Page

Memilih sistem pemerintahan yang baik


 

Kata khilafah, alhamdulillah, sekarang sudah tidak lagi asing; semakin banyak dipahami oleh khalayak luas. Khilafah sendiri bermakna kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariah dan mengemban risalah Islam ke seluruh penjuru dunia melalui dakwah dan jihad. Para ulama menyatakan bahwa posisi penting penegakan kembali syariah Islam yang paripurna dalam koridor sistem pemerintahan yang islami, yaitu Khilafah, merupakan perkara yang telah diyakini urgensinya di dalam konstruk ajaran Islam (ma’lûm[un] min ad-dîn bi ad-dharûrah). Ibn Taimiyah dalam Majmû’ al-Fatawa juz XXVIII, menegaskan hal ini, “Amar makruf nahi mungkar hanya bisa berjalan dengan adanya sanksi syariah (‘uqûbât syar‘iyyah), karena melalui kekuasaan (Imamah/Khilafah)-lah Allah akan menghilangkan apa yang tidak bisa dilenyapkan dengan al-Quran. Menegakkan hudûd adalah wajib bagi para penguasa. Harus diketahui pula bahwa adanya kepemimpinan untuk mengurusi urusan orang merupakan kewajiban agama yang paling besar. Bahkan tanpanya, agama dan dunia ini tidak akan tegak.”
Ada berbagai upaya dari orang-orang yang yakin dengan janji Allah akan tegaknya kembali Kekhilafahan yang pernah ada dan pernah memimpin dunia.
Namun, upaya menegakan Kekhilafahan agar terealisasi bukanlah perkara yang mudah dan tidak cukup bermodalkan keyakinan semata. Ada berbagai aktivitas yang dituntut oleh syariah dan sejumlah tahapan yang wajib dilewati dalam upaya merealisasikan tegaknya Khilafah.

Diakui atau tidak, Dunia Islam saat ini dalam keadaan sangat terpuruk. Jika secara normatif umat Islam disebut Allah Swt. dalam al-Quran sebagai khayru ummah (umat terbaik) yang diturunkan di tengah-tengah umat manusia, maka secara faktual umat Islam saat ini—baik di bidang politik, ekonomi, pendidikan, sosial maupun budaya—bukanlah yang terbaik. Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kemunduran itu. Salah satunya yang paling menonjol adalah karena perpecahan. Penyebab utama dari perpecahan itu tidak lain adalah karena di tengah-tengah umat tidak ada lagi figur dan institusi pemersatu, yakni Khalifah dengan institusi Khilafahnya. Jika diibaratkan, umat Islam sekarang ini bagaikan anak ayam kehilangan induknya, tak punya rumah pula. Karena itu, umat Islam bukan saja tidak mampu menegakkan kembali ‘izz al-Islâm wal Muslimîn, namun juga tidak mampu menahan setiap gempuran jahat dari luar. Perbedaan mazhab dan kelompok/organisasi gampang sekali memecah umat. Berbagai intervensi dari luar baik fisik maupun pemikiran amat mudah masuk ke dalam tubuh umat. Ibarat penyakit, paham sekularisme, kapitalisme, liberalisme, sinkretisme, materialisme bahkan nasionalisme juga dengan mudah merasuk ke dalam tubuh umat. Tak pelak lagi, 1,4 miliar umat Islam yang hidup terpecah di 57 negara bangsa (nation-state) saat ini bagaikan buih, tak memiliki kekuatan dan identitas.

Ikatan ideologis merupakan ikatan permanen karena lahir dari keyakinan atas ide dasar yang digali dengan metode rasional (‘aqîdah ‘aqliyyah). Tentu tidak ada lagi hujjah bagi kita untuk menolak ikatan ideologi Islam. Ikatan model ini telah terbukti mampu menembus sendi-sendi bahasa, ras, warna kulit, kecintaan pada tanah air bahkan isu-isu yang provokatif. Terbukti dari tegaknya institusi Islam, Daulah Khilafah, yang meliputi dua pertiga dunia. Tidak ada ketakutan dari kalangan non-Muslim karena Islam memperlakukan mereka secara adil, tanpa ada unsur pembeda di hadapan hukum Islam. Inilah jenis perekat yang memanusiakan manusia.

Khilafah adalah sistem politik Islam untuk menerapkan syariah Islam dan menyatukan umat Islam seluruh dunia. Dalam sejarahnya yang membentang lebih dari 1400 tahun, khilafah, atau sulthan, atau imam (tiga istilah yang mengandung pengertian yang sama) dengan segala dinamikanya termasuk dengan kelemahan dan kekurangannya, secara praktis telah berhasil menyatukan umat Islam seluruh dunia dan menerapkan syariah Islam, sedemikian sehingga kerahmatan Islam yang dijanjikan benar-benar dapat diujudkan.
Dalam konteks Indonesia, ide khilafah sesungguhnya merupakan bentuk perlawanan terhadap penjajahan baru (neo-kolonialisme) yang nyata-nyata sekarang tengah mencengkeram negeri ini oleh negara besar. Hanya melalui kekuatan global, penjajahan global bisa dihadapi secara sepadan. Karena itu pula, konferensi khilafah bisa dibaca sebagai bentuk kepedulian yang amat nyata dari HTI dalam berusaha mewujudkan kemerdekaan hakiki negeri ini atas berbagai bentuk penjajahan yang ada.
Pemimpin yang tidak amanah dan sistem yang buruk, yakni sistem Kapitalisme dan Sekularisme ditambah lemahnya moralitas individu telah terbukti menjadi pangkal munculnya persoalan. Karena itu, bila kita ingin sungguh-sungguh lepas dari berbagai persoalan di atas, maka kita harus memilih sistem yang baik dan pemimpin yang amanah. Sistem yang baik hanya mungkin datang dari Dzat yang Maha Baik, itulah syariah Allah dan pemimpin yang amanah adalah yang mau tunduk pada sistem yang baik itu.
hanya dengan sistem berdasar syariah yang dipimpin oleh orang amanah saja Indonesia benar-benar bisa menjadi baik. Dengan sistem ini pula terdapat nilai transedental dalam setiap aktifitas sehari-hari yang akan membentengi setiap orang agar bekerja ikhlas, tidak terkontaminasi oleh kepentingan pribadi, golongan maupun asing. Memiliki paradigma yang jelas bahwa memimpin adalah amanah dari Allah dan syariah adalah jalan satu-satunya untuk memberikan kebaikan, mengentaskan kemiskinan, menghindari korupsi, menolak intervensi, menghapus pornografi dan pornoaksi, serta mewujudkan kerahmatan Islam bagi seluruh alam semesta, sedemikian kedzaliman dan penjajahan bisa dihapuskan di muka bumi. InsyaAllah