Page

Sanksi Tidak Tegas, Masyarakat Permisif, Kejahatan Seksual Terulang

 

Aksi kejahatan seksual di Indonesia terus berulang. Setelah muncul kasus pemerkosaan dan pembunuhan terhadap YY di Bengkulu, kasus-kasus lain muncul ke permukaan. Ancaman hukuman kebiri pun tak membuat para penjahat seksual tahu diri.

Di Semarang, seorang gadis berusia 12 tahun berinisial SR, dilaporkan menjadi korban pemerkosaan 21 pria selama sepekan di Kota Semarang. Dari informasi yang dihimpun, SR pertama kali diperkosa pada 7 Mei 2016 di sebuah gubuk persawahan sekira pukul 00.00 WIB oleh tujuh orang pemuda.

Lalu perkosaan yang kedua pada 12 Mei 2016, korban kembali diperkosa oleh 12 pemuda di dekat Depo Pasir. Dan yang ketiga pada 14 Mei, SR diperkosa oleh dua pemuda di tempat rumah pembuatan batu bata, dan SR diperkosa dalam pengaruh minuman pil koplo.

Akan tetapi yang mengejutkan adalah pernyataan dari Kapolrestabes Semarang Kombes Pol Burhanudin yang mengungkapkan bila pada kasus ini tidak ada paksaan antara korban dengan pelaku.

Burhanuddin mengungkapkan bahwa korban termakan bujuk rayu pelaku untuk melakukan tindak asusila. ”Korban tidak dipaksa, ini karena pergaulan. Korban termakan bujuk rayu pelaku. Ini pelanggaran undang-undang perlindungan anak, persetubuhan anak di bawah umur," kata Burhanudin.

Menanggapi fakta-fakta di atas, pemerhati sosial dan keluarga Eri Taufiq Abdulkariim menilai, bahwa kasus tersebut salah satu penyebabnya adalah kondisi lingkungan yang sudah sangat permisif (hilangnya pengaruh kontrol sosial) di kehidupan masyarakat.

”Ditambah dengan maraknya beredar VCD porno, tayangan pornografi dan pornoaksi secara terbuka, serta peredaran zat adiktif (miras, pil koplo dll), menjadikan gaya pergaulan bebas yang dilanjutkan dengan perzinaan menjadi biasa. Perkosaan kian marak bahkan tak jarang dilakukan beramai-ramai," ungkap Eri.

Menurutnya, ini terjadi karena tidak adanya sanksi tegas bagi para pelaku, menjadikan pemerkosaaan dan perzinaan semakin masif dilakukan oleh berbagai kalangan, dari berbagai tingkat usia, strata sosial, dan jenjang pendidikan.

Eri yang juga pimpinan Majelis Inspiring Qur'an Bandung ini mengungkapkan bahwa kondisi internal juga menjadi pengaruh besar kenapa anak-anak seperti SR bisa menjadi korban.

"Tingkat pendidikan korban yang masih rendah, lalu bisa juga karena kurangnya pendampingan dan pengawasan orangtua, dan pemahaman agama yang sangat minim, faktor internal juga berpengaruh,” ungkapnya.

Memang dari fakta yang didapatkan oleh Media Umat bahwa korban SR ini adalah anak dari orang tua yang broken home. Ayah dan ibu bercerai. Akhirnya korban ikut dengan ibunya, sehingga minim pengawasan dan pendampingan orangtua dalam tata pergaulan. Ditambah lagi kondisi keluarga yang miskin sehingga korban mudah diiming-imingi. Korban pun diduga belum mengerti atas kejadian yang menimpanya secara berulang tersebut.

Dari kasus-kasus yang sudah terjadi, Eri mengutarakan dua solusi yang tepat untuk menyelesaikan masalah yang menimpa SR tersebut, berupa solusi jangka pendek dan jangka panjang.

”Kalau solusi jangka pendek yaitu dengan mengintensifkan kembali kegiatan agama di setiap lapisan, seperti keluarga, sekolah dan lingkungan tempat tinggal berbasis masjid dan menghidupkan kembali kontrol sosial, pelarangan pornograti, pornoaksi, dan zat-zat aditif, dan juga sanksi tegas untuk perzinaan, pemerkosaan, dan untuk setiap aturan yang dilanggar,” ungkapnya.

Eri juga mengatakan untuk solusi jangka panjang adalah peningkatan ketakwaan individu dan masyarakat, menegakkan kembali aktivitas amar ma'ruf nahi munkar dan juga penerapan hukum lslam. ”Penerapan hukum Islam dalam negara khilafah akan memberikan penjagaan kepada masyarakat, menjamin ketentraman dan kebahagiaan,” tutupnya. []

Bacaan: Tabloid Media Umat edisi 176, Juni-Juli 2016
---