Sahabat ‘Abdullah bin Hisyam Radhiyallahu anhu, ia berkata:



كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ آخِدٌ بِيَدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، فَقَالَ لَهُ عُمَرُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، َلأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِلاَّ مِنْ نَفْسِي. فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ وَالَّذِي نَفْسِيْ بِيَدِهِ، حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ نَفْسِكَ. فَقَالَ لَهُ عَمَرُ: فَإِنَّهُ اْلآنَ، وَاللهِ، َلأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ نَفْسِي. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اْلآنَ يَا عُمَرُ.



“Kami mengiringi Nabi Saw dan beliau menggandeng tangan Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu. Kemudian Umar berkata kepada Nabi Saw: 'Wahai Rasulullah, sungguh engkau sangat aku cintai melebihi apapun selain diriku.' Maka Nabi Saw menjawab: 'Tidak, demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, hingga aku sangat engkau cintai melebihi dirimu.' Lalu Umar berkata kepada beliau: 'Sungguh sekaranglah saatnya, demi Allah, engkau sangat aku cintai melebihi diriku.' Maka Nabi Saw bersabda: 'Sekarang (engkau benar), wahai Umar'." (HR. Al-Bukhari (no. 6632), dari Sahabat ‘Abdullah bin Hisyam Radhiyallahu anhu).





Dan diantara bukti cinta para Sahabat radhiyallahu 'anhum tersebut. Kepada Allah dan Rasul-Nya, adalah mereka cinta pula dengan seluruh ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw.



Khususnya pula, mereka cinta kepada ajaran Islam perihal Syariah dan Khilafahnya. Yang notabene adalah ajaran, sunnah dan warisan Rasulullah Saw. Sebagaimana cintanya para Sahabat radhiyallahu 'anhum tersebut, kepada Sang Nabi Saw itu sendiri.



Gambaran cinta sejati dan hakiki kepada Allah dan Rasul-Nya. Diantara salah-satunya, bisa kita lihat dan baca dari ucapan Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu. Beliau berkata:



ثَلَاثٌ لَأَنْ يَكُونَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيَّنَهُمْ لَنَا أَحَبُّ إِلَيَّ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا: الْخِلَافَةُ، وَالْكَلَالَةُ وَالرِّبَا



“Sungguh tiga perkara yang Rasulullah Saw terangkan kepada kami, lebih aku sukai daripada dunia dan seisinya, yakni: Khilafah, al-kalâlah dan riba.” (HR. Al-Hakim, Abu Dawud dan Al-Baihaqi).





Begitupula, bila kita mencintai seseorang dan sesuatu. Seperti kita mencintai dunia dan seisinya, atau pun cinta kita kepada kedua orang tua kita, isteri kita dan sebaliknya, juga mencintai anak-anak kita serta sesama Muslim, dan lain-lain.



Wajib dibangun dan dilandasi oleh cinta, iman dan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya beserta ajaran Islamnya. Dan tidak boleh cinta kita kepada dunia dan seisinya tersebut, justru melalaikan kita, dan mengalahkan cinta kita kepada Allah dan Rasul-Nya.



Dan sesungguhnya pula, seseorang itu pun akan bersama dengan sesuatu yang dicintainya. Serta pula dia akan bersama dengan orang yang dicintainya tersebut.



Dalam hadits diriwayatkan, dari Sahabat Anas bin Malik radiyallahu anhu, beliau bercerita:


“Seorang lelaki pernah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu dia bertanya, “Ya Rasulullah, kapan hari kiamat?”


Rasulullah Saw balik bertanya:



 وَمَا أَعْدَدْتَ لِلسَّاعَةِ



“Apa yang telah anda siapkan untuk hari Kiamat?”


“Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya”, Jawab lelaki tersebut.


Rasulullah Saw menanggapi:



فَإِنَّكَ مع من أحببت



“Sesungguhnya anda bersama orang yang anda cintai.” (HR. Muslim).





Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan hadits ini dalam kitab “Fathul Bari”:



“قَوْلُهُ :” (إِنَّكَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ) أَيْ: مُلْحَقٌ بِهِمْ حَتَّى تَكُونَ مِنْ زُمْرَتِهِم



“Anda bersama orang yang anda cintai, maksudnya, dibangkitkan bersama mereka, sampai anda menjadi bagian dari barisan mereka.”





Sahabat Anas bin Malik radhiyallahu anhu, pernah mengatakan ucapan yang indah:



فما فرحنا بعد الإسلام فرحا أشد من قول النبي-صلى الله عليه وسلم- “فإك مع من أحببت”, فأنا أحب الله ورسوله وأبا بكر وعمر فأرجو أن أكون معهم وإن لم أعمل بأعمالهم.



“Kami tidak pernah lebih gembira setelah masuk Islam daripada gembiranya yang disebabkan sabda Nabi Muhammad Saw: ‘Sesungguhnya engkau bersama yang engkau cintai’, maka aku mencintai Allah, Rasul-Nya, Abu Bakar dan Umar, dan berharap aku bersama mereka meskipun aku tidak beramal seperti amalan mereka.”





Cinta sejati dan hakiki, akan membawa seseorang kepada keikhlasan, ketulusan, kedekatan dan ketaatan serta pengorbanan. Sehingga memberikan dampak membekas pada dirinya. Sehingga tercermin dalam pola pikir dan pola perilakunya, atau tercermin dalam kepribadiannya di dalam kehidupan sehari-hari.



Imam Ibnu Al-Qoyyim rahimahullah, menuturkan dalam kitabnya, Zadul Ma’ad:



قَرَنَ كُلَّ صَاحِبِ عَمَلٍ بِشَكْلِهِ وَنَظِيرِهِ، فَقَرَنَ بَيْنَ الْمُتَحَابَّيْنِ فِي اللَّهِ فِي الْجَنَّةِ، وَقَرَنَ بَيْنَ الْمُتَحَابَّيْنِ فِي طَاعَةِ الشَّيْطَانِ فِي الْجَحِيمِ



“Pelaku satu perbuatan dikumpulkan bersama mereka yang sama kelakuannya, maka orang-orang yang saling mencintai karena Allah dikumpulkan bersama-sama di surga, dan orang-orang yang saling mencintai karena ketaatan kepada syaitan dikumpulkan di neraka.” [Zadul Ma’ad, 4/248].



Selain dibangkitkan bersama orang-orang beriman dan shalih serta bertaqwa. Orang-orang yang saling mencintai karena Allah juga mendapatkan keutamaan lainnya. Yaitu, Allah berikan naungan saat di hari tidak ada naungan, selain naungan-Nya. Rasulullah Saw bersabda:



  “سبعة يظلهم الله يوم لا ظل الا ظله منها”

“رجلان تحبا فى الله اجتمع عليه وتفرق عليه”~ 



“Ada tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan di hari tidak ada naungan selain naungan Allah. Di antaranya adalah, “seseorang yang saling mencintai karena Allah, bertemu dan berpisah karena Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim).





Syaikh Al-Mubarakfuri rahimahullah, memaparkan dalam Tuhfatul Ahwadzi, yang merupakan syarah kitab Sunan At-Tirmidzi.



Bahwa dari ragam riwayat itu, keseluruhannya saling melengkapi tentang bagaimana seorang Muslim yang tidak mampu melakukan banyak amal shalih seperti orang-orang shalih.



Agar tetap optimis, dan terus mempertahankan cinta kepada Allah, Rasul-Nya dan para shalihin, serta cinta terhadap ajaran Islam itu sendiri.



مَنْ أَحَبَّ قَوْمًا بِالْإِخْلَاصِ يَكُونُ مِنْ زُمْرَتِهِمْ وَإِنْ لَمْ يَعْمَلْ عَمَلَهُمْ لِثُبُوتِ التَّقَارُبِ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَرُبَّمَا تُؤَدِّي تِلْكَ الْمَحَبَّةُ إِلَى مُوَافَقَتِهِمْ



 “Jika seseorang mencintai kalangan shalih dengan ikhlas, maka sebagaimana dinyatakan Nabi, ia termasuk golongan mereka kendati amalannya tidak seperti yang dilakukan orang-orang shalih tadi, sebab keterpautan hati dengan mereka. Kiranya rasa cinta itu memotivasi agar bisa berbuat serupa.” [Muhammad bin Abdurrahman al-Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Jami’ at-Tirmidzi (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah), juz 7, hal 53].



Jadi begitulah, sesungguhnya hakikat dan wujud cinta sejati dan hakiki tersebut. Yang dibangun dan dilandasi oleh ilmu, iman dan ketaqwaan, atau pun ideologi dan akidah Islam. Akan melahirkan dan mewujudkan keselamatan dan kebahagiaan baik di dunia maupun di Akhirat.





Wallahu a'lam bish shawab. []

KITA MUSLIM YANG SATU



Oleh: Zakariya al-Bantany







Kita adalah Mukmin, Mukmin adalah Muslim, dan kita Muslim adalah umat Islam. Umat Islam itu adalah bersaudara yang satu tubuh, dan satu jiwa. Serta satu pemikiran dan satu perasaan, yang diikat oleh satu akidah pula, yaitu akidah Islam. 


Karena itulah, pada hakikatnya umat Islam yang diikat oleh akidah Islam tersebut. Apapun suku, bangsa, warna kulit dan mazhab, maupun harakah dakwahnya. Adalah sejatinya mereka bersaudara yaitu saudara seakidah, seiman dan se-Muslim. 


Umat Islam itu memiliki fitrah berupa ruh berjama'ah atau syu'ur jama'i. Yang artinya, itulah yang disebut bahwasanya umat Islam itu pada hakikatnya. Adalah satu tubuh, satu jiwa, satu pemikiran dan satu perasaan. Serta satu-kesatuan yang tak terpisahkan. 


Dan umat Islam itu, tidak akan bisa hidup sebatang kara, atau hidup dalam kelompok-kelompok kecil. Serta tidak akan bisa hidup dalam keterpecahan dan perpecahan. Sebab, secara alamiahnya dan fitrahnya, umat Islam itu saling membutuhkan antar satu sama lainnya. 


Karena itu, umat Islam dalam memenuhi nalurinya (gharizah). Baik naluri beragama, naluri mempertahankan hidupnya, maupun naluri melanjutkan keturunan. Dan dalam memenuhi kebutuhan pokoknya (hajatul 'udhawiyah). Maka, sebuah keniscayaan umat Islam itu pasti akan berinteraksi antar satu sama lainnya. 


Mereka pun, mestilah bergaul dan berkumpul bersama-sama. Serta dengan dorongan akidah Islam atau mabda' (ideologi) Islam, yang sudah mengkristal (ber-mutajasad) di dalam benak umat Islam tersebut. 


Maka, mereka pun secara alamiah akan bersatu membentuk barisan jama'ah yang lebih besar nan kokoh. Dan mereka pun akan saling menjaga, serta saling membela, dan saling melindungi. 


Bahkan, umat Islam itu pun akan saling mencintai dan saling menyayangi karena Allah. Sebagai bukti ketaatan dan kecintaan, serta loyalitas mereka kepada Allah dan Rasul-Nya, serta juga kepada Islam itu sendiri. 


Oleh karena itulah, sesungguhnya kita umat Islam adalah Muslim yang satu, yaitu satu umat dan umat yang satu. Yakni, umat Islam yang notabene adalah umatnya Nabi Muhammad Saw. 


Yang dijuluki "Khairu Ummah ukhrijat linnaas (umat yang terbaik yang dilahirkan untuk umat manusia)". Untuk menebar Islam rahmatan lil 'alamin, yang menebar rahmah dan berkah bagi seluruh penjuru alam. 


Jadi, kita Muslim yang satu itu adalah satu akidah, satu ideologi, satu agama, satu Nabi, satu kiblat, satu aturan, satu hukum, satu bendera, satu negara dan satu kepemimpinan. Bahkan, umat Islam itu pun sesungguhnya satu sejarah asal-usul jati dirinya. Allah SWT berfirman:



كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ وَأَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ ۚ وَمَا اخْتَلَفَ فِيهِ إِلَّا الَّذِينَ أُوتُوهُ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ ۖ فَهَدَى اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا لِمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِهِ ۗ وَاللَّهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ



"Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus." (QS. Al-Baqarah: 213).





Dan juga kita umat Islam, sebagai Mukmin ataupun sebagai Muslim yang satu itu. Benar-benar bagaikan satu bangunan yang kokoh, dan saling mengokohkan pula satu sama lainnya. 


Dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Saw, beliau bersabda:



«الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا» وَشَبَّكَ أَصَابِعَهُ



“Orang Mukmin yang satu dengan Mukmin yang lain bagaikan satu bangunan, satu dengan yang lainnya saling mengokohkan.’ Kemudian beliau menganyam jari-jemarinya.” (HR. Bukhari dan Muslim).





Dalam hadits An Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Saw, beliau bersabda:



«مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ، وَتَرَاحُمِهِمْ، وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى



“Orang-orang Mukmin dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga (tidak bisa tidur) dan panas (turut merasakan sakitnya)’.” (HR. Bukhari dan Muslim).





Dalam hadits Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Saw, beliau bersabda:



«إِنَّ الْمُؤْمِنَ مِنْ أَهْلِ الْإِيمَانِ بِمَنْزِلَةِ الرَّأْسِ مِنَ الْجَسَدِ يَأْلَمُ الْمُؤْمِنُ لِأَهْلِ الْإِيمَانِ كَمَا يَأْلَمُ الْجَسَدُ لِمَا فِي الرَّأْسِ



“Orang Mukmin bagi ahli iman seperti kedudukan kepala bagi tubuh, rasa sakit seorang mukmin bagi ahli iman seperti tubuh merasa sakit karena (penyakit) yang ada di kepala.” (HR. Ahmad).





عَنْ أَبِي حَمْزَةَ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – خَادِمِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ ” رَوَاهُ البُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ



Dari Abu Hamzah Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, pembantu Rasulullah Saw dari Nabi Saw bersabda: “Salah seorang di antara kalian tidaklah beriman (dengan iman sempurna) sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim).





Rasulullah Saw pun bersabda:



الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يُسْلِمُهُ، وَمَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللهُ فِي حَاجَتِهِ، وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ



“Seorang Muslim itu saudara bagi Muslim yang lainnya. Dia tidak akan mendzhaliminya dan tidak akan pula menyerahkannya kepada orang yang hendak menyakitinya. Barangsiapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memenuhi pula kebutuhannya. Barangsiapa yang melapangkan kesulitan seorang Muslim, niscaya Allah akan melapangkan pula kesulitan-kesulitannya di Hari Kiamat. Dan barangsiapa yang menutupi kesalahan seorang Muslim, niscaya Allah akan menutupi pula kesalahannya kelak di Hari Kiamat." (HR. Bukhari no. 2442, Muslim no. 2580, Ahmad no. 5646, Abu Dawud no. 4893, at-Tirmidzi no. 1426; dari Abdullah bin ‘Umar radliyallahu ‘anhuma).





عَنْ أبْنِ عُمَرَ رَضِى الله عَنْه قَالَ: قَالَ رَسُوْلَ اللهِ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ: الْمُسْلِمُ أَخُوْ الْمُسْلِمِ لا يَضْلِمُهُ ولايخذله وَلا يُسْلِمُهُ



Diriwayatkan dari Ibnu Umar, beliau berkata: "Rasulullah Saw bersabda: Seorang Muslim itu adalah saudara Muslim yang lain. Oleh sebab itu, jangan  mendzhalimi dan meremehkannya dan jangan pula menyakitinya." (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim)... 



... Harusnya, sudah sepatutnyalah kita sebagai umat Islam itu akur dan guyub. Serta wajib kembali bersatu dan istiqamah sedulur saklawase dari dunia hingga akhirat. 


Dan kita umat Islam pun, sebagai Muslim yang satu harusnya tidak boleh berpecah-belah. Seperti buih di atas lautan yang dihempas gelombang ombak lautan. Ataupun, seperti banyaknya batang lidi yang berserakan di lantai, tanpa simpul ikatan yang mengikatnya. 


Kita sebagai Muslim yang satu. Justru harusnya, seperti banyaknya batang lidi yang terikat kuat nan kokoh dalam sebuah simpul ikatan. Dan juga, seperti kawanan jutaan hingga milyaran ikan teri, yang bersatu dalam sistem formasi kawanan raksasa ikan teri di tengah kedalaman samudera. Hingga ditakuti oleh ikan-ikan predator yang hendak memangsanya. 


Oleh karena itulah, Allah SWT telah melarang kita untuk berpecah-belah dan saling bermusuhan. Allah SWT berfirman:



وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ



"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk." (QS. Ali Imran: 103).





Jadi, saudaraku umat Islam dimana pun kalian berada! Sungguh, bila kita Muslim yang satu ini kembali bersatu. Dalam ikatan simpul akidah Islam yang satu. 


Maka, niscaya kita akan kembali bersatu teguh dan menjadi kokoh. Serta bisa kembali menjelma, menjadi satu adidaya raksasa super power "Khalifatullah fil Ardhi". Seperti di masa lalu, kita pernah berjaya selama rentang 13 abad lamanya, dan menguasai 2/3 dunia, serta menjadi mercusuar dunia. 


Namun, sebaliknya bila kita Muslim yang satu ini tetap berpecah-belah dan juga tetap saling bermusuh-musuhan. Maka, kita rapuh dan kian terus terjajah, serta terhina, dan binasa. 


Seperti, kondisi kita saat ini, di berbagai belahan penjuru negeri dan juga di penjuru negeri ini. Hingga kondisi kita laksana anak ayam yang kehilangan induknya. Dan juga bagaikan kebun tanpa pagar. Serta bagaikan menu hidangan di atas meja makan, yang diperebutkan oleh orang-orang yang kelaparan dan sangat rakusnya. 


Karena itulah, bersatu kita teguh, kuat nan kokoh, dan berjaya. Namun, bila sebaliknya kita bercerai-berai dan saling bermusuh-musuhan. Maka kita rapuh, lemah dan terjajah, tertindas serta terhina dan binasa.




Wallahu a'lam bish shawab. 




#IstiqamahBersaudara

#SedulurSaklawase

#UmatIslamUmatYangSatu

#IslamSatukanUmat

ISLAM YES, KHILAFAH YES




Oleh: Zakariya al-Bantany






Setan itu ada dua jenis. Pertama, setan dari jenis golongan jin. Dan yang kedua, setan dari jenis golongan manusia.


Dan kedua setan tersebut, sama-sama suka menggoda umat manusia. Juga meniupkan keragu-raguan dan rasa was-was, dalam benak umat manusia. Serta mereka pun memerintahkan yang munkar dan mencegah yang ma'ruf.


Kedua setan itu, seringkali membolak-balikkan fakta, juga sering kali menjungkir-balikkan logika akal dan hati nurani manusia.


Mereka menjadikan yang benar menjadi salah, yang salah menjadi benar. Yang bohong dan khianat dianggap jujur, dan yang jujur dianggap bohong dan khianat.


Terus-menerus begitu selalu setiap saat yang mereka kerjakan. Untuk mengganggu, menggoda, menyesatkan dan menjerumuskan umat manusia. Dalam kesesatan, kemaksiatan, kedzaliman, kemungkaran, kekufuran, kejahatan dan dosa.


Jika kita diganggu oleh setan dari jenis golongan jin, maka terkadang cukup kita bacakan ayat kursi. Maka, si setan dari golongan jin itu pun langsung kabur terbirit-birit sambil kepanasan.


Namun, jika setan dari golongan manusia mengganggu kita. Maka, terkadang bila kita bacakan ayat kursi dia tidak juga kunjung mau kabur. Kecuali, bila kita "lempar pakai kursi", maka si setan dari jenis golongan manusia itu pun biasanya barulah kabur terbirit-birit ketakutan.


Yang paling berbahaya dari kedua jenis setan tersebut, adalah sekelompok setan liberal. Setan liberal mereka terkadang pandai beretorika ilmiah dan bernas.


Sehingga sukses banyak menyesatkan umat manusia. Dan sukses pula memurtadkan secara politis dan ideologis, banyak umat Islam menjadi pengikut setianya.


Diantara ajaran dan bisikan sesat setan liberal, adalah kata setan liberal itu: "Bahwasanya Khilafah itu bukan rukun iman dan bukan rukun Islam". Jadi kata si setan liberal: "Khilafah itu tidak wajib, jadi Islam yes, Khilafah no", katanya.


Duh kirain pinter itu setan liberal. Padahal, menuntut ilmu, dakwah dan jihad. Serta hukum qishash juga bukan rukun iman dan bukan rukun Islam lho ?!


Lantas apakah menuntut ilmu, dakwah dan jihad serta, hukum qishash juga menjadi tidak wajib. Karena, menuntut ilmu, dakwah dan jihad serta, hukum qishash itu tidak termasuk rukun iman dan rukun Islam menurut logika setan liberal tersebut ?!


Sehingga apakah juga menurut logika setan liberal itu Islam yes, menuntut ilmu no, dakwah dan jihad no serta hukum qishash juga no, begitu ?!


Padahal, jelas dalam Islam bahwasanya menuntut ilmu, dakwah dan jihad. Serta hukum qishash itu hukumnya wajib. Sekalipun bukan termasuk rukun iman, dan bukan rukun Islam.


Sebab, menuntut ilmu, dakwah dan jihad, serta hukum qishash adalah bagian dari ajaran Islam. Yang hukumnya wajib, dan dalilnya pun banyak termaktub dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Sekalipun menuntut ilmu, dakwah dan jihad, serta hukum qishash tersebut. Tidak termasuk rukun iman dan rukun Islam.


Namun, dalam Islam sesungguhnya menuntut ilmu, dakwah dan jihad, serta hukum qishash. Itu adalah tuntutan dan tuntunan dari rukun iman dan rukun Islam itu sendiri.


Jadi, Islam yes, menuntut ilmu yes, dakwah dan jihad yes. Serta hukum qishash juga yes.


Sama halnya dengan Khilafah, sekalipun Khilafah tidak termasuk rukun iman dan rukun Islam. Tapi, Khilafah adalah bagian dari ajaran Islam itu sendiri. Yang juga hukumnya wajib, dan dalilnya pun banyak, termaktub dalam Al-Quran dan As-Sunnah.


Sesungguhnya, tanpa Khilafah. Maka, akan banyak sekali hukum-hukum Islam itu -khususnya yang terkait mu'amalah (politik, ekonomi, sosial, budaya, pergaulan hidup pria-wanita,pendidikan, kesehatan, hukum, peradilan, persanksian, pertahanan dan keamanan)- tidak bisa diterapkan secara totalitas dan secara sempurna dalam segala aspek kehidupan.


Bukankah, Allah SWT telah memerintahkan kita untuk masuk Islam secara totalitas (kaffah). Dan Allah SWT pun melarang kita untuk mengikuti jejak langkah setan yang terkutuk. Sebagaimana dalam firman-Nya, yang termaktub dalam QS. Al-Baqarah: 208 ?!


Seperti contoh: QS. Al-Baqarah: 178, perihal kewajiban melakukan hukum qishash. Lantas bagaimanakah caranya menerapkan dan mengamalkan QS. Al-Baqarah: 178 tersebut, jika bukan dengan Khilafah ?!


Bahkan, sesungguhnya Khilafah pernah ada dan pernah berkuasa. Serta pernah berjaya selama rentang 13 abad lebih lamanya. Sehingga Islam bisa tersebarluas ke segala penjuru dunia. Hingga Islam pun bisa sampai ke negeri Nusantara kita ini. Sehingga kita pun menjadi mayoritas Muslim di negeri ini.


Bahkan, dalam Islam sesungguhnya Khilafah itu sendiri. Justru merupakan tuntutan dan tuntunan, dari rukun iman dan rukun Islam itu sendiri.


Sebab, Khilafah adalah ajaran Islam dan warisan Rasulullah Saw. Serta sunnah Rasulullah Saw, dan mahkota kewajiban dalam Islam.


Karena dalam Islam, Khilafah adalah metode baku (thariqah) dalam menerapkan, menjaga dan menyebarluaskan Islam. Secara totalitas dan secara sempurna, dalam segala aspek kehidupan dan ke segala penjuru dunia.


Jadi, Islam yes, Khilafah yes !!!


Demokrasi no, kapitalisme sekularisme no dan liberalisme juga no..!!!


Sosialisme komunisme juga no..!!!




Wallahu a'lam bish shawab. []





#IslamYes

#KhilafahYes

#DemokrasiNo

#KapitalismeSekulerismeNo

#LiberalismeNo

#SosialismeKomunismeNo

Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah




Pada tanggal 30 Oktober 1918, gencatan senjata Mudros menandai kekalahan dan berakhirnya partisipasi Kesultanan (Khilafah) Utsmaniyah dalam Perang Dunia I. Setelah itu, Sekutu yang menang mulai menduduki wilayah Utsmaniyah pada 12 November 1918. 


Sekutu ingin membubarkan Khilafah Utsmaniyah. Akibatnya, Perjanjian Sèvres ditandatangani pada 10 Agustus 1920, yang berusaha untuk menghapuskan Khilafah Utsmaniyah dan membagi wilayahnya. Karena perjanjian itu memberlakukan persyaratan yang berat, itu tidak diterima oleh nasionalis Turki. 


Sementara Perjanjian Sèvres masih dalam pembahasan, gerakan nasional Turki di bawah Mustafa Kemal Pasha mendirikan Majelis Nasional Agung Turki di Ankara pada April 1920 dan memisahkannya dari Pemerintah Utsmaniyah di Istanbul. 


Sementara itu, orang-orang Yunani telah memulai operasi militer di Anatolia untuk menekan Kesultanan Utsmaniyah agar menerima Perjanjian Sèvres. Namun kemenangan Turki yang dipimpin oleh Mustafa Kemal dalam Perang Kemerdekaan Turki memaksa Yunani untuk menandatangani Gencatan Senjata Mudanya pada 11 Oktober 1922. Perjanjian tersebut mengakhiri perang antara Turki, Yunani, dan Sekutu. Menurut persyaratan, orang-orang Yunani harus meninggalkan Trakia Timur. Setelah 


Mengikuti Perjanjian Mudanya, proses perdamaian sekali lagi dimulai dengan undangan Sekutu kepada pemerintah di Istanbul dan Ankara untuk mengirim perwakilan ke konferensi perdamaian. Namun Majelis Nasional Agung Ankara menanggapi dengan membubarkan Kesultanan Utsmaniyah pada 1 November 1922.


Majelis Nasional Turki kemudian memilih semua perwakilan Turki untuk konferensi, dengan demikian memecahkan masalah perwakilan. Konferensi Perdamaian Lausanne secara resmi dimulai pada 20 November. 


Perjanjian Lausanne ditandatangani pada 24 Juli 1923, dan mengakhiri pendudukan Istanbul. Pasukan terakhir Sekutu berangkat dari kota pada 04 Oktober 1923. 


Turki juga harus menyerahkan bekas provinsi Arabnya dan mengakui kepemilikan Inggris atas Siprus dan kepemilikan Italia atas Dodecanese. Perantara menyebabkan pengakuan internasional atas kedaulatan Republik Turki yang baru. Republik Turki dideklarasikan pada 29 Oktober 1923, dengan Mustafa Kemal Atatürk menjabat sebagai presiden pertamanya. [] 


_@fiveminthistory_

HIJRAH ITU LILLAH

 



Oleh: Zakariya al-Bantany







Mungkin diantara kita, dahulu ada yang hidupnya bergelimang dengan maksiat dan dosa. Serta hidup dalam kejahiliyahan.



Dan mungkin pula, banyak diantara kita masih melalaikan kewajiban ibadah kepada Allah. Dan juga tidak taat kepada Allah dan Rasul-Nya.



Namun, sebaik-baik orang yang maksiat dan berdosa serta lalai. Adalah mereka yang segera bertaubat dan segera hijrah (pindah).



Yaitu, hijrah (pindah) dari kekufuran, kejahiliyahan, maksiat dan dosa, kepada Islam secara kaffah, dan ibadah. Serta ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya semata.



Dan berupaya semaksimal mungkin terikat dengan Syariah-Nya secara kaffah, dalam segala aspek kehidupan. Juga, tiada bosannya berupaya meng-upgrade atau pun meningkatkan kualitas dan kuantitas ilmu, iman dan taqwa dalam diri.



Serta tidak akan pernah mengulangi kesalahan yang sama, untuk kedua kalinya atau pun kesekian kalinya. Sekaligus pula, totalitas meninggalkan kekufuran, ketidaktaatan, maksiat dan dosa atau pun kejahiliyahan tersebut.



Oleh karena itu, hijrah itu haruslah yang pertama dan yang paling utama. Terlebih dahulu niatnya diluruskan, wajib didasari dan dilandasi lillah (karena Allah). Bukan didasari oleh sesuatu yang lainnya atau pun kepentingan lainnya.



Meskipun, mungkin seringkali kita terasa lelah dalam menjalani proses hijrah. Dan meskipun seringkali kita pula, digoda oleh gemerlapnya dunia dan masa lalu kita.



Jadi, hijrah itu mutlak harus lillah dan konsisten lillah. Serta hanya mengharapkan ridha-Nya semata. Sekaligus juga, mengharapkan ampunan-Nya, rahmah, mahabbah dan berkah-Nya semata pula.



Allah SWT berfirman:



إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُوْلَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَةَ اللَّهِ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ.



"Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Baqarah [2]: 218).






وَمَنْ يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَجِدْ فِي الْأَرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً 



“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak.” (QS. An-Nisaa' [4]: 100).






Dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh ‘Umar bin Al-Khattab ra, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah Saw bersabda:



إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ



“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” (HR. Bukhari, No. 1 dan Muslim, No. 1907, [dan Hadits ke-1 Arba'in Nawawi: Amal Tergantung Niat]).





Wallahu a'lam bish shawab. []






#HijrahBarengBareng

#HijrahKaffah

#HijrahKeIslamKaffah