Page

Perempuan Di Kabinet Jokowi, Jadi Solusi?



Masyarakat menyorot Susi Pudjiastuti. Salah satu menteri perempuan dalam Kabinet Kerja Jokowi itu memang kontroversial. Selain latar belakang pendidikannya yang diragukan banyak orang, juga penampilannya yang nyentrik, yakni bertato dan merokok.

Tapi, tulisan ini tidak untuk ikut mengkritik sosok menteri kelautan dan perikanan itu. Sebab, masih ada tujuh menteri perempuan lainnya di jajaran eksekutif tersebut. Ya, ada delapan Srikandi dalam kabinet Jokowi.

Kalangan penggiat kesetaraan genderpun bertepuk tangan. Sebab, jumlah ini adalah rekor. Jika kuota keterwakilan perempuan yang diharapkan 30 persen, 8 dari 34 menteri sudah mencapai 23 persen.

Lantas, bisakah para perempuan itu membawa angin perubahan? Benarkah mewujudkan kesejahteraan mengharuskan peran serta perempuan setara persis dengan kontribusi laki-laki?

Bukan Perkara Gender

Paradigma kapitalisme mengharuskan adanya keterlibatan perempuan secara proporsional dalam ranah kekuasaan. Tidak ada batasan gender, siapa saja boleh menjadi leader. Jangankan menteri, presiden pun jadi. Harapan para menteri akan menjadi role model dengan melihat profil keprofesionalan mereka, mungkin saja bisa terpenuhi. Mereka memang sosok inspiratif yang mewakili perempuan sukses (duniawi), cerdas, maju dan karir cemerlang.

Mungkin saja kelak mereka bisa bekerja dengan baik, bahkan melebihi para menteri laki-laki. Itu jika parameter kelayakannya 'hanya' dinilai dari latar belakang kiprahnya selama ini yang diperkirakan mampu mengemban tugas. Nah, mampu tidaknya mereka bekerja sebagai menteri, tidak perlu dilihat dari kacamata gender.

Namun, pokok persoalannya bukan terletak pada jenis kelamin dan mampu atau tidaknya memimpin. Yang harus diubah adalah mindset bahwa “perempuan harus menjadi pejabat agar mampu membawa perubahan, khususnya bagi perempuan.”

Perubahan bukan saja ditentukan siapa yang memimpin, tapi sistem apa yang digunakan untuk mengatur rakyat. Perubahan bukan ditentukan oleh gender. Banyak sedikitnya perempuan dalam kabinet, tidak akan membawa perubahan berarti, khususnya bagi kaum perempuan selama sistem yang diterapkan masih sistem sekuler kapitalis seperti saat ini.

Sistem ini telah terbukti gagal memeratakan kesejahteraan rakyat. Bahkan, kesejahteraan itu hanya dimonopoli para pengusaha, yang sebagian juga adalah sosok para menteri itu Sendiri.

Minus Syarat Agama

Sistem sekuler juga menafikan aspek spiritual atau agama dalam memilih pemimpin. Para ibu-ibu menteri itu, khususnya yang Muslimah, tidak menunjukkan keterikatannya pada syariah Islam. Kecuali Kofifah Indar Parawansa, para menteri Muslimah itu tidak menutup aurat. Mereka memang produk yang lahir di era 50-60-an, di mana Indonesia masih mengalami era kegelapan hijab. Saat itu, hijab sebagai simbol Islam terlarang secara tidak tertulis. Kini, di era hijab, seharusnya merekapun mengenakannya sebagai bukti ketundukan pada syariah. Dari sisi ini saja, mereka tidak layak menjadi role model bagi kaum perempuan.

Bagaimana halnya dengan akhlak dan moral mereka? Melihat track recordnya, dominasi pemikiran liberal sekuler ada di benak mereka. Tentu pola pikir dan perilakunya tidak akan jauh-jauh dari nilai-nilai sekulerisme.

Hal ini sangat berbeda dengan Islam. Parameter dalam memilih pemimpin sangat jelas. Ada batasan jabatan-jabatan tertentu yang tidak dibolehkan dipegang perempuan, misalnya pemimpin negara yakni khalifah dan pembantu khalifah yakni muawin tafwidh maupun tanfidz.

Ada hikmah besar di balik ketetapan Allah tersebut. Salah satunya bahwa memimpin negara dan memikirkan hajat hidup orang banyak bukan perkara mudah. Satu hal, penuh dengan tekanan. Jika tidak mampu mengatasi, bisa stres. Itu sebabnya, pertimbangan spiritual penting dikedepankan.

Seseorang yang menjadi pejabat karena niat mengabdi dilandasi kesadaran akan besarnya tanggung jawab di hadapan Allah SWT kelak, akan senantiasa bekerja sungguh-sungguh untuk rakyat. Nah, dalam sistem demokrasi, masalah ini tidak menjadi perhatian.

Lagipula, toh perempuan sebagai pejabat pun tak sedikit yang malah mandul keberpihakannya terhadap perempuan. Sewaktu Megawati menjadi presiden, tak ada terobosan hebatnya untuk kaum perempuan.

Idealnya Hanya Islam

Demikianlah struktur jabatan di lembaga sekuler demokrasi yang bebas diisi oleh siapa saja. Apalagi ini hak prerogatif presiden. Ini bukan sistem pemerintahan Islam. Sehingga, 'wajar' jika sama sekali bukan profil ideal menurut Islam.

Tentu, kita hanya berharap yang ideal kelak jika sistem Islam ditegakkan dalam naungan Khilafah Islamiyah.

Bacaan: Delapan Srikandi Di Kabinet Jokowi, Tabloid Media Umat edisi 138, Nopember 2014
---