Page

Kerusakan Negara Sistem Republik



"Sering tidak disadari orang, bahwa demokrasi itu tidak pernah bisa mewujudkan idealismenya, tidak pernah murni berjalan sebagaimana teorinya. Kegagalan ini bukan semata karena kesalahan dari pelaku demokrasi yang menyimpang dari demokrasi ideal, melainkan karena sistem demokrasi memang cacat permanen. Demokrasi selalu bisa diperalat dan dicurangi sehingga demokrasi yang ideal itu mustahil diwujudkan. Memperjuangkan tegaknya Islam kaaffah melalui demokrasi juga pasti menemui kegagalan karena selalu bisa diakali, dicurangi, dizalimi, dipermainkan, ditipu, dan diakali dan dikadali."

Dalam sistem republik kedaulatan berada di tangan rakyat sedangkan dalam Islam kedaulatan berada pada pembuat syariah, yaitu ada pada Allah SWT,
sistem republik menetapkan keputusan berdasarkan suara terbanyak terlepas sesuai Islam atau tidak, sedangkan menurut Islam keputusan diambil berdasarkan istinbat dalil syariah.
tolok ukur keputusan dan perbuatan dalam sistem republik bersandar kepada azas manfaat sedangkan dalam Islam bersandar pada kaidah halal-haram syariah.
dalam sistem republik memilih pemimpin adalah untuk melaksanakan hukum buatan manusia sedangkan dalam Islam pemimpin dipilih untuk menjalankan hukum-hukum Allah SWT.

dalam sistem republik aturan Allah SWT hanya diperlukan untuk urusan kelahiran, pernikahan, aqiqah dan kematian, sementara dalam urusan kehidupan publik aturan Allah SWT disingkirkan. Justru manusia membuat peraturan tandingan yang bertentangan dengan ketetapan Allah SWT.

Secara prosedural, sistem republik di Indonesia dengan rangkaian Pemilu dan Pemilukada berbiaya sangat tinggi, sehingga ketika sang terpilih berkuasa, dia atau “investor”-nya akan mati-matian berusaha agar modal kembali dan meraup laba. Ini akan memicu korupsi baik secara langsung (korupsi APBN/APBD atau menerima gratifikasi dari rekanan) atau secara tak langsung melalui pembuatan peraturan yang tampak sah secara hukum namun menguntungkan dirinya, keluarganya, kroninya, atau investor baik domestik maupun asing.

Karena hanya mendapat kontrak lima tahunan, politisipun hanya berpikir bahwa dalam lima tahun itu dia harus menghasilkan “QuickWin”, yakni suatu kebijakan yang populis, maksudnya yang hasilnya dapat cepat dirasakan rakyat. Jarang sekali politisi dalam sistem republik berani mengambil kebijakan yang visioner, yakni yang mendasar dan berjangka panjang, yang justru baru akan dipanen atau dinikmati oleh penggantinya,

Demokrasi dengan one-man one-vote (setiap orang satu suara) memaksa para pelakunya untuk menggunakan logika jumlah. Dalam waktu pendek, tidak mudah meraih jumlah pendukung yang signifikan. Yang termudah adalah dengan menjual “sesuatu” yang gampang diterima oleh massa. Kadang sesuatu itu masih dapat berupa gagasan (misalnya “sembako murah” atau citra “bersih”), kadang berupa public-figure seperti da’i kondang, artis terkenal atau mantan pejabat yang populer, dan yang paling murahan adalah sesuatu yang sifatnya fisik seperti bantuan uang atau materi lainnya. Semua hal mudah ini jelas berakibat semakin menjauh dari syariah Islam. Para pemilih bahkan tim sukses pun tidak lagi melihat ideologi atau visi partai yang umumnya terlalu abstrak di benak mereka. Mereka terpaku pada yang “gampang diterima massa”.

dalam sistem republik, proses pengambilan pendapat tidak dipilah, antara mana pendapat yang masuk wilayah qawânîn tasyrî’iyyah, dan mana yang masuk wilayah qawânîn ijrâ’iyyah. Semuanya diputuskan berdasarkan suara mayoritas. Adapun dalam sistem Islam, pendapat yang masuk wilayah qawânîn tasyrî’iyyah diambil berdasarkan mana pendapat yang paling kuat dalil-dalilnya, tanpa melihat apakah pendapat tersebut didukung oleh suara mayoritas atau tidak. Selain itu, satu-satunya yang berhak menyusun dan mengundang-undangkan bukanlah parlemen, tetapi kepala negara (Khalifah). Ini juga berlaku dalam qawânîn ijrâ’iyyah.
Karena itu, bisa dikatakan, bahwa semua perundang-undangan yang dihasilkan oleh sistem republik ini sejatinya bertentangan dengan sistem Islam, karena beberapa alasan. Pertama: dari aspek sumber perundang-undangan (mashâdir tasyrî’). UU yang dihasilkan oleh sistem republik jelas tidak menjadikan Islam sebagai sumbernya. Di Indonesia, misalnya, UU yang dihasilkan harus bersumber dari UU yang lebih tinggi, dan tidak boleh bertentangan dengannya, seperti UUD 45 dan Pancasila. Karena itu, sekalipun UU tersebut diklaim bersumber dari syariah, ketika UU tersebut diterima, alasannya bukan karena kesesuaiannya dengan syariah, melainkan karena tidak bertentangan dengan UU di atasnya, atau bertentangan dengan sumber perundang-undangan yang ada.
UU yang lahir dalam sistem republik jelas prosesnya berbeda dengan UU yang lahir dari sistem Islam. Di dalam sistem republik, semua UU digodok dan dihasilkan berdasarkan suara mayoritas. Ini jelas berbeda dengan Islam

Publik tidak bisa lagi membantah bahwa korupsi menjadi-jadi dalam sistem republik. Ini bukan tudingan kosong tanpa bukti. Selain akibat sanksi pidana yang terbilang ringan (sebagai catatan, Angelina Sondakh yang menilep uang negara sebanyak 14,5 miliar hanya dihukum 4,5 tahun), korupsi di alam sistem republik diakibatkan oleh sistem republik yang memang berbiaya tinggi. Apalagi setelah muncul kebijakan Pilkada.
calon kepala daerah banyak yang bergerilya mencari dana kampanye. Dana itu bisa didapat dengan dua cara. Pertama: melalui sumbangan anggota mereka yang duduk di legislatif. Ini akan memaksa anggota dewan menggelembungkan pundi-pundi kekayaan mereka dengan cara ilegal seperti korupsi, fee proyek atau mark up proyek, dsb. demi membiayai Pilkada jago dari parpol mereka.
Kedua: menerima sumbangan dari broker-broker politik yang menginvestasikan uang mereka dalam Pilkada kepada calon-calon kepala daerah. Saat sang calon menjabat kepala daerah, mereka akhirnya terjerat rente dalam jumlah besar. Akhirnya, mereka tunduk pada kemauan para broker tersebut untuk memuluskan proyek-proyek bisnis mereka.

Lobi politik, suap dan korupsi adalah modus sama di setiap negara sistem republik. Amerika Serikat yang sudah menerapkan sistem republik selama lebih 200 tahun lebih dulu berada dalam pengaruh lobi para pengusaha kakap ataupun kelompok-kelompok lain yang berpengaruh. Akan tetapi, lobi, suap dan korupsi yang dilakukan pengusaha dan penguasa AS dilakukan dengan halus dan tak tampak oleh kebanyakan orang, bahkan legal.
perjalanan sejarah membuktikan bahwa sistem republik hanyalah mainan bagi parpol dan kaum kapitalis.
Pada tahun 2010, industri tembakau menghabiskan dana sebesar 16.6 juta US$ untuk melobi Kongres. Industri rokok raksasa seperti Philip Morris, R. J. Reynolds Tobacco Company, and Lorillard Tobacco Co mempelopori lobi tersebut. Mereka bahkan ikut mensponsori regulasi tembakau di AS. Sebagian dari dana itu dipakai anggota Kongres dalam Pemilu mereka. Tujuannya agar pemerintah tidak terlalu ketat dalam menerapkan regulasi tembakau.

Kalau kedaulatan dikatakan ada di tangan rakyat, artinya kewenangan tertinggi untuk menetapkan hukum ada di tangan manusia. Ini jelas sekali bertentangan dengan Islam, karena dalam Islam yang berhak menetapkan hukum bukan manusia, melainkan hanyalah Allah saja. Ingat firman Allah: In al-hukmu illa lilLah (QS al-An’am [6]: 57). Jadi dalam Islam, kedaulatan bukan di tangan rakyat, tetapi di tangan syariah, karena syariah itu adalah wujud konkret dari hak Allah membuat hukum.

Dalam sistem republik, kriterianya adalah suara mayoritas untuk semua persoalan. Dalam Islam, kriterianya tidak selalu suara mayoritas. Untuk persoalan-persoalan teknis sederhana yang hukumnya mubah, kriterianya memang suara mayoritas. Namun, dalam persoalan-persoalan normatif yang menyangkut hukum, kriterianya bukan suara mayoritas, melainkan dalil syar’i, yakni mana dalil-dalil syar’i yang paling kuat. Untuk persoalan-persoalan strategis yang memerlukan keahlian, kriterianya juga bukan suara mayoritas, melainkan pendapat yang paling benar, yang datang dari para ahlinya.

jika sistem republik berpotensi menimbulkan bahaya berupa dominasi non-Muslim atau orang rusak, ini berarti, sistem republik telah menjadi sarana (wasilah) pada sesuatu yang haram, yaitu munculnya bahaya. Jadi, kaidah fikih yang relevan untuk menghukumi sistem republik adalah: al-wasilah ila al-haram muharramah (segala sarana menuju yang haram hukumnya diharamkan). Jadi, sistem republik itu hukumnya haram, karena dapat menimbulkan sesuatu yang haram, yaitu bahaya berupa dominasi non-Muslim atau orang rusak.