Page

Harga Daging Sapi Mahal, Mafia (Lagi) ‘Dagang Sapi’?



Daging sapi membumbung tinggi. Harganya mencapai Rp140ribu per kilo. Masyarakat menjerit. Pedagang daging pun kelimpungan.

Harga yang tinggi ini menjadikan masyarakat beralih ke daging ayam atau lainnya. Sementara para pedagang harus gigit jari karena dagangannya tak laku. Maka beberapa hari pekan lalu para pedagang daging sapi mogok berjualan.

Mereka menuntut pemerintah bertindak menurunkan kembali harga dagang sapi ini. Mereka juga menuntut agar mafia daging dihabisi.

Ada beberapa stakeholder dalam memenuhi permintaan daging sapi di pasar yaitu para feedloter, peternak lokal, pemerintah yang memberikan regulasi, dan pedagang di pasar. Kalau terjadi kekompakan dan tak ada yang berspekulasi maka harga daging bisa stabil hingga Idul Adha nanti.

Karut marut harga daging sapi ini teriadi setelah pemerintah secara tiba-tiba membatasi impor sapi bakalan secara mendadak dari 250 ribu ekor ke 50 ribu ekor. Saat itu Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengatakan stok daging sapi cukup hingga 4 bulan. Ini mengundang pertanyaan besar karena harga daging tak bisa dikendalikan. Dalam waktu bersamaan, para importir ramai-ramai mendesak kran impor dibuka bagi mereka.

”Gonjang-ganjing harga daging sapi, patut diduga dengan kuat karena ulah pedagang besar dan importir, agar pemerintah menambah kuota impor sapi," kata Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi.

Adanya mafia kartel dalam tata niaga daging sapi ini sudah lama diendus oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mantan Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas pernah memaparkan populasi sapi potong di Indonesia berdasarkan data yang diperoleh KPK, mencapai 93 persen. Jumlah tersebut seharusnya dapat mencukupi kebutuhan daging dalam negeri. Tapi faktanya, pemerintah malah tetap melakukan impor daging sapi dari luar negeri seperti dari Australia.

KPK juga pernah mendapati temuan adanya daging-daging sapi lokal yang tidak sampai ke Jakarta. Setelah diusut, ternyata ada upaya mencegah suplai daging sapi lokal untuk bisa sampai ke Jakarta. Sebanyak lima Rumah Pemotongan Hewan (RPH) ternyata kosong selama lima tahun. Modus-modus dari mafia kartel daging sapi impor inilah yang membuat harga daging sapi menjadi mahal.

Padahal, Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengungkapkan hampir seluruh sapi impor dinikmati hanya oleh tiga provinsi, yaitu DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat. Dengan total 69 juta penduduk, ketiga provinsi ini mengonsumsi sekitar 159 ribu ton daging sapi dari total konsumsi nasional sebesar 600 ribu ton per tahun. Sebagai perbandingan, total impor sapi hidup dan daging sapi pada 2014 adalah 120 ribu ton. Pertanyaannya, kenapa harga daging lokal di daerah lain pun merangkak naik tak karuan?

Salah satu modus dari mafia kartel ini, misalnya sejumlah peternak sudah bersiap mengirimkan sapi potong ke Jakarta atau ke Pulau Jawa. Namun karena mafia kartel ini mengetahuinya, mereka berlaku sebagai tengkulak, kemudian diboronglah dengan harga Rp6 juta per ekor. Di Jakarta kemudian dijual lagi menjadi sebesar Rp11-12 juta per ekornya.

Jika sapi potong ini telah tiba di Jakarta, mafia ini sudah membatasinya dengan meminta rumah pemotongan hewan (RPH) untuk tidak menerima sapi potong. Mafia ini memberikan fee lebih besar jika RPH hanya mau menerima sapi impor untuk dipotong di RPH tersebut. Kondisi ini semakin diperparah dengan adanya Perda (Peraturan Daerah) yang melarang sapi betina untuk didistribusikan ke luar pulaunya. Sedangkan wilayah produksi tidak diarahkan untuk menghasilkan daging beku yang dapat tahan lama.

Dalam kondisi seperti ini, sayangnya pemerintah tak siap. Pemerintah melalui Badan Urusan Logistik (Bulog) berusaha mengintervensi dengan menyelenggarakan operasi pasar daging murah. Namun, operasi pasar itu hingga berita ini ditulis tak berhasil menurunkan kembali harga daging sapi [] emje dari berbagai sumber

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 156, Agustus-September 2015
---