Page

Muhasabah Diri



Muhasabah (menghisab) diri, dalam pandangan Haris bin Asad al-Muhasibi adalah pangkal takwa. Demikian sebagaimana ia nyatakan, ”Pangkal ketaatan adalah sikap wara' (waspada terhadap dosa). Pangkal wara' adalah takwa. Pangkal takwa adalah muhasabah diri. Pangkal muhasabah diri adalah sikap khawf dan raja’ (harap dan cemas kepada Allah SWT). Pangkal khawf dan raja' adalah memahami janji dan ancamanNya." (Abu Nu'aim al-Asbahani, Hilyah al-Awliya', 4/282).

Pentingnya muhasabah diri diungkapkan dalam kata-kata terkenal Umar bin al-Khaththab ra., “Hisablah diri kalian sebelum dihisab (oleh allah SWT). Timbanglah (amal) kalian sebelum ditimbang (oleh Allah SWT).”

Generasi salafush-shalih adalah generasi yang terbiasa menghisab dirinya lebih keras daripada penghisaban seseorang atas mitranya. Karena itu sebagian ulama menyatakan, ”Di antara tanda yang dibenci adalah seorang hamba banyak menyebut-nyebut aib orang lain dan melupakan aib diri sendiri; membenci orang lain atas dasar prasangka dan mencintai diri sendiri dengan penuh keyakinan; tidak melakukan muhasabah diri.” (Abu Thalib al-Makki, Qut al-Qulub, 1/109).

Terkait muhasabah diri ini, kita bisa belajar dari kisah Hanzhalah al-Usayidi, salah seorang juru tulis Rasulullah SAW. Ia pernah berkisah: “Abu Bakar pernah menemui aku. Lalu ia berkata, “Bagaimana keadaanmu, Hanzhalah?” Aku menjawab, ”Hanzhalah kini telah jadi munafik." Abu Bakar berkata, ”SubhanaLlah, apa yang engkau katakan?” Aku menjawab, ”Kami, jika berada di sisi Rasulullah SAW," teringat Neraka dan Surga hingga kami seperti benar-benar melihatnya. Namun, ketika kami keluar dari majelis Rasul SAW dan kami bergaul dengan istri dan anaka-anak kami, sibuk dengan berbagai urusan, kami pun jadi banyak lalai.” Abu Bakar pun berkomentar, ”Kami pun begitu.” Kemudian aku dan Abu Bakar pergi menghadap Rasulullah SAW mengadukan keadaan kami. Rasulullah lalu bersabda, ”Demi Tuhan yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya kalian mau kontinyu dalam beramal sebagaimana keadaan kalian ketika berada di sisiku dan kalian terus mengingat-ingatnya, maka niscaya para malaikat akan menjabat tangan kalian di tempat tidurmu dan di jalanan. Namun Hanzhalah, lakukanlah sesaat demi sesaat.” Beliau mengulangi hal itu sampai tiga kali. (HR. Muslim).

Dalam pandangan Imam Hasan al-Bashri, muhasabah akan meringankan hisab pada Hari Akhir. Jadi tidak sepatutnya jika seorang Muslim melewati hari-harinya tanpa melakukan muhasabah diri. Sebab, dengan muhasabah itulah hati kita terjaga dari kelalaian, mulut terhindar dari mengucapkan keburukan dan perbuatan kita akan terpelihara dari segala maksiat dan kemunkaran. Menurut Ibnu Qayyim, sebagaimana dinyatakan dalam kitab Mukhtasyar Minhaj al-Qashidin, berkata,” Muhasabah diri itu sejatinya dilakukan sebelum dan setelah melakukan perbuatan.”

Muhasabah diri tentu amat penting dilakukan oleh setiap Muslim, bukan setahun sekali, tetapi setiap hari, bahkan setiap waktu sebelum datang masanya saat ia dihisab oleh Allah SWT pada Hari Akhir nanti. Pasalnya, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, ”Kedua kaki searang hamba tidak akan bergeser pada Hari Kiamat sehingga ditanya tentang empat perkara: tentang umurnya, untuk apa dia habiskan; tentang masa mudanya, untuk apa digunakan; tentang hartanya dari mana diperoleh dan untuk apa dibelanjakan; dan tentang ilmunya, apa yang dilakukan dengan ilmunya itu.” (HR. at-Tirmidzi).

Karena itulah, seorang Muslim sejatinya tidak bertindak atau berucap sebelum menghisab dirinya dan menimbang-nimbang apakah tindakan atau ucapannya terkategori halal atau haram. Hal itu dimaksudkan agar seluruh tindakan dan ucapannya dilakukan sesuai dengan tuntunan Allah SWT dan Rasul-Nya. Ia pun sejatinya memiliki waktu khusus di malam atau siang hari untuk melakukan muhasabah diri atas segala ucapan dan tindakannya. Jika telah sesuai dengan syariah, alhamdulillah. Jika ada yang menyimpang dari syariah, hendaknya ia bertaubat kepada Allah SWT. (Lihat: Abu Abdurrahman as-Silmi, Thabaqat as-Sufiyyah, 1/33). []abi

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 188
---