Page

Peradaban Unik yang Dirindukan



Oleh: Farhan Akbar Muttaqi, Penulis Buku Parodi Kapitalisme

Tepat awal Maret I924 yang lalu, peradaban Islam dibawah naungan khilafah secara de jure runtuh melalui konspirasi panjang Musthafa Kemal Atatturk yang didukung Inggris dan koloninya. Sejak itu, terjadi perubahan yang sangat mencolok di tengah kehidupan kaum Muslimin. Fungsi penerapan, penjagaan, dan penyebaran Islam tak lagi bisa dimainkan pemimpin Muslim manapun. Kaum Muslimin hidup dalam kondisi yang memprihatinkan di bawah hegemoni peradaban kapitalisme.

Namun, belum seabad usia keruntuhannya, suara-suara yang mengusung kembali penegakannya bergema di mana-mana dari Timur ke Barat, utara ke selatan ide khilafah ramai diperbincangkan. Semua menyiratkan bahwa bukan hanya kesadaran akan pentingnya khilafah yang muncul. Lebih dari itu, ada semacam kerinduan untuk dapat segera hidup di bawah naungannya. Kehidupan yang gemilang sebagaimana masa-masa yang termaktub dalam lintasan sejarah. Persis ketika khalifah-khalifah sekaliber Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan Umar bin Abdul Aziz menjadi pemimpin.

Bila ditelisik, sesungguhnya fenomena kerinduan ini adalah sesuatu yang unik dalam lintasan sejarah. Sebelumnya, tak ada peradaban ‘mapan’ yang benar-benar dirindukan seperti peradaban IsIam. Umumnya, peradaban yang sudah runtuh, maka nafas perjuangannya berakhir saat itu juga. Tak ada umat manusia yang merindukan kembali penegakannya sebagaimana kerinduan umat Islam terhadap peradaban Islam. Kalau toh ada, suara-suara kerinduan itu relatif kecil. Itupun, dalam bentuk kerinduan yang tak utuh. Hanya sebagian aspek saja yang dirindukan, tidak semuanya. Berbeda dengan para perindu peradaban Islam yang memiliki kerinduan terhadap peradaban Islam secara utuh.

Lantas, mengapa bisa demikian? Tentu Saja, pertanyaan ini dapat memicu jawaban yang beragam. Namun, setidaknya, ada dua alasan yang bisa dikemukakan.

Pertama, kaum Muslimin memiliki alasan yang kuat terhadap rasa rindunya. Mengingat tegaknya khilafah adalah satu-satunya jaminan yang akan mengantarkan kaum Muslimin secara kolektif berada dalam kondisi ketakwaan yang kaffah dan kehidupan yang penuh berkah. Dan sebaliknya, bagi seorang Muslim yang memahami agamanya, ketiadaan peradaban Islam membuat mereka merasa hidup dalam lingkaran setan dan kemaksiatan.

Kedua, kaum Muslimin dapat begitu jelas membuktikan bahwa peradaban Islam memang benar-benar mampu menciptakan kehidupan yang benar-benar baik baginya. Secara gamblang, tumpukan buku sejarah memuat hal ini; segala aspek kehidupan, selama belasan abad lamanya, tegaknya peradaban Islam telah menciptakan tatanan hidup yang tak ada bandingannya sekalipun tak dapat menjadi sumber hukum, pemahaman sejarah yang didapat oleh seorang Muslim dapat memicu kerinduan yang besar terhadap kebangkitan peradaban Islam yang runtuh sebelumnya.

Hal ini sekaligus menjawab pertanyaan lainnya, yakni mengenai alasan peradaban lain yang tak dirindukan sebagaimana peradaban Islam. Hal itu karena peradaban tersebut tak memiliki bukti dan gambaran yang membuatnya layak untuk dirindukan. Riwayat mengenai penegakannya penuh dengan cuplikan kehidupan yang buruk dan mundur. Sekalipun tampak ada ‘positif’-nya, itu hanya sedikit saja. Tak sebanding dengan efek merusak yang ditimbulkannya. Apakah logis bila ada manusia yang merindukan kehidupan yang buruk?

Hanya saja, terkadang kaum Muslimin dibuat larut oleh ungkapan ungkapan musuhnya yang menyatakan bahwa kehidupan yang benar-benar mampu membawa kebaikan setara massal bagi umat manusia hanyalah utopia. Padahal, itu salah besar. Karena peradaban Islam, telah membuktikan bahwa kehidupan yang dianggap utopia itu bisa diwujudkan. Maka 'PR'-nya kini, bagaimana kemudian pengemban dakwah secara terus-menerus membangun opini mengenai penting dan mulianya manusia jika hidup di bawah peradaban Islam. []

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 147, Maret-April 2015
---