Page

Legitimasi Pemimpin Dalam Islam



Defisit Legitimasi Demokrasi

Demokrasi menjanjikan pemenang pemilu adalah mayoritas. Tapi bagaimana jika mayoritas lebih memilih tak ikut memilih? Rupanya, ini sudah disadari betul oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Untuk menutupi kurangnya legitimasi publik ini KPU membuat aturan ambang batas keterpilihan dalam Pilkada serentak adalah 30 persen. Artinya pasangan calon yang memperoleh suara 30 persen pada ranking tertinggi, bisa disahkan sebagai pemenang Pilkada. Juga berarti, putaran kedua hanya akan dilakukan jika tidak satupun calon yang meraih suara sah 30 persen ke atas. Ketentuan ini menyimpang dari rumus 50 persen + 1 yang menjadi acuan universal demokrasi tentang representasi mayoritas yang sah.

Maka, Pilkada akhirnya menghasilkan pemerintahan daerah dengan suara mayoritas tapi sebenarnya dukungan minoritas. Sebab andai pemenang mendapat suara 35 persen, itu artinya ia hanya didukung 35 persen dari pemilih yang memilih, 65 persen sisanya tidak mendukungnya. Jika ditambah dengan jumlah pemilih yang golput maka dukungan kepada kepala daerah itu lebih kecil lagi.

Bayangkan, dalam demokrasi yang mengklaim pemerintahan mayoritas, ternyata pemimpin yang dihasilkan justru minus legitimasi. Ironisnya minus legitimasi itu dilegalkan. Fenomena ini boleh jadi akan terjadi pada sebagian besar pemenang dalam Pilkada serentak ini. []

Legitimasi Pemimpin ala Islam

Dalam sistem politik demokrasi, legitimasi penguasa dilihat dan diukur dari cara pemilihannya. Siapa yang mendapat suara terbanyak maka dianggap legitimate. Maka apapun kebijakan penguasa setelah terpilih dianggap mendapat legitimasi penuh dari rakyat. Rakyat tidak bisa memberhentikan penguasa itu di tengah jalan meski tidak puas dan harus menunggu pemilu berikutnya.

Berbeda dengan demokrasi, Islam menetapkan bahwa wewenang menunjuk dan memberhentikan kepala daerah ada di tangan khalifah/imam sebagai kepala negara. Ia berwenang memberhentikan kepala daerah kapan saja, dengan atau tanpa sebab. Hal itu ditunjukkan oleh sirah Rasul SAW dan ijmak sahabat dalam pengangkatan wali (gubernur) dan ‘amil (bupati/walikota) pada masa khulafaur rasyidin.

Para kepala daerah (wali dan ‘amil) bisa diberhentikan baik karena ada atau tidak ada sebab pelanggaran, penyimpangan, kezaliman, tidak mampu dan lainnya. Rasul SAW memberhentikan Mu'adz bin Jabal dari jabatan wali Yaman tanpa ada sebab. Umar memberhentikan Ziyad bin Abiy Sufyan tanpa sebab tertentu.

Dengan itu kepala daerah khususnya dan pejabat serta masyarakat umumnya paham bahwa jabatan kepala daerah adalah jabatan biasa dan bisa diberhentikan kapan saja. Dengan begitu, jabatan kepala daerah tidak akan diagungkan. Orang juga tidak akan terdorong untuk mengejar jabatan itu seperti sekarang.

Lalu bagaimana dengan rakyat? Dalam Islam, rakyat sangat menentukan kelangsungan seorang kepala daerah. Jika penduduk wilayah (provinsi) atau 'umalah (kabupaten/kota) atau wakil mereka, menampakkan ketidakridhaan dan syakwa/pengaduan terhadap kepala daerah (wali atau ‘amil ) maka khalifah wajib memberhentikan kepala daerah tersebut.

Semata adanya ketidakridhaan atau syakwa itu, khalifah harus memberhentikan kepala daerah itu. Umar bin Khathab pernah memberhentikan Sa'ad bin Abiy Waqash semata karena masyarakat mengadukannya. Umar berkata tentang itu: “Saya tidak memberhentikannya karena tidak mampu atau pengkhianatan.”

Dengan ketentuan penunjukan atau pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah seperti itu, maka pengangkatan kepala daerah akan:

Pertama, sangat efektif dan efisien, biaya sangat murah bahkan nyaris tanpa biaya. Kedua, akuntabilitas kepala daerah akan terjamin. Kepala daerah bisa diberhentikan segera jika melakukan pelanggaran atau kezaliman, lamban dan tidak responsif, bahkan tanpa kesalahan sekalipun.

Ketiga, partisipasi rakyat akan tinggi dan kontrol terhadap kepala daerah akan mudah. Pada proses awal, rakyat dan wakil mereka bisa memberikan masukan sosok kepala daerah yang mereka kehendaki. Khalifah akan sangat terdorong memenuhi aspirasi itu.

Semua itu akan menjadi jaminan sehingga kepala daerah akan menjadi sosok penguasa daerah yang benar-benar meri'ayah dan melayani kemaslahatan dan kepentingan rakyat. Namun harus diingat, hal itu hanya akan terwujud jika syariah Islam diterapkan secara kaffah. Tentu juga hanya bisa dengan sistem Islam, yaitu Khilafah Rasyidah yang mengikuti manhaj kenabian. Inilah yang harus sesegra mungkin diwujudkan bersama. []

Bacaan: Tabloid Media Umat edisi 163, Desember 2015
---