Page

Upaya Revisi UU Terorisme Membidik Islam



Di tengah rezim Jokowi akan merevisi UU No. 15 tahun 2013 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, rakyat disuguhi dampak penerapan UU itu kepada warga negara. Siyono (39), warga Dusun Brengkungan, Desa Pogung, Kecamatan Cawas, Klaten, tewas usai ditangkap Densus 88.

Karo Penmas Polri Brigjen Agus Rianto membenarkan Siyono ditangkap Tim Densus 88 Antiteror Polri pada Selasa (8/3/2016) lalu. Ia menyebut, Siyono tewas karena kelelahan dan lemas setelah berkelahi dengan Densus 88.

Banyak pihak mempertanyakan penyebab kematian orang yang statusnya belum jelas ini di tangan Densus 88. Pengamat terorisme Mustofa B Nahrawardaya menilai alasan kepolisian ini tidak masuk akal. ”Itu tidak mungkin terjadi!” katanya.

Ia pun kemudian menjelaskan -dari perlakuan Densus 88 selama ini yang dipertontonkan-, para terduga yang ditangkap itu pasti tangannya diborgol, kakinya diborgol, kepala dilakban, sampai di Jakarta, sampai masa pengawalan, tidak akan dibuka itu borgol. "Jadi bagaimana mungkin dikatakan terduga itu berkelahi dengan Densus, kelelahan terus mati. Inikan seperti penjelasan kepada anak-anak SD. Kalau orang sudah sekolah akal sehatnya tidak akan bisa menerima keterangan seperti itu," jelasnya.

Apalagi, kata Mustofa, orang tahu persis bahwa Densus itu keras. Sering menembak mati orang-orang yang baru diduga teroris. ”Maka keterangan tersebut menimbulkan kecurigaan, kok Densus berubah menjadi banci, hanya berkelahi saja. Kalau terduga melawan, ya ditembak mati saja, kan biasanya begitu? Wong tidak melawan saja ditembak mati, kok bagaimana bisa melawan dengan berkelahi?” terangnya.

Dan sejauh ini, dengan berlindung di bawah UU Terorisme, sepak terjang Densus 88 ini seperti tidak pernah salah. Mereka bisa dengan semena-mena memperlakukan siapapun dengan dalih terduga teroris. ”Kesalahan-kesalahan dalam operasi terorisme tidak pernah diakui oleh negara,” kata Haris Azhar, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).

Dalam kondisi seperti ini, rezim Jokowi ingin merevisi UU Terorisme. Sebagai jembatannya adalah peristiwa bom Thamrin pada pertengahan Januari 2016 lalu. Pemerintah berpandangan, UU Terorisme masih lemah sehingga perlu direvisi.

Alasan ini yang dikritik banyak pihak. Soalnya, sejauh ini belum ada evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan UU tersebut.

Fakta menunjukkan, pelaksanaan UU itu telah menimbulkan sikap represif terhadap rakyat. Sudah banyak korban yang jatuh oleh tim Densus 88 atas nama pemberantasan terorisme. Ini karena wewenang yang luas kepada Densus 88 dan hampir tidak ada kontrol. Bahkan dalam soal anggaran, banyak pihak menyebut tidak ada audit terhadap tim elite kepolisian ini atas penggunaan uang rakyat. Belakangan bahkan anggaran mereka ditingkatkan lagi dari Rp600 milyar setahun menjadi Rp1,9 trilyun.

Walhasil, menurut Mustofa, UU yang ada sekarang sudah sangat represif.

Membidik Islam?

Melihat berbagai fakta yang terjadi selama ini, istilah teroris selalu disematkan kepada kaum Muslim. Tak ada ceritanya orang kafir disebut teroris. Di Papua, meski OPM telah membunuh tentara, polisi, dan rakyat biasa, mereka tetap saja tak pernah disebut teroris. Demikian juga kasus di Alam Sutra Tangerang. Orang yang meledakkan bom di pusat perbelanjaan itu tak juga dikatakan teroris karena ternyata agamanya Katolik.

Maka, banyak orang patut menduga bahwa perang melawan terorisme ini tak lain adalah perang melawan Islam. Kebijakan ini bukanlah produk asli Indonesia, tapi ini adalah kebijakan global Amerika Serikat yang dipaksakan ke seluruh dunia. Dengan diplomasi stick and carrot, semua negara di dunia diberi pilihan yaitu ikut Amerika atau ikut teroris. Dan dalam berbagai pernyataan, sangat jelas dan gamblang, yang dimaksud teroris oleh Amerika itu adalah Islam, yakni mereka yang ingin membangun kembali khilafah dan melaksanakan syariah serta mengobarkan jihad.

Amerika pun membuat daftar organisasi teroris di dunia. Hampir semuanya organisasi Islam. Negara adidaya itu pun dengan semena-mena menahan orang-orang yang dianggapnya teroris dan membawanya ke Guantanamo meski tanpa mengikuti prosedur hukum yang berlaku.

Dan sudah banyak ahli mengatakan, bahwa Islamlah kini satu-satunya ancaman bagi adidaya dunia Amerika setelah kehancuran komunisme. Makanya, mereka berusaha mencegah bangkitnya lslam menjadi kekuatan politik global karena itu akan menghancurkan sistem kapitalis yang kini tengah berkuasa.

Makanya, mereka mencoba membelokkan pemikiran Islam agar sesuai dengan pemikiran Barat. Mereka ciptakan Islam ala Barat. Mereka didik anak-anak kaum Muslim agar sepandangan dengan Barat dan kemudian menerjunkannya di tengah-tengah komunitas kaum Muslim.

Mereka gencarkan proyek deradikalisasi. Dan proyek ini sangat jelas, sasarannya adalah kaum Muslim. Mengapa yang lain tidak? Maka, sulit dielakkan bahwa perang melawan terorisme ini tidak diarahkan untuk membidik Islam dan kaum Muslim, meski ada bantahan dari manapun.

Bukan Ancaman

Islam adalah agama rahmat. Islam diturunkan untuk membawa kebaikan bagi manusia. Ajarannya turun dari Yang Maha Pencipta. Dialah yang mengetahui karakter manusia dengan segala interaksinya. Dialah Yang Maha Baik, Maha Adil, dan Maha Benar. Tidak mungkin ajarannya membawa keburukan dan ketidakadilan bagi manusia.

Islam telah dipraktikkan selama lebih dari 13 abad lamanya. Hasilnya bisa dirasakan hingga sekarang meskipun institusi penerap Islam yakni khilafah telah tiada. Beberapa peradaban manusia yang kini ada adalah buah dari penerapan Islam. Kemajuan ilmu dan teknologi di Barat tak lepas dari sumbangan peradaban Islam.

Penerapan Islam secara kaffah di bawah naungan khilafah merupakan kewajiban Allah SWT. Allah menjanjikan keberkahan dari langit dan bumi bila suatu kaum beriman dan bertakwa -artinya menerapkan syariah semuanya.

Islam akan menjanjikan kebaikan bagi manusia di dalamnya, baik Muslim dan non-Muslim, bahkan termasuk bagi alam semesta. Inilah sesuatu yang tidak ada dalam sistem manapun.

Walhasil, inilah Islam Rahmatan lil ‘Alamin yang sebenarnya. Bukan Islam ala Barat, atau Islam ala Indonesia. Tapi Islam yang diterapkan sesuai manhaj (metode) kenabian.

Bacaan: Tabloid Media Umat edisi 170
---