Page

Inilah Pandangan HTI Tentang Nasionalisme



Sebelum jelas pengertian nasionalisme, tidak bisa dikatakan bahwa Islam dan umat Islam itu menerima nasionalisme atau tidak, “Juga, seseorang atau sebuah kelompok, termasuk Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) itu, memiliki atau tidak memiliki jiwa nasionalisme,” ujar Juru Bicara HTI Muhammad Ismail Yusanto dalam Dialog Nasional: Nasionalisme dan Agama, Ahad (29/2/2016) di Jakarta, di hadapan ratusan peserta Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi) Partai PDI Perjuangan tersebut.

HTI sebagai bagian dari umat Islam pun sesungguhnya sedang bekerja untuk membawa negara ini ke arah kebaikan dan menyelamatkan, menjaga negara ini dari segala bentuk penjajahan dan ancaman seperti kapitalisme, liberalisme dan sekularisme melalui penegakan syariah.

Sesungguhnya penjajahan yang paling nyata, setelah penjajahan fisik (militer) berakhir, adaIah melalui penerapan sistem sekuler, utamanya di bidang ekonomi dengan kapitalisme, dan di bidang politik dengan sekulerisme dan liberalisme politik yang terbukti telah menimbulkan berbagai bentuk kerusakan (fasad). ”Semua usaha itu sesungguhnya merupakan bentuk kepedulian HTI terhadap keadaan negeri ini dan masa depannya,” jelasnya.

Dengan semangat kecintaan pada negeri ini, HTI berjuang melalui dakwah fikriyah (menebarkan pemikiran dan pemahaman Islami), dakwah siyasiyah (untuk terbentuknya kesadaran dan perubahan politik) dan la unfiyah (non kekerasan). Ini juga merupakan bentuk syukur kepada Allah SWT yang telah menganugerahkan kemerdekaan.

”Kita sering mendengar seruan untuk bersyukur terhadap kemerdekaan yang telah didapat tapi bagaimana syukur itu harus diwujudkan tidak pernah ditunjukkan dengan jelas. Yang sering terjadi, justru banyak kegiatan untuk merayakan dan mengisi kemerdekaan yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Allah SWT,” ujarnya.

Secara faktual, HTI memandang Indonesia adalah negara yang sedang terus berproses, berkembang dan berubah, dibuktikan dengan empat kali amandemen UUD 45 yang berimplikasi pada banyak sekali aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

"Logikanya, bila konstitusinya saja terus diubah, bagaimana bisa negara ini disebut sudah final? Lebih tepat negara ini disebut sedang terus berproses, berkembang dan berubah,” beber Ismail.

Oleh karena itu, HTI ingin menghela perubahan itu ke arah yang baik. Dan itu mestinya ke arah yang diridhai oleh Sang Pemberi Berkah kemerdekaan. Itulah Allah SWT. Bukan ke arah sosialisme ataupun kapitalisme. ”Hanya ke arah sana sajalah kita bisa berharap terciptanya baldah thayyibah wa rabbun ghafur yang rahmatan lil alamiin. Di situlah relevansi nyata dari usaha penegakan syariah," kata Ismail.

Menurutnya, syariah sesungguhnya adalah ilaju al-musykilati al-hayati al-insani (solusi persoalan hidup manusia). Sebagai solusi persoalan kehidupan manusia, syariah yang diturunkan oleh Allah yang Maha Tahu pasti membawa rahmat, bagi Muslim maupun non-Muslim. Jadi, perjuangan penegakan syariah sesungguhnya adalah bentuk kecintaan terhadap negeri ini.

”Inilah semangat nasionalisme yang benar, yakni semangat untuk membawa negeri ini kepada penghambaan yang hakiki kepada Allah SWT, Dzat yang telah memberikan kemerdekaan dari penjajahan, melalui penerapan syariah dalam seluruh aspek kehidupan. Indonesia adalah bagian dari bumi Allah, milik Allah, maka mestinya ditata dengan aturan Allah (syariah)," tegasnya.

Tapi, lanjut Ismail, bila nasionalisme diartikan sebagai ketundukan pada sekulerisme, maka HTI tidak akan bisa terima. Karena sekulerisme berarti pengabaian terhadap aturan-aturan agama Islam. Tapi dengan menolak sekulerisme, tidak berati umat Islam tidak memiliki jiwa nasionalisme, karena justru sekulerisme itulah yang diyakini selama ini menjadi biang dari kerusakan negeri ini baik di lapangan ekonomi, sosial budaya, politik maupun di bidang lainnya.

“Menolak sekulerisme harus diartikan sebagai menolak sumber kerusakan, yang dilakukan tak lain demi kebaikan negeri ini. Inilah esensi dari nasionalisme sejati,” kata Ismail.

Selain Ismail, hadir pula 13 pembicara lainnya termasuk dari MUI, NU, Muhammadiyah bahkan dari aliran sesat Ahmadiyah.

Bacaan: Tabloid Media Umat edisi 169, Maret 2016
---