Page

Perempuan Berpuasa Sunah Harus Seizin Suaminya



PUASA SUNAT

Pertama: Hukum-hukum Puasa Sunat Secara Umum

Seorang Perempuan Berpuasa Seizin Suaminya

Yang dimaksud dengan berpuasa di sini adalah berpuasa sunat, sebab kalau puasa fardhu, tidak ada perbedaan lagi di antara kaum Muslim, bahwa puasa tersebut tidak memerlukan izin suami, dan sang suami tidak berhak mencegah isterinya melakukan puasa fardhu.

Jumhur ulama mengatakan: seorang isteri haram berpuasa sunat ketika suaminya ada, kecuali dengan seizinnya. Sebagian ulama Syafi’iyah menyatakan: hanya dimakruhkan saja, tidak sampai diharamkan. An-Nawawi berkata: yang benar adalah yang pertama, yakni pernyataan jumhur ulama. Dia menambahkan: walaupun sang isteri berpuasa tanpa izin suaminya, maka puasanya itu sah menurut kesepakatan para sahabat kami, walaupun puasa tersebut haram, tetapi pengharamannya ditujukan pada pengertian yang lain, bukan pada pengertian yang dikembalikan pada puasanya itu sendiri, seperti shalat di rumah hasil ghasab (hasil merampas). Ibnu Hajar al-Asqalani berkata: seandainya sang isteri berpuasa, lalu sang suami tiba di rumah ketika sang isteri masih berpuasa, maka sang suami berhak menyuruh isterinya membatalkan puasanya tanpa dimakruhkan lagi. Semakna dengan pengertian “tidak ada” adalah ketika sang suami sakit, di mana dia tidak mampu lagi berjima’. Imam Malik berkata tentang seorang isteri yang berpuasa tanpa meminta izin pada suaminya: perkara tersebut diperselisihkan, dari kalangan lelaki ada yang memiliki kebutuhan pada keluarganya (yakni keinginan menjima' isterinya) dan sang isteri tahu akan hal itu, maka dalam kondisi seperti itu aku tidak suka jika sang isteri berpuasa kecuali dengan meminta izin suaminya terlebih dahulu. Di antara kaum perempuan ada yang tahu bahwa sang suami sudah tidak ada keinginan lagi (untuk menjima'nya), maka sang isteri tidak mengapa berpuasa tanpa izin suaminya.

Nash-nash berikut terkait dengan objek pembahasan kita ini:

1. Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

“Seorang perempuan tidak halal berpuasa sedangkan suaminya ada, kecuali dengan izinnya. Dan dia (perempuan itu) tidak boleh mengizinkan seseorang ke rumah suaminya kecuali dengan izin (suami)-nya.” (HR. Bukhari [5195], an-Nasai dan Tirmidzi)

Ada juga redaksi lain dalam riwayat Bukhari [5192] dan Muslim:

“Seorang perempuan tidak boleh berpuasa sedangkan suaminya ada, kecuali dengan izinnya.”

Ibnu Majah [1761], Tirmidzi, Ibnu Hibban, Ahmad, dan Ibnu Khuzaimah meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:

“Seorang perempuan tidak boleh berpuasa sedangkan suaminya ada pada satu hari dari selain bulan Ramadhan, kecuali dengan izin (suami)-nya.”

Ad-Darimi [1721] dan Abdurrazaq meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:

“Seorang wanita tidak boleh berpuasa sunat, yakni pada selain bulan Ramadhan, sedangkan suaminya ada, kecuali dengan izin (suami)-nya.”

2. Dari Abu Said al-Khudri ra., ia berkata:

“Rasulullah Saw. melarang kaum wanita berpuasa, kecuali dengan izin para suaminya.” (HR. Ibnu Majah [1762] dengan sanad yang shahih)

Dari Abu Said al-Khudri ra., ia berkata:

“Rasulullah Saw. bersabda pada hari itu: “Seorang perempuan tidak boleh berpuasa, kecuali dengan izin suaminya.” (HR. Abu Dawud [2459] dalam sebuah hadits yang cukup panjang)

Hadits ini diriwayatkan juga oleh Ibnu Hibban, Ahmad, at-Thahawi, dan al-Hakim. Al-Hakim menshahihkan hadits ini, dan disepakati oleh ad-Dzahabi, sebagaimana pula telah dishahihkan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani.

Seandainya kita tidak memiliki selain satu riwayat yang pertama saja dalam poin pertama dan ini merupakan riwayat yang shahih, niscaya riwayat ini saja sudah cukup bagi kita, di mana di dalamnya disebutkan:

“Seorang perempuan tidak halal berpuasa sedangkan suaminya ada, kecuali dengan izinnya. Dan dia (perempuan itu) tidak boleh mengizinkan seseorang ke rumah suaminya kecuali dengan izin (suami)-nya.”

Kata laa yahillu (tidak halal) artinya adalah haram, dan kalimat “sedangkan suaminya ada, kecuali dengan izinnya” datang dalam bentuk umum tentang izin suami, sehingga tidak bisa dikatakan bahwa izin itu diperlukan darinya ketika sang suami membutuhkan (masih berkeinginan menjima') keluarganya. Kalau demikian, maka ini adalah takhsis tanpa pentakhsis, dan hal seperti ini tidak boleh.
Memang benar terdapat takhsis dengan kalimat: selain bulan Ramadhan, yakni puasa sunat:

“Sedangkan suaminya ada pada satu hari dari selain bulan Ramadhan, kecuali dengan izin (suami)-nya.”

Seorang wanita tidak boleh berpuasa sunat, yakni pada selain bulan Ramadhan, sedangkan suaminya ada, kecuali dengan izin (suami)-nya.

Sehingga kami katakan bahwa seorang wanita itu tidak halal berpuasa sunat, kecuali dengan izin suami. Namun, terkait puasa fardhu, maka dia tidak memerlukan izin suaminya.

(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Sumber: Tuntunan Puasa Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah