Page

Perombakan Kabinet Tidak Akan Ada Perubahan Berarti



Belum genap setahun, rezim Jokowi-JK telah merombak kabinetnya. Presiden Jokowi beralasan, reshuffle Kabinet Kerja dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan dalam perikehidupan. Hal itu diungkapkan orang nomor satu di Indonesia tersebut dalam pidato kenegaraan pada sidang bersama DPR-DPD RI, Jumat (14/8/2015).

Menurutnya, perombakan kabinet dilakukan dengan dasar yang kuat. Yaitu agar janji-janjinya untuk menyejahterakan rakyat Indonesia bisa tercapai.

"Para putra terbaik bangsa harus mau berkeringat/membanting tulang membangun bangsa dan negara. Bagi saya, perombakan Kabinet Kerja adalah salah satu jembatan terbaik untuk memenuhi janji saya pada rakyat, yaitu meningkatkan kesejahteraan dalam perikehidupan mereka," katanya.

Perubahan Tak Berarti

Namun, Ketua DPP Hizbut Tahrir lndonesia (HTI) Rokhmat S. Labib menilai perombakan kabinet tersebut tidak akan membawa perubahan yang berarti. ”Kalau sekadar perubahan, reshuffle kabinet yang dilakukan Presiden Jokowi bisa saja terjadi tetapi kalau perubahan yang berarti, jelas tidak mungkin!” tegasnya.

Menurut Rokhmat, perubahan yang berarti adalah perubahan yang bisa menyelamatkan negara termasuk dari keterpurukan ekonomi. Hal itu hanya bisa terjadi bila sistem ekonominya pun dirombak total. Oleh karena itu, sekadar perombakan kabinet saja jelas tidak menyelesaikan akar masalah.

”Kalau orangnya tidak cakap sehingga harus diganti, itu iya, tetapi harus diingat masalah utamanya yakni sistem ekonomi neoliberal yang diterapkan saat ini yang menjadi penyebab masalah yang terus berulang,” ungkapnya.

Rokhmat mengingatkan sistem ekonomi neoliberal ini sangat berbahaya karena meminggirkan peran negara dalam sektor-sektor vital dan hajat hidup orang banyak.

”Mau ganti menteri apa kalau misalnya sekarang, pengelolaan tambang-tambang itu -kekayaan alam yang sangat melimpah- bila tetap diserahkan kepada swasta? Malah UU-nya melegalkan itu semua dikuasai swasta bahkan kafir penjajah! Negara hanya mendapat porsi yang sangat kecil,” kata Rokhmat.

Ganti menteri seperti apapun bila tetap menggunakan neoliberalisme maka di sektor keuangan pun uang tetap berbasis kertas, pasar saham dan riba tetap jadi tulang punggung. Padahal, menurutnya, itu semua bertentangan 180 derajat dengan sistem ekonomi Islam dan jelas-jelas menjadi biang masalah krisis moneter yang selama ini berulang terjadi pada negara-negara yang menerapkannya, tak terkecuali Amerika dan Indonesia.

”Jadi kalau sekadar ganti menteri bahkan ganti presiden sekalipun namun sistemnya tidak diubah, ya tetap saja krisis ekonomi akan berulang terjadi," prediksinya.

Maka, lanjut Rokhmat, sejatinya negeri ini membutuhkan sistem 'baru yakni sistem ekonomi Islam. Dan memang sistem ekonomi llslam ini tidak bisa

berdiri Sendiri tetapi terikat dengan sistem politik Islam, yang semuanya hanya bisa ditegakkan dalam institusi negara khilafah. Pada Selasa, 12 Agustus 2015, Jokowi melantik 5 menteri dan 1 pejabat setingkat menteri di Istana Negara. Pelantikan itu dihadiri seluruh menteri Kabinet Kerja dan sejumlah tokoh nasional.

Dalam pelantikan itu, Jokowi melantik Darmin Nasution sebagai Menko Perekonomian menggantikan Sofyan Djalil, Luhut Binsar Pandjaitan sebagai Menko Polhukam menggantikan Tedjo Edhy Purdijatno, Rizal Ramli sebagai Menko Kemaritiman menggantikan Indroyono Soesilo.

Selain itu, Sofyan Djalil sebagai Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas menggeser Andrinof Chaniago, dan Thomas Lembong sebagai Menteri Perdagangan menggantikan Rahmat Gobel. Presiden juga mengangkat Pramono Anung sebagai Sekretaris Kabinet (Seskab) menggantikan Andi Widjajanto. [] joko prasetyo

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 156, Agustus-September 2015
---