Page

Dalil Sunah Mencukur Bulu Rambut Kemaluan



Mencukur Bulu Kemaluan

Disebut juga dengan istilah istihdad. Mencukur bulu kemaluan itu hukumnya sunah berdasarkan hadits Aisyah yang telah kami sebutkan di atas:

“Sepuluh perkara yang termasuk fitrah: ...mencukur bulu kemaluan.” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan an-Nasai)

Dan berdasarkan hadits Abu Hurairah yang juga telah kami sebutkan di atas:

“Fitrah itu ada lima: ...mencukur bulu kemaluan.” (HR. Muslim, Bukhari dan Ahmad)

Dan juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan seorang lelaki dari Bani Ghifar, bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda:

“Barangsiapa yang tidak mencukur bulu kemaluannya, tidak memotong kukunya, dan tidak memendekkan kumisnya, maka dia bukan dari golongan kami.” (HR. Ahmad dengan sanad yang dihasankan oleh as-Suyuthi)

((pembahasan hadits ini lihat: memotong kumis))

Lelaki yang tidak dikenal itu adalah seorang sahabat, ketika seorang sahabat tidak diketahui namanya dalam rangkaian sebuah sanad maka tidak menjadi masalah, karena mereka semua memiliki sifat adil.

Mencukur bulu kemaluan, mencabutinya, mengolesinya dengan nuurah atau arsenik, semua ini boleh dilakukan selama bisa mewujudkan tujuannya, yakni menghilangkan bulu dan membersihkan tempat tumbuhnya bulu.
Ahmad bin Hanbal ditanya:
Engkau berpendapat seorang lelaki hendaknya mencukur bulu kemaluannya dengan gunting walaupun dia belum menyelidikinya? Ahmad menjawab: Aku harap itu sudah cukup baginya, insya Allah. Ahmad ditanya lagi: Wahai Abu Abdillah, bagaimana pendapatmu tentang seorang lelaki jika dia mencabut bulu kemaluannya? Ahmad menjawab: Apakah ada orang yang mampu melakukannya?
Ini benar, sesungguhnya mencabut bulu kemaluan mengakibatkan rasa sakit yang tidak mampu ditahan oleh kebanyakan orang.
Yang menjadi patokan adalah menghilangkan bulu tersebut, sehingga sesuatu yang bisa menghilangkan bulu tersebut boleh digunakan, dan itu dipandang sudah cukup melaksanakan perkara yang disunahkan. Kita tidak perlu beristidlal (mengambil kesimpulan) dari hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah dan selainnya, bahwa Rasulullah Saw. suka mengoleskan nuurah. Hal ini karena hadits tersebut adalah hadits dhaif sehingga tidak layak dijadikan dalil.

Sumber: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)