Page

Pemerintah Demokrasi Zalim Semaunya



Berharap Bukan Basa Basi

Lebih dari 700 ulama dan asatidz berkumpul di Pondok Pesantren At-Tauhidiyah, Tegal, Jawa Tengah, 8-10 Juni 2015 lalu. Pasti ada sesuatu yang penting. Ya, banyak persoalan keumatan yang memerlukan jawaban dari para ulama ini.

Pertemuan bertajuk Ijtima' Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama lndonesia (MUI) se-Indonesia V tahun 2015 sebenarnya peristiwa rutin. Berlangsung tiap dua tahun sekali. Yang menarik justru tema-tema yang dibahasnya.

Mengusung tema besar: "Ulama Menjawab Problematika Umat dan Kebangsaan," acara ini menyoroti banyak masalah. Yang paling menonjol adalah soal pemimpin yang ingkar janji. Topik ini termasuk masalah hangat yang menjadi perbincangan umat.

Di tengah masyarakat, kepemimpinan rezim Joko Widodo dan Jusuf Kalla memang jadi sorotan. Belum sampai memimpin selama setahun, berbagai kebijakan telah dikeluarkan. Namun, banyak kebijakan itu justru bertentangan dengan janji-janji mereka saat kampanye.

Masih belum hilang dari benak masyarakat, bagaimana rezim Jokowi menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Padahal, sebelumnya ia berjanji tak akan menaikkan harga BBM. Ketika publik menagih janjinya itu, Jokowi bilang bahwa ia tidak menaikkan harga BBM tapi hanya mencabut subsidi BBM saja.

Ingkar janji tersebut tidak hanya soal itu saja. Dalam penyusunan kabinet dan pemilihan anggota kabinet, janjinya sama sekali tak ditepati. Juga soal kedaulatan bangsa dalam bidang ekonomi, politik dsb. Justru saat Jokowi berkuasa, asing seolah menjadi anak emas. Freeport sudah dijanjikan untuk diperpanjang kontraknya. Beberapa BUMN siap diprivatisasi. Perusahaan-perusahaan asing diundang masuk ke Indonesia dengan berbagai kemudahan.

Jadilah 'Trisakti' yang dulu dibanggakan Jokowi dan PDIP cuma basa-basi. Negeri ini kian jauh masuk dalam jebakan neoliberalisme dan neoimperialisme. Setiap hari masyarakat disuguhi tontonan yang menyayat hati karena para pemimpin lebih memihak kepada asing daripada rakyatnya sendiri, meskipun ia sering blusukan ke sana ke mari.

Sayangnya, seperti hasil ijtima'-ijtima ulama sebelumnya, hasil kali ini pun tak mengikat. Bisa hilang begitu saja. Selain tidak bisa langsung dieksekusi, juga tidak ada yang menjaganya dalam perjalanan waktu.

Dan bagi para pemimpin sendiri, apa yang dilakukannya mungkin dianggap tidak salah. Karena bisa jadi dalam pandangan mereka ini bukanlah ranah salah dan benar, tapi ini adalah ranah politik. Soal kepentingan, soal popularitas, dan soal keduniawian lainnya.

Dan ternyata, dalam tatanan hukum Indonesia, pemimpin yang ingkar janji tidak bisa disalahkan oleh hukum. Tidak ada satupun aturan yang bisa menjerat pemimpin yang ingkar janji. Tidak ada. Dan bisa jadi, celah hukum ini sudah diketahui oleh para pemimpin negeri ini.

Dan memang beginilah buah dari sistem demokrasi. Sistem buatan manusia ini memang tak mengaitkan perilaku manusia, termasuk penguasa, dengan Allah SWT. Dalam kacamata demokrasi, ada pemisahan agama dari kehidupan atau dikenal sebagai sekularisme. Agama tidak boleh turut campur dalam urusan duniawi termasuk mengurus negara dan publik. Kebijakan negara semata-mata adalah hasil konsensus "rakyat".

ltulah wujud jargon demokrasi: dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Intinya adalah menegasikan keberadaan tuhan hadir dalam kehidupan. Tuhan hanya diletakkan dalam hubungan pribadi semata. Wajar jika kemudian tuntunan agama termasuk dalam masalah akhlak tidak tampak dalam keseharian para pemimpin. Mereka berbohong, menindas, berkhianat, membiarkan kemaksiatan, bekerjasama dengan orang kafir (dalam kezaliman), dsb sebagai hal yang dianggap biasa.

Makanya, persoalan pemimpin ingkar janji sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari sistem demokrasi-sekulerisme-kapitalisme-liberalisme yang sedang diterapkan. Selama sistemnya tetap seperti itu maka selamanya akan muncul pemimpin-pemimpin yang berwatak sama. Demokrasi memberi kesempatan siapapun untuk berbuat semaunya (selain menerapkan sistem Islam).

Walhasil, jika permasalahan pemimpin ingkar janji hanya dibahas kasus per kasus, persoalannya tidak akan pernah terselesaikan. Soalnya, sistemnya memang rusak. Diibaratkan sebuah habitat air, demokrasi adalah habitat yang sudah tercemar logam berat yang berbahaya sehingga ikan apapun yang hidup di dalamnya pasti akan ikut rusak dan akhirnya binasa.

Butuh Perubahan Sistem

Kalau kini tidak ada sanksi bagi para pemimpin ingkar janji -sebut saja pembohong- lalu apa yang harus dilakukan? Sebagian orang berpendapat, ”Ya sudahlah. Tunggu saja sampai ada pemilu berikutnya. Nanti tidak usah dipilih lagi.” Mereka berpendapat seperti itu untuk mempertahankan mekanisme demokrasi yang ada, karena menganggap tidak ada jalan lain yang bisa ditempuh.

Boleh jadi begitulah mekanismenya. Tapi apakah secara imani umat ini rela dengan berbagai kebijakan zalim para pembohong itu? Bolehkah membiarkan kebohongan merajalela dengan tanpa berbuat apa-apa? Adakah jaminan bahwa nanti tidak akan muncul lagi pemimpin-pemimpin pembohong berikutnya? Dan masih banyak deretan Pertanyaan yang bisa diungkapkan,

Padahal sebenarnya. masalah sangat jelas. Pemimpin pembohong ini lahir dari sebuah sistem rusak yakni demokrasi. Di sana tidak ada kebenaran hakiki, yang ada hanya kebenaran relatif berdasarkan suara terbanyak. Secara lebih ekstrim, ayat-ayat ilahi dikalahkan oleh pendapat/suara manusia. Ayat-ayat Allah harus tunduk pada konstitusi manusia. Begitulah nyatanya.

Oleh karena itu, jika ingin ada pemimpin yang baik, butuh sistem yang baik. Sistem itu tentu bukan sistem buatan manusia yang penuh kelemahan dan kepentingan. Sistem itu harus datang dari Dzat Yang Maha Baik dan Maha Benar. ltulah sistem Islam yakni khilafah.

Dengan sistem yang baik, insyaAllah akan lahir pemimpin-pemimpin yang setiap harinya takut kepada Allah. Mereka tak akan berani berbohong. Mereka tak akan berani mengumbar janji. Mereka tak akan berani menzalimi rakyat. Sebab, mereka terikat dengan syariah Allah SWT. Mereka berorientasi akhirat. Mereka juga tak rela berlaku zalim serta harus diadili di dunia atas kezalimannya.

Mereka akan berhati-hati memimpin umat karena ada sabda Nabi SAW: "Tidaklah mati seorang hamba yang Allah minta untuk mengurus rakyat, sementara dia dalam keadaan menipu (mengkhianati) rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan surga bagi dirinya" (HR. al-Bukhari dan Muslim). []

Bacaan: Tabloid Media Umat edisi 153, Juni-Juli 2015
---