Page

Kebangkitan Kaum Muslimin Adalah Keniscayaan



Oleh: Aisyah Salsabila, Siswi kelas XII IPA 2 SMA IT Kyai Sekar Al-Amri

Indonesia menyumbang 13,1 persen dari jumlah total populasi Muslim sedunia. Dengan kata lain, Indonesia merupakan negeri Muslim terbesar sejagat raya. Namun ternyata, identitas Muslim ini hanyalah formalitas belaka. Buktinya, semakin hari minuman keras semakin merebak, angka perzinaan semakin meningkat, jumlah koruptor semakin bertambah dan lain sebagainya. Belum lagi, hari ini MEA dicanangkan, BPJS semakin ditekankan lalu diikuti oleh gempuran propaganda kesetaraan gender dan LGBT yang masif. Dengan motif beragam antara lain ekonomi dan gengsi, muncullah budaya sekuler seperti materialistis, hedonis, dan permisif di kalangan umat.

Itulah kabar kaum Muslimin di Indonesia. Lalu, bagaimana kabar kaum Muslimin di belahan bumi lain? Hari ini, sekitar 1,09 juta kaum Muslimin di Suriah terkepung dalam kondisi memprihatinkan. Banyak korban perang berjatuhan di bumi Palestina. Dan masih banyak lagi kabar yang mengiris hati. Kenyataannya, predikat 'The Sickman’ yang disandang kaum Muslimin sejak kehancuran Daulah Utsmaniyah belum bisa disingkirkan dari citra kaum Muslimin.

Kondisi ini tentu bertentangan dengan prediksi NIC, bahwa pada tahun 2020 akan muncul tiga kekuatan ekonomi global yaitu Cina, india, dan Islam. Mau diakui atau tidak, kekuatan ekonomi Islam ini pastilah berbentuk sebuah institusi negara yakni khilafah. Lantas, dengan wajah dunia Islam yang tercoreng moreng seperti saat ini, mungkinkah kaum Muslimin bisa jaya seperti dulu lagi?

Jawabannya tentu ”iya". Kaum Muslimin akan bangkit dan berjaya sebagaimana janji Allah dalam QS an-Nur: 55 dan bisyarah Rasulullah dalam banyak hadits shahih. Bagaimana mungkin? Pertanyaan yang pantas bukanlah 'Bagaimana mungkin?' karena hal ini merupakan keniscayaan. Yang pantas kita tanyakan adalah 'Bagaimana caranya?'

Rasulullah SAW telah mencontohkan bagaimana cara kaum Muslimin menjadi umat terbaik, meraih kejayaan dan kemulian melalui lembaran sirohnya. Bermula dari diangkatnya Beliau sebagai Rasul, lalu menyampaikan Islam secara sembunyi-sembunyi dan membina para sahabat hingga Allah memerintahkan untuk-berdakwah secara terang-terangan.

Namun dengan segala makar orang Quraisy, Mekkah dirasa tak memungkinkan dijadikan titik awal dibumikannya hukum Allah. Lalu beliau mendakwahi para pemuka kabilah lain dan suku 'Aus dan Khazraj-lah yang bersedia menyerahkan kepemimpinan kepada Beliau. Rasulullah dan para sahabatpun hijrah. Dari titik itulah, kaum Muslimin membangun masyarakat bertakwa dan sejahtera, menaklukkan Persia dan menguasai sebagian Romawi. Mereka berhasil memimpin 2/3 bumi dan jadilah mereka mercusuar dunia yang dikagumi dan disegani. Jadi kesimpulannya adalah kita butuh khilafah yang telah dihapuskan 91 tahun lalu.

Manhaj Rasulullah tersebut takkan kadaluwarsa, bahkan di zaman modern seperti sekarang. Betapapun terpuruknya kaum Muslimin, telah muncul para pembaharu yang mampu menganalisa sebab-sebab kemunduran kaum Muslimin dan mampu memberi solusi sesuai dengan Al-Qur’an dan sunnah nabawiyah.

Kita tak perlu menunggu kaum Muslimin bersatu dulu baru menegakkan khilafah. Tapi, menggiatkan dakwah menyadarkan umat di daerah yang kita pijak sendiri dengan bergerak bersama jamaah dakwah yang manhajnya sesuai manhaj Rasulullah. Karena hakikatnya, persatuan kaum Muslimin baru terbentuk setelah khilafah berdiri. Nantinya, khilafah akan berdiri di satu titik yang majal. Dengan kebijakan politik luar negri yakni dakwah dan jihad, khilafah akan membebaskan negeri-negeri yang dulu pernah dinaunginya termasuk Indonesia ataupun yang belum. Tentang di manakah majal itu nanti, apakah di Suriah, Palestina atau mungkin lndonesia? Wallahua'lamu bish shawab. []

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 169, Maret 2016
---