Page

Pendahuluan Materi Thaharah



PENDAHULUAN

Thaharah menurut bahasa adalah an-naqawah (bersih) dan at-tanazuh min ad-danas (suci dari kotoran). Thaharah menurut syara’ adalah menghilangkan hadats yang bisa menghalangi shalat, thawaf, menyentuh mushaf dengan menggunakan air, atau menghilangkan hukum hadats dengan tanah, dan menghilangkan najis dengan air dan tanah atau selain keduanya. Mandi dari junub, haid dan nifas, itu termasuk dalam menghilangkan hadats besar, sedangkan wudhu dilakukan untuk menghilangkan hadats kecil. Keduanya tercakup dalam pengertian thaharah. Seorang Muslim dipandang suci sepenuhnya dengan cara mandi dan berwudhu, selain dengan menghilangkan najis.

Thaharah itu merupakan ibadah dan salah satu amal, sehingga thaharah itu berbeda dengan muamalah yang merupakan tasharuf qauliyah (tindakan yang bersifat ucapan), sehingga thaharah itu memerlukan niat, berdasarkan sabda Rasulullah Saw.:

“Sesungguhnya sahnya amal itu tergantung pada niat. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.” (HR. Muslim dan Bukhari dari jalur Umar bin Khaththab)

Terdapat beberapa nash yang menetapkan bahwa hanya air saja yang dapat digunakan untuk menghilangkan dua jenis hadats ini, berbeda dengan pendapat Abu Hanifah yang membolehkan berwudhu dengan nabidz (air rendaman kurma). Ketika tidak ada air, maka bisa diganti dengan tanah dalam tayamum sebagai pengganti yang bersifat temporer, baik untuk mandi ataupun untuk berwudhu, hingga air ditemukan.

Sedangkan menghilangkan najis itu tidak memerlukan niat. Ini berbeda dengan pendapat Malik dan Ahmad yang mengharuskan niat. Yang dituntut hanya menghilangkan najis itu saja, dengan cara, alat, atau material apapun. Ini berbeda dengan Malik, Syafi’i, dan Ahmad yang mengharuskan menghilangkan najis hanya dengan air saja.
Badan atau benda itu disebut najis selama dilekati najis, dan disebut suci ketika tidak ada najis padanya. Hukum tersebut berlaku pada saat sekarang (pada saat najis itu ditemukan), bukan dalam waktu yang akan datang atau pada waktu yang telah lalu, sehingga ketika badan atau benda tidak dilekati najis maka kita tetapkan bahwa badan atau benda tersebut suci, tanpa perlu mengetahui apakah sebelumnya ada najis atau tidak, dan tanpa perlu kita ketahui bagaimana najis itu bisa hilang jika kita ketahui bahwa sebelumnya najis. Begitu pula badan atau benda itu kita anggap suci selama tidak terkena najis.

Benda-benda najis itu ada sembilan: empat kategori berasal dari manusia, yakni air kencing (urine), tinja (feces), madzi, wadi; tiga kategori berasal dari hewan yakni anjing, babi, dan bangkai; dan satu kategori berasal dari keduanya yakni darah yang mengalir, dan satu kategori lagi berasal bukan dari keduanya yakni khamar. Benda-benda najis tersebut tidak bisa disucikan (dirubah menjadi benda-benda yang suci), dan ketika benda-benda najis tersebut mengenai badan atau materi yang suci maka bisa menyebabkannya menjadi najis, sehingga badan atau materi yang suci tadi disebut mutanajjis (benda yang terkena najis), dan benda-benda mutanajjis (benda yang terkena najis inilah) yang menjadi topik pembahasan menghilangkan najis. Inilah ringkasan buku yang saya susun, dan akan saya jelaskan secara rinci kepada para pembaca sekalian.

Sumber: Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)