Page

Turki Terseok Demokrasi, Khilafah Solusi


Bila menghitung mundur, 93 tahun yang lalu, tepatnya 3 Maret 1924, Khilafah Utsmaniyah dihancurkan oleh Mustafa Kamal dengan dukungan Inggris. Di balik itu, berderet orang-orang Yahudi yang jauh-jauh hari sebelumnya menginginkan tanah Palestina untuk mendirikan sebuah negara Israel. Turki yang semula menjadi pusat peradaban, sejak saat itu berubah haluan. Di bawah penguasa Mustafa Kamal, negara berusaha melepaskan diri dari simbol-simbol Islam sama sekali. Bahasa Arab yang semula menjadi bahasa negara diubah ke bahasa Turki. Bahkan pada awal berdirinya negara republik ini, kumandang adzan pun harus menggunakan bahasa Turki.

Islam yang semula menjadi sumber hukum dicabut. Proses sekulerisasi berlangsung sangat masif dengan dukungan militer. Walhasil, kediktatoran militer inilah yang menjadi benteng bagi eksistensi negara sekuler Turki.

Negara itu kemudian ngemis-ngemis ke Eropa agar dijadikan bagian dari Uni Eropa setelah proses liberalisasi dan sekulerisasi terjadi di semua lini. Identitas Turki sebagai pusat khilafah yang dulunya sangat perkasa dan ditakuti Barat, berubah menjadi negara sekuler yang tak berdaya di mata Eropa.

Selama 93 tahun menjadi negara sekuler, negara itu bukannya bertambah baik. Justru, kondisi sebaliknya terjadi.

Bahkan The Telegraph, edisi 3 Maret 2015 lalu mengutip hasil analisis ekonom dari Universitas Columbia Arthur Melvin Oku yang menempatkan Turki di urutan ke-9 dari 15 negara paling sengsara di dunia.

Secara politik, Turki sangat tergantung kepada Barat. Kepentingan Amerika dan Inggris saling berebut memengaruhi kebijakan politik negara itu. Berkuasanya sipil dengan terpilihnya RecepTayyib Erdogan sebagai presiden setidaknya menandai masuknya kekuatan Amerika ke sana. Namun kedudukan parlemen sangat kuat karena sistem yang dianut adalah demokrasi parlementer. Dengan sistem ini, presiden tak bisa berbuat banyak karena peran parlemen yang dominan.

Tak heran jika Erdogan, mengusulkan agar sistem politik Turki diubah dari sistem demokrasi parlementer ke sistem demokrasi presidensiil. Menurut Erdogan, sistem pemerintahan saat ini tidak cocok untuk Turki. Sistem baru (presidensiil) akan memungkinkan pengambilan keputusan secara cepat yang saat ini diperlukan untuk mempercepat pembangunan.

"Ketika saya bicara soal konstitusi baru atau sebuah sistem presidensiil, saya memimpikan Turki Raya, tahun 2023, tahun 2071. Kita tidak akan menyaksikan masa-masa itu, tetapi saya memimpikannya, agar anak-cucu kita merasakannya,” kata Erdogan.

Tawaran Solusi

Di tengah kegagalan sistem politik Turki, Hizbut Tahrir Turki menawarkan gagasan bagi pusat khilafah terakhir tersebut. Bersamaan dengan peringatan runtuhnya khilafah, 3 Maret, Hizbut Tahrir Turki menyelenggarakan Konferensi Khilafah.

Temanya pun cukup menantang: 'Model Demokrasi Presidensiil ataukan Khilafah Rasyidah'. Konferensi ini merupakan bagian dari kampanye global 'Mengembalikan Khilafah'. Konferensi itu sendiri berlangsung di Istambul atau dulu pernah disebut Uskudar. Serangkaian acara tambahan berlangsung hingga 10 Maret 2015.

Konferensi tersebut menyedot perhatian di tengah perbincangan hangat tentang sistem apa yang tepat bagi Turki setelah sistem demokrasi parlementer dianggap tidak tepat. Tak mengherankan, media massa tertarik untuk meliputnya.

Para pembicara konferensi ini pun tak hanya dari dalam negeri Turki tapi juga dari negara lain. Wajar bila hadirin memenuhi ruangan. Ratusan lainnya harus rela berada di luar ruang konferensi dan mengikuti jalannya konferensi melalui layar monitor.

Dimulai dengan yang paling indah dari kata-kata, Al-Qur’anul Karim, konferensi dilanjutkan dengan mendengarkan pesan dari Amir Hizbut Tahrir, ulama terkemuka Syeikh Atha bin Khalil Abu aI-Rashtah. Ia mengirim sambutan khusus untuk konferensi ini.

Setelah menyoroti pentingnya khilafah bagi umat, Syeikh Atha menegaskan bahwa khilafah yang benar harus dipisahkan dari yang palsu. Sistem khilafah bukanlah imperium, kerajaan, republik, maupun demokrasi.

Konferensi ini diisi oleh para pembicara antara lain Mahmud Kar dari Turki, Syarif Zayed dari Mesir, Ahmad al-Qashash dari Lebanon, juga Islam Abu Halil dari Uzbekistan. Secara bergantian mereka menyampaikan pentingnya kembali kepada sistem khilafah. Umat Islam tak akan bisa bangkit tanpa institusi aslinya yakni khilafah. Selain itu ada juga pembicara yang berbicara melalui telekonferensi yakni Iyad Qunaybi dari Yordania yang tidak bisa datang karena dicekal oleh pemerintahnya.

Hizbut Tahrir Turki dalam siaran persnya menegaskan tekadnya dengan slogan: “bendera akan muncul dari mana ia telah jatuh", dan ”mengubah mata kita ke Topkapi, menghitung hari sampai pengumuman Khilafah Rasyidah."

Bacaan: Tabloid Media Umat edisi 147, Maret-April 2015
---