Page

Demokrasi Tak Berarti Redam Korupsi



Ada yang berharap demokrasi bisa menyudahi korupsi. Yang terjadi? Makin demokratis negeri ini, korupsi justru makin subur.

Ketika demokrasi di negeri ini mendapat banyak pujian, dan negara republik ini bahkan dinobatkan jadi negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, nyatanya korupsi justru kian merata ke seantero negeri, dari pusat hingga ke daerah.
Korupsi juga makin sistemis melanda semua institusi, eksekutif, legislatif, dan yudikatif, termasuk aparat penegak hukum.

Parpol legislatif dan kepala daerah yang berperan aktif dalam penegakan demokrasi justru yang paling banyak memproduksi koruptor. Hingga saat ini sudah ratusan kepala daerah dan wakil serta anggota dewan yang menjadi tersangka dan terpidana korupsi.

Indeks Korupsi yang dikeluarkan oleh transparency.org pada tahun 2014 menempatkan Indonesia pada peringkat 107, hanya tiga tingkat di atas Ethiopia dan satu tangga di bawah Djibouti (lihat https://www.transparency.org/cpi2014/results).
Bahkan Indonesia masih kalah oleh negara penuh konflik geng kriminal macam Meksiko yang berada di peringkat 103. Meski diakui peringkat Indonesia mengalami perbaikan setelah pada tahun 2013 menempati urutan ke 114.

Kenapa sistem demokrasi yang makin maju di negeri ini tak mampu mengurangi korupsi? Banyak penelitian menunjukkan bahwa demokrasi tidak serta merta menurunkan angka korupsi. Menurut Ivar Kolstad and Arne Wiig, demokrasi bukan obat mujarab memerangi korupsi Ini karena parpol membutuhkan dana besar dalam setiap pemilu, sehingga mendorong terjadinya korupsi oleh berbagai pihak.

Sementara itu beberapa negara yang tidak demokratis justru lebih bersih dan transparan. Lihat Singapura, Hongkong, dan Uni Emirat Arab. Ketiganya termasuk negara yang kurang bahkan tidak demokratis.

Keberhasilan pemberantasan korupsi tidak ditentukan oleh seberapa demokratisnya satu negara. Tapi dipengaruhi oleh adanya kemauan politik yang kuat, sistem aturan dan hukum yang tepat dan adil, kepastian hukum, dan sinergi antar lembaga negara. Justru faktor-faktor itulah yang nihil di negara ini.

Bacaan: Tabloid Media Umat edisi 146, Maret 2015
---