Page

Impor Beras, Bukti Negara Dikuasai Pemilik Modal



Keputusan pemerintah mengimpor 500 ribu ton beras menunjukkan program kedaulatan pangan sebagai salah satu prioritas hanya sebagai pencitraan. Impor beras di tengah opini surplus dan sedang panen raya semakin memperjelas kebijakan pemerintah yang selama ini memang tidak pernah berpihak kepada rakyat.

Masyarakat selalu menjadi pihak yang dikorbankan walaupun pemerintah senantiasa berdalih untuk kepentingan rakyat ternyata itu hanya sebatas retorika. Sebagaimana kebijakan-kebijakan lainnya seperti pencabutan subsidi BBM dan rencana pencabutan subsidi LPG 3 kg yang melahirkan kesulitan bagi orang miskin. Kebijakan pemerintah mengimpor beras juga akan berdampak semakin terpuruknya kesejahteraan masyarakat terutama para petani.

Ketua Umum DPN Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Fadli Zon mengemukakan, rencana pemerintah untuk mengimpor beras 500 ribu ton hanya membuktikan kacaunya tata kelola pangan pemerintah, sekaligus rendahnya mutu data pangan pemerintah. "Saya melihat kebijakan impor beras ini sangat aneh. Pernyataan pemerintah tidak ada yang sinkron satu sama lain. Disebut aneh karena Kementerian Pertanian mengklaim sampai Januari 2018 ini kita mengalami surplus beras sebesar 329 ribu ton,“ katanya.

Pengamat ekonomi Arim Nasim menilai, impor beras di tengah stok yang mencukupi sebenarnya semakin menunjukan kebobrokan paradigma sistem ekonomi kapitalis dan kebijakan politik sekularis. Ada dua hal yang bisa dilihat dari peristiwa impor beras ini, yaitu kesalahan menjadikan kelangkaan sebagai problematika ekonomi dan kebijakan ekonomi yang tidak pernah berpihak kepada rakyat.

Ia menjelaskan, sistem ekonomi kapitalis memandang bahwa masalah perekonomian adalah terletak pada kelangkaan, sehingga solusi yang diberikan adalah meningkatkan produksi barang atau jasa, tapi tidak pernah memperhatikan secara serius masalah distribusi barang tersebut kepada setiap individu. Akibatnya, walaupun barang tersebut secara jumlah mencukupi tapi tidak ada jaminan setiap orang dapat memenuhi barang tersebut. Pemerintah senantiasa berusaha untuk memfokuskan pada peningkatkan produksi nasional atau penyediaan stok nasional tanpa memperhatikan secara serius distribusi kekayaan tersebut di tengah-tengah rakyat,” katanya.

Hal ini terbukti walaupun setiap tahun pemerintah mengklaim cadangan beras surplus baik didapatkan dari hasil panen maupun ditambah hasil impor, masih banyak warga negara yang mengalami kelaparan. Menurut penelitian FAO tahun 2015, masih ada sekitar 19,4 juta penduduk Indonesia yang masih mengalami kelaparan. Menurut Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani, dalam sistem kapitalis yang menjadi penguasa sebenarnya adalah para kapitalis/ pemilik modal/ konglomerat).

Wajar kalau kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah selalu berpihak kepada para pemilik modal dan selalu mengorbankan kepentingan masyarakat. “Impor beras dilakukan karena ada mafia rente yang mencari keuntungan melalui komisi dari setiap ton beras yang diimpor," kata Arim.

Dampak impor beras ini, kata Arim, akan mengganggu para petani yang merupakan 44 persen dari total angkatan kerja (sekitar 60 juta orang). “Sudah waktunya kita me-reshuffle sistem ekonomi kapitalis dan menggantinya dengan sistem ekonomi yang memberikan jaminan keadilan dan kesejahteranan bagi umat manusia yaitu sistem ekonomi Islam." jelasnya.[]an

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 212