Page

Wudhu tidak batal karena ragu



Masalah (Perkara) Ketiga

Barangsiapa yang yakin telah bersuci, maksudnya berwudhu, lalu dia ragu apakah wudhunya itu batal atau tidak, maka dia tetap berada dalam kesuciannya.
Wudhunya tersebut tetap berlaku (tidak batal). Hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., bahwasanya dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Ketika salah seorang dari kalian mendapati sesuatu dalam perutnya, lalu dia ragu apakah sesuatu itu keluar dari perutnya atau tidak, maka hendaknya dia tidak keluar dari masjid hingga dia mendengar suara atau mencium baunya.” (HR. Muslim, Tirmidzi, dan Abu Dawud)

Juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abbad bin Tamim dari pamannya:

“Seorang laki-laki diadukan kepada Nabi Saw. karena diduga menemukan sesuatu dalam shalatnya, maka Nabi Saw. bersabda: “Janganlah dia berhenti dan pergi meninggalkan shalatnya hingga dia mendengar suara atau mencium bau.” (HR. Muslim, Bukhari, Tirmidzi, Ahmad, Abu Dawud dan an-Nasai)

Lafadz: hingga mendengar suara atau mencium bau, tidak mengandung arti dua hal tersebut harus terjadi secara akurat untuk meyakinkan benar-benar telah keluar, karena kadangkala seseorang merasa keluar angin tanpa mendengar suara atau mencium baunya, maka dalam kondisi seperti itu wudhunya juga menjadi batal.
Dua hadits ini mengandung arti keraguan dan rasa was-was harus dibuang, seraya melandaskan diri pada keyakinan.
Walaupun kedua hadits ini menyebutkan keluar angin itu sebagai pembatal wudhu, semata-mata sebagai contoh saja, sehingga seluruh faktor pembatal wudhu dicakup juga oleh kedua hadits tersebut, di mana jika seseorang merasa ragu apakah dia telah kencing, apakah dia telah buang air besar, dan apakah dia menyentuh kemaluannya, maka wudhunya tetap berlaku (tidak batal).

Kata masjid dalam hadits yang pertama tidak menunjukkan sebagai taqyid (pembatasan), begitu pula kata as-shalat dalam hadits kedua, sehingga wudhu itu tetap ada dan tidak bisa dibatalkan oleh rasa ragu, baik rasa ragu itu muncul ketika shalat atau di luar shalat, baik rasa ragu itu muncul ketika dia di dalam masjid atau di luar masjid.
Inilah pendapat mayoritas ulama salaf dan khalaf, kecuali Abdurrazaq, yang meriwayatkan dari al-Hasan dan Ibrahim an-Nakhafi. Keduanya menyatakan bahwa seseorang harus berwudhu ketika keraguan muncul pada dirinya di luar shalat, dan tidak harus berwudhu ketika keraguan itu muncul ketika dia sedang shalat. Pendapat seperti ini jelas kelemahannya.

Adapun ketika seseorang yakin memiliki hadats, yakni tidak berwudhu, lalu dia merasa ragu apakah telah berwudhu ataukah belum berwudhu, maka saat itu dia harus berwudhu. Ini pun menjadi pendapat seluruh kaum Muslim. Pendapat ini dan pendapat sebelumnya itu termasuk dalam kaidah syara yang disebut dengan kaidah al-istishhab, yakni hukum itu berlaku sesuai kondisi awalnya yang asli, tidak bisa hilang karena keraguan.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan dalam kitabnya yang membahas ushul fiqh: “Yang dimaksud istishhab itu adalah istishhab al-haal, yang didefinisikan oleh para ulama ushul sebagai menetapkan adanya suatu perkara di waktu kedua berdasarkan keberadaannya di waktu pertama. Artinya, adanya sesuatu di waktu sekarang didasarkan pada keberadaan sesuatu itu di waktu lampau, sehingga ketika setiap perkara yang terbukti adanya lalu muncul keraguan akan ketidakadaannya, maka menurut prinsipnya, perkara tersebut masih tetap ada. Dan perkara yang diketahui tidak ada, kemudian muncul keraguan akan adanya, maka pada prinsipnya perkara tersebut tetap tidak ada.”
Ibnu al-Mubarak mengatakan: “Jika seseorang merasa ragu berhadats maka dia tidak wajib berwudhu hingga merasa yakin dengan keyakinan orang yang bisa bersumpah. Namun jika yakin berhadats, lalu merasa ragu sudah bersuci ataukah belum, maka saat itu dia harus berwudhu berdasarkan ijma kaum Muslim.”
Saya sendiri (penulis-pen.) tidak sependapat bila ijma kaum Muslim itu bisa menjadi dalil, tetapi penyebutan ijma kaum Muslim dalam beberapa persoalan bisa memberikan kekuatan tersendiri dan menjadikan kita lebih yakin akan hal ini.


Masalah (Perkara) Keempat

Sebagian besar ulama berpendapat bahwa kondisi hilang akal karena gila, pingsan, mabuk, atau karena obat, akan membatalkan wudhu dengan alasan dianalogikan dengan kondisi tidur. Mereka menyatakan bahwa kehilangan kesadaran karena beberapa sebab tadi ini lebih serius dibandingkan kehilangan kesadaran karena tidur. Saya tidak sependapat dengan pendapat ini, karena qiyas (analogi) dalam perkara-perkara ibadah itu tidak boleh dilakukan kecuali jika ada ‘illat yang disebutkan dalam nash.
Dan faktanya tidak ada ‘illat batalnya wudhu karena tidur, sehingga tidak bisa dianalogikan. Mereka yang melakukan analogi telah menetapkan bahwa tidur bisa membatalkan wudhu karena ‘illat keluarnya angin, mereka mengatakan bahwa orang gila, orang yang pingsan, orang yang mabuk, diduga kuat pasti mengeluarkan angin, persis dengan tidur. Saya tidak akan berpanjang kata dalam poin ini.
Saya cukup mengatakan bahwa saya belum menemukan satu nash pun (yang dhaif sekalipun) yang menetapkan bahwa pingsan dan hilang akal itu membatalkan wudhu. Ini persoalan ibadah, dan ibadah itu dilaksanakan apa adanya yang disampaikan oleh nash, kita tidak bisa menambah dan menguranginya.

Sumber: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)