Oleh: Zakariya al-Bantany
Sudah menjadi sunnatullah dan fitrahnya setiap manusia itu. Telah dikaruniai oleh Allah SWT berupa akal, segala potensi dan naluri (gharizah) dalam diri dan hidupnya.
Yaitu: naluri beragama/bertuhan/mensucikan sesuatu (gharizah at-tadayun); naluri eksistensi diri/mempertahankan hidup (gharizah al-baqa'); dan naluri melanjutkan keturunan/seksual/kasih sayang dan cinta (gharizah an-na'u).
Jadi, setiap orang yang normal mestilah punya naluri dan rasa cinta, ingin mencintai dan ingin dicintai. Serta ingin menyalurkan dan mempertahankan cintanya kepada seseorang atau kepada sesuatu yang dicintainya.
Hanya saja, cinta tidak boleh dibangun dan dilandasi oleh syahwat atau dorongan hawa nafsu semata. Atau pun jangan hanya dibangun dan dilandasi oleh gharizatun na'u (naluri seksual/melanjutkan keturunan) belaka.
Sehingga, hanya berujung menjadi cinta buta belaka dan cinta semu. Yang justru, dapat menghilangkan akal sehat, mematikan hati nurani dan iman di dalam dada. Serta pun tentunya, hanya menyalahi fitrah penciptaan manusia itu sendiri.
Hingga pula, akan berakhir hanya menjadi budak cinta semu semata yang merusak hidup dan jiwa raga. Yang menghalalkan segala cara dan melanggar Syariah. Dan menyimpang dari fitrahnya sebagai manusia yang berakal, hamba Allah (Abdullah) dan Khalifatullah fil Ardhi (wakil Allah di muka bumi).
Jadi, cinta sejati dan hakiki itu adalah cinta yang dibangun dan dilandasi oleh keimanan, ilmu dan ketaqwaan. Dengan fondasinya serta ikatannya, adalah akidah Islam dan ideologi Islam. Serta standar perbuatan cintanya adalah Syariah Islam. Dan standar kebahagiaan cintanya pun adalah ridha Allah.
Adapun wujud cinta sejati dan hakiki tersebut, adalah berupa ketaatan totalitas. Dan pengorbanan setulus hati, serta segenap jiwa raga kepada Allah dan Rasul-Nya.
Juga, dengan meneladani dan mentaati totalitas secara kaffah dengan segenap jiwa raga kepada Rasulullah Saw.
Begitulah, seharusnya wujud cinta sejati dan hakiki tersebut. Sebagai wujud keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman:
وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ
“Dan orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah: 165).
Bahkan, cinta sejati dan hakiki ini pun, telah dicontohkan dan dipraktekkan oleh para Sahabat Radhiyallahu anhum. Mereka sangat mencintai dan mengagungkan Allah dan Nabi Saw, lebih dari kecintaan mereka kepada diri dan anak-anak mereka.
Sebagaimana yang terdapat dalam kisah ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu, yaitu sebuah hadits dari Sahabat ‘Abdullah bin Hisyam Radhiyallahu anhu, ia berkata:
كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ آخِدٌ بِيَدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، فَقَالَ لَهُ عُمَرُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، َلأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِلاَّ مِنْ نَفْسِي. فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ وَالَّذِي نَفْسِيْ بِيَدِهِ، حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ نَفْسِكَ. فَقَالَ لَهُ عَمَرُ: فَإِنَّهُ اْلآنَ، وَاللهِ، َلأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ نَفْسِي. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اْلآنَ يَا عُمَرُ.
“Kami mengiringi Nabi Saw dan beliau menggandeng tangan Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu. Kemudian Umar berkata kepada Nabi Saw: 'Wahai Rasulullah, sungguh engkau sangat aku cintai melebihi apapun selain diriku.' Maka Nabi Saw menjawab: 'Tidak, demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, hingga aku sangat engkau cintai melebihi dirimu.' Lalu Umar berkata kepada beliau: 'Sungguh sekaranglah saatnya, demi Allah, engkau sangat aku cintai melebihi diriku.' Maka Nabi Saw bersabda: 'Sekarang (engkau benar), wahai Umar'." (HR. Al-Bukhari (no. 6632), dari Sahabat ‘Abdullah bin Hisyam Radhiyallahu anhu).
Dan diantara bukti cinta para Sahabat radhiyallahu 'anhum tersebut. Kepada Allah dan Rasul-Nya, adalah mereka cinta pula dengan seluruh ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw.
Khususnya pula, mereka cinta kepada ajaran Islam perihal Syariah dan Khilafahnya. Yang notabene adalah ajaran, sunnah dan warisan Rasulullah Saw. Sebagaimana cintanya para Sahabat radhiyallahu 'anhum tersebut, kepada Sang Nabi Saw itu sendiri.
Gambaran cinta sejati dan hakiki kepada Allah dan Rasul-Nya. Diantara salah-satunya, bisa kita lihat dan baca dari ucapan Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu. Beliau berkata:
ثَلَاثٌ لَأَنْ يَكُونَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيَّنَهُمْ لَنَا أَحَبُّ إِلَيَّ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا: الْخِلَافَةُ، وَالْكَلَالَةُ وَالرِّبَا
“Sungguh tiga perkara yang Rasulullah Saw terangkan kepada kami, lebih aku sukai daripada dunia dan seisinya, yakni: Khilafah, al-kalâlah dan riba.” (HR. Al-Hakim, Abu Dawud dan Al-Baihaqi).
Begitupula, bila kita mencintai seseorang dan sesuatu. Seperti kita mencintai dunia dan seisinya, atau pun cinta kita kepada kedua orang tua kita, isteri kita dan sebaliknya, juga mencintai anak-anak kita serta sesama Muslim, dan lain-lain.
Wajib dibangun dan dilandasi oleh cinta, iman dan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya beserta ajaran Islamnya. Dan tidak boleh cinta kita kepada dunia dan seisinya tersebut, justru melalaikan kita, dan mengalahkan cinta kita kepada Allah dan Rasul-Nya.
Dan sesungguhnya pula, seseorang itu pun akan bersama dengan sesuatu yang dicintainya. Serta pula dia akan bersama dengan orang yang dicintainya tersebut.
Dalam hadits diriwayatkan, dari Sahabat Anas bin Malik radiyallahu anhu, beliau bercerita:
“Seorang lelaki pernah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu dia bertanya, “Ya Rasulullah, kapan hari kiamat?”
Rasulullah Saw balik bertanya:
وَمَا أَعْدَدْتَ لِلسَّاعَةِ
“Apa yang telah anda siapkan untuk hari Kiamat?”
“Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya”, Jawab lelaki tersebut.
Rasulullah Saw menanggapi:
فَإِنَّكَ مع من أحببت
“Sesungguhnya anda bersama orang yang anda cintai.” (HR. Muslim).
Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan hadits ini dalam kitab “Fathul Bari”:
“قَوْلُهُ :” (إِنَّكَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ) أَيْ: مُلْحَقٌ بِهِمْ حَتَّى تَكُونَ مِنْ زُمْرَتِهِم
“Anda bersama orang yang anda cintai, maksudnya, dibangkitkan bersama mereka, sampai anda menjadi bagian dari barisan mereka.”
Sahabat Anas bin Malik radhiyallahu anhu, pernah mengatakan ucapan yang indah:
فما فرحنا بعد الإسلام فرحا أشد من قول النبي-صلى الله عليه وسلم- “فإك مع من أحببت”, فأنا أحب الله ورسوله وأبا بكر وعمر فأرجو أن أكون معهم وإن لم أعمل بأعمالهم.
“Kami tidak pernah lebih gembira setelah masuk Islam daripada gembiranya yang disebabkan sabda Nabi Muhammad Saw: ‘Sesungguhnya engkau bersama yang engkau cintai’, maka aku mencintai Allah, Rasul-Nya, Abu Bakar dan Umar, dan berharap aku bersama mereka meskipun aku tidak beramal seperti amalan mereka.”
Cinta sejati dan hakiki, akan membawa seseorang kepada keikhlasan, ketulusan, kedekatan dan ketaatan serta pengorbanan. Sehingga memberikan dampak membekas pada dirinya. Sehingga tercermin dalam pola pikir dan pola perilakunya, atau tercermin dalam kepribadiannya di dalam kehidupan sehari-hari.
Imam Ibnu Al-Qoyyim rahimahullah, menuturkan dalam kitabnya, Zadul Ma’ad:
قَرَنَ كُلَّ صَاحِبِ عَمَلٍ بِشَكْلِهِ وَنَظِيرِهِ، فَقَرَنَ بَيْنَ الْمُتَحَابَّيْنِ فِي اللَّهِ فِي الْجَنَّةِ، وَقَرَنَ بَيْنَ الْمُتَحَابَّيْنِ فِي طَاعَةِ الشَّيْطَانِ فِي الْجَحِيمِ
“Pelaku satu perbuatan dikumpulkan bersama mereka yang sama kelakuannya, maka orang-orang yang saling mencintai karena Allah dikumpulkan bersama-sama di surga, dan orang-orang yang saling mencintai karena ketaatan kepada syaitan dikumpulkan di neraka.” [Zadul Ma’ad, 4/248].
Selain dibangkitkan bersama orang-orang beriman dan shalih serta bertaqwa. Orang-orang yang saling mencintai karena Allah juga mendapatkan keutamaan lainnya. Yaitu, Allah berikan naungan saat di hari tidak ada naungan, selain naungan-Nya. Rasulullah Saw bersabda:
“سبعة يظلهم الله يوم لا ظل الا ظله منها”
“رجلان تحبا فى الله اجتمع عليه وتفرق عليه”~
“Ada tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan di hari tidak ada naungan selain naungan Allah. Di antaranya adalah, “seseorang yang saling mencintai karena Allah, bertemu dan berpisah karena Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Syaikh Al-Mubarakfuri rahimahullah, memaparkan dalam Tuhfatul Ahwadzi, yang merupakan syarah kitab Sunan At-Tirmidzi.
Bahwa dari ragam riwayat itu, keseluruhannya saling melengkapi tentang bagaimana seorang Muslim yang tidak mampu melakukan banyak amal shalih seperti orang-orang shalih.
Agar tetap optimis, dan terus mempertahankan cinta kepada Allah, Rasul-Nya dan para shalihin, serta cinta terhadap ajaran Islam itu sendiri.
مَنْ أَحَبَّ قَوْمًا بِالْإِخْلَاصِ يَكُونُ مِنْ زُمْرَتِهِمْ وَإِنْ لَمْ يَعْمَلْ عَمَلَهُمْ لِثُبُوتِ التَّقَارُبِ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَرُبَّمَا تُؤَدِّي تِلْكَ الْمَحَبَّةُ إِلَى مُوَافَقَتِهِمْ
“Jika seseorang mencintai kalangan shalih dengan ikhlas, maka sebagaimana dinyatakan Nabi, ia termasuk golongan mereka kendati amalannya tidak seperti yang dilakukan orang-orang shalih tadi, sebab keterpautan hati dengan mereka. Kiranya rasa cinta itu memotivasi agar bisa berbuat serupa.” [Muhammad bin Abdurrahman al-Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Jami’ at-Tirmidzi (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah), juz 7, hal 53].
Jadi begitulah, sesungguhnya hakikat dan wujud cinta sejati dan hakiki tersebut. Yang dibangun dan dilandasi oleh ilmu, iman dan ketaqwaan, atau pun ideologi dan akidah Islam. Akan melahirkan dan mewujudkan keselamatan dan kebahagiaan baik di dunia maupun di Akhirat.
Wallahu a'lam bish shawab. []