Page

Ketika Usulkan Lima Asas Pancasila, Bung Karno Akui Terinspirasi dari Tokoh Freemasonry

 



Ide Pancasila bukan terinspirasi dari khazanah budaya bangsa. Filolog Salman Iskandar mengatakan, Bung Karno mengakui ketika mengusulkan lima asas terpengaruh salah satu tokoh Freemasonry.


"Bung Karno mengakui juga di dalam buku ‘Lahirnya Pancasila’. Bung Karno mengakui dia ketika mengusulkan lima asas tadi terpengaruh dengan salah seorang tokoh Freemason dari Tiongkok, Dr. Sun Yat Sen," tuturnya dalam video ‘Pengkhianatan Kelompok Sekular Menghapus Piagam Jakarta’ di kanal youtube.com/khilafahchannelreborn (2/6).


Ia menjelaskan bahwa tokoh Tiongkok yang dimaksud Sun Yat Sen, dia adalah seorang penulis buku yang karyanya San Min Chu I kalau diterjemahkan Tiga Prinsip bagi Rakyat. "Tiga prinsip berkenaan dengan rakyat tadi, dan ini kemudian menginspirasi Bung Karno untuk mengusulkan lima asas, lima dasar dikenal dengan Pancasila," imbuhnya.


Lanjut ia memaparkan bahwa lima asas ataupun lima dasar berkenaan dengan dogma doktrin yang biasa diusung oleh kalangan Freemasonry yang dibawa oleh kalangan Tarekat Mason Bebas ke negeri ini semenjak tahun 1920. "Apalagi ketika era adanya pergerakan di antara para pemuda yang mengedepankan berkenaan dengan konsepsi kebangsaan. Apalagi setelah adanya kongres para pemuda yang pertama dan ke dua tahun 1928. Kongres para pemuda yang pertama kali di Jakarta diselenggarakan di loji pihak kolonial Belanda, tempat berkumpulnya dan tempat ibadahnya kalangan Freemasonry Belanda yang ada di Batavia," jelasnya. 


Kemudian ia mengatakan usulan Pancasila yang disampaikan oleh Bung Karno dalam pidato politiknya tanggal 1 Juni 1945. Pertama, kebangsaan Indonesia atau nationalism. Ke dua, perikemanusiaan atau internationalism yang kemudian bentuknya humanity atau kemanusiaan. "Ke tiga, berkenaan dengan mufakat atau demokrasi. Ke empat, kesejahteraan sosial atau socialism. Terakhir, ketuhanan atau religiosity, atau mengarah ke bentuk monotheism cultural atau berkenaan dengan paham ketuhanan berkebudayaan. Yang hari ini ditetapkan sebagai hari lahir Pancasila," imbuhnya. 


_Ide Transnasional_ 


Bukan digali dari budaya bangsa, filolog Salman Iskandar mengatakan Pancasila justru merupakan ide transnasional. “Pancasila itu justru merupakan ide transnasional,” ungkapnya. Sehingga ia mempertanyakan, apakah klaim Pancasila yang digali dari khazanah budaya bangsa itu benar? 


"Sampai-sampai kemudian dikisahkan Bung Karno ketika pidato politik 1Juni 1945 yang kemudian menelurkan istilah Pancasila itu sampai kemudian ada narasi, ada penjelasan bahwa Bung Karno merumuskan dasar negara Pancasila ketika di wilayah Ende Flores, sampai di wilayah Ende Flores ada tempat di mana Bung Karno menuliskan gagasan, berpikir tentang dasar negara Pancasila di bawah pohon sukun," ungkapnya. 


Menurutnya, klaim yang kemudian dibesar-besarkan bahwasannya Pancasila digali dari khazanah budaya bangsa. Bila diperhatikan isi dari pidato politik Bung Karno 1945, maka akan mendapatkan penjelasan bahwa Bung Karno justru terinspirasi mengusulkan berkenaan dengan lima asas terpengaruh dengan hasil penelaahan dialektika intelektual Bung Karno dengan khazanah pemikiran yang berasal dari para tokoh-tokoh yang ada di luar bangsa.


“Artinya ide-ide yang dirumuskan Bung Karno justru tidak digali dari khazanah budaya bangsa, namun justru kemudian ini menjadi bukti bahwa ide yang dipidatokan oleh Bung Karno merupakan ide transnasional. Kalau ada pernyataan klaim Pancasila merupakan digali khazanah budaya bangsa, itu bertabrakan dengan isi pidato politik Bung Karno,” tegasnya.


_Akar Pemikiran_ 


Menurut Salman, Bung Karno terpengaruh dengan San Min Chu I dari Dr. Sun Yat Sen. Kemudian terpengaruh international cosmopolite ataupun humanism cosmopolite dari Adolf Baars. Selanjutnya terpengaruh pernyataan Mohandas Mahatma Gandhi, bahkan terpengaruh dengan pemikiran Mustafa Kemal dari Turki. 


Ia menyebutkan, dalam buku yang berjudul ‘Lahirnya Pancasila’ yang diterbitkan oleh Departemen Penerangan Republik Indonesia tahun 1960, dijelaskan dalam pidato Bung Karno 1 Juni 1945 di antaranya mengusulkan dasar negara Indonesia merdeka harus berasaskan nationalism ataupun kebangsaan, atau paham kebangsaan yang mewujud dalam bentuk nation state. “Ke dua Bung Karno demi untuk meredam berkenaan dengan kehawatiran bentuk dari nationalism itu mengarah ke bentuk ultra-nationalist atau fascist atau chauvinist, maka kemudian Bung Karno mengusulkan asas yang ke dua, dasar yang ke dua mengacu ke bentuk yang mengarah ke humanism cosmopolite atau internationale,” sambungnya.


Menurutnya, Bung Karno dalam bukunya yang berjudul ‘Sukarno: an Autobiography as Told to Cindy Adams’ yang diterjemahkan sangat patriotik ‘Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia’, mengakui Adolf Baars adalah tutornya ketika berkuliah di ITB. Adolf Baars adalah orang yang memperkenalkan ide-ide Marxisme, komunisme, Leninisme. 


“Adolf Baars adalah anak didik atau kader terbaik Henk Sneevliet, kemudian membawa ide-ide progresif revolusioner Marxisme, sosialisme, komunisme ke negeri kita, yang kemudian mendidik tokoh-tokoh muda di Sarekat Islam (SI) di wilayah Semarang seperti Semaun, Darsono, bahkan Datuk Ibrahim Tan Malaka untuk bergabung di dalam ISDV (Indische Sociaal-Democratische Vereeniging) yang kemudian itu menjadi cikal bakal dari persyarikatan komunis di Hindia atau yang kita kenal Partai Komunis Indonesia,” paparnya. 


Demi untuk menjadikan paham kemanusiaan atau humanism cosmopolite mengakar ke dalam karakteristik bangsa Indonesia, dan menentang berkenaan dengan ultra-nationalism ataupun fascism ataupun chauvinism, Bung Karno juga terpengaruh dengan sosok Mohandas Mahatma Gandhi, salah seorang bapak bangsa dari tanah India. “Bung Karno sepakat dengan apa yang dikatakan oleh Mahatma Gandhi bahwa ‘my nationalism is humanity’, bahwa kebangsaan kami ini adalah kemanusiaan. Yang dalam konteks ini menghormati, menghargai bangsa di luar bangsa Indonesia, bukan mengedepankan keegosentrisan kami sebagai bangsa Indonesia,” imbuhnya.


Ia mengatakan, kebangsaan yang dianut oleh Bung Karno serta yang diperjuangkan adalah kebangsaan netral agama, tapi berpijak pada semua agama. “Ini adalah bentuk tidak langsung apa yang kita ketahui sebagai bagian dari secularism yang memang itu kemudian dipopulerkan dan diusung oleh Bapak Turki Modern, Mustafa Kemal” ungkapnya.


“Bahkan di dalam buku Bung Karno sendiri yang kita ketahui sebagai ‘Di Bawah Bendera Revolusi’, sosok Bung Karno ternyata merupakan pengagum berat dari sosok Mustafa Kemal dalam upaya pembaharuan menjauhkan Islam, menjauhkan ajaran Islam di tengah-tengah masyarakat Turki, dan itu yang kemudian menginspirasi Bung Karno untuk kemudian menjadikan dasar negara netral terhadap agama,” pungkasnya. [] 


Alfia Purwanti