Page

Masalah Pilkada Dalam Sistem Bermasalah Demokrasi



Mereka Bicara
Pilkada Serentak

Wahyudi Al Maroky, Direktur Eksekutif Pamong Institute:

Pilkada Serentak Pindahkan Masalah Serentak

Pilkada langsung dan tak langsung itu tidak berkorelasi positif dengan kesejahteraan rakyat. Demikian pula pilkada serentak tidak menjamin makin demokratis. Apalagi berharap hasilnya lebih berkualitas, yang ada memindahkan masalah secara serentak.

Para pegiat demokrasi memang selalu berupaya menutup setiap celah kelemahan dan efek buruk demokrasi. Namun sayangnya setiap celah lemah demokrasi itu ditutup maka muncul lagi celah dan lubang berikutnya. Demikian pula efek buruk praktek demokrasi itu terus memproduksi masalah dan menimbulkan efek buruk yang baru.

Dulu kita pernah pilkada tidak langsung. Para kepala daerah dipilih oleh DPRD. Namun ini dianggap kurang demokratis maka dibuat pilkada langsung. Ternyata pilkada langsung biayanya sangat mahal dan banyak menimbulkan konflik sosial. Bahkan banyak kepala daerah yang tersandung kasus korupsi. Kini diubah menjadi pilkada langsung yang serentak. Diharapkan biayanya lebih murah dan tak ada politik uang sehingga bisa menekan kasus korupsi. Tapi tak ada yang berani menjamin akan bersih dari politik uang dan bebas korupsi. []

Suswanta, Pengamat Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY):

Politik Plutokrasi

Pertimbangan utama pemerintah melakukan pilkada serentak adalah efektivitas. Pertanyaan besar yang muncul adalah, apakah benar pilkada serentak lebih efektif? Jika efektivitas diukur dari tercapainya tujuan pilkada yaitu terpilihnya kepala daerah yang amanah, profesional, dan pro rakyat maka data menunjukkan sebaliknya. Menurut ICW, pada 2014 ada peningkatan jumlah kepala daerah yang tersangkut korupsi, dari 35 pada 2013 menjadi 47 pada 2014.

Fakta ini menunjukkan bahwa tidak ada korelasi positif antara pilkada dengan terpilihnya kepala daerah yang berkualitas. Kepala daerah lebih berperan dan berfungsi sebagai wakil partai dibanding wakil rakyat. Aturan Mahkamah Konstitusi yang melegalkan politik dinasti dan mantan narapidana boleh menjadi calon semakin membuyarkan keinginan rakyat untuk memiliki kepala daerah berkualitas. Dapat dipastikan, pilkada serentak hanya menghasilkan politik plutokrasi (politik yang menempatkan orang berkantong tebal dengan kekuatan finansial dan jaringan kuat sebagai pemenang). []

Bacaan: Tabloid Media Umat edisi 156, Agustus-September 2015
---