Page

Jika Imam Mengakhirkan Shalat dari Waktunya


Bagi para imam masjid dan pemerintah Negara Islam dianjurkan untuk melaksanakan seluruh shalat wajib ini di masjid pada awal waktunya, dan tidak mengakhirkannya hingga waktu ikhtiyar berakhir. Jika telah dikenal bahwa seorang imam atau penguasa suka mengakhirkan shalat maka disyariatkan bagi orang yang shalat untuk tidak menunggu shalat bersamanya, tetapi hendaknya mereka shalat secara munfarid. Jika mereka ingin shalat kembali bersama imam atau penguasa tersebut setelah itu di masjid, maka hal itu tidak menjadi masalah, sehingga shalat mereka dalam kondisi ini menjadi shalat nafilah. Dari Abu Dzar ra., ia berkata: “Rasulullah Saw. berkata kepadaku:

“Apa yang akan engkau lakukan jika engkau memiliki umara yang suka mengakhirkan shalat dari waktunya, atau mematikan (mengakhirkan) shalat dari waktunya?” Maka aku berkata: “Apa yang engkau perintahkan?” Beliau Saw. menjawab: “Maka laksanakan shalat pada waktunya, jika engkau mendapati shalat bersama mereka maka shalatlah karena hal itu menjadi nafilah bagimu.” (HR. Muslim)

Dari Abu Aliyah al-Barra, ia berkata:

“Ibnu Ziyad mengakhirkan shalat, lalu datanglah kepadaku Abdullah bin Shamit. Aku pun memberikan sebuah kursi padanya, dan ia duduk di atasnya. Kemudian aku ceritakan kepadanya perilaku Ibnu Ziyad, maka dia menggigit bibirnya dan memukul pahaku sambil berkata: 'Sesungguhnya aku bertanya kepada Abu Dzar sebagaimana engkau bertanya kepadaku, lalu dia memukul pahaku sebagaimana aku memukul pahamu, dan ia berkata: 'Sesungguhnya aku bertanya kepada Rasulullah Saw. sebagaimana engkau bertanya kepadaku, lalu beliau Saw. memukul pahaku sebagaimana aku memukul pahamu, dan beliau bersabda: “Laksanakanlah shalat pada waktunya, jika engkau mendapati shalat bersama mereka maka sholatlah, dan janganlah engkau berkata: ‘Sesungguhnya aku telah shalat, karena itu aku tidak akan shalat.” (HR. Muslim, Ahmad, an-Nasai dan Ibnu Hibban)

Dari Abdullah bin Mas'ud ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Bisa jadi kalian akan mendapati beberapa kaum di mana mereka melaksanakan shalat tidak pada waktunya. Jika kalian mendapati mereka, maka shalatlah di rumah-rumah kalian berdasarkan waktu yang telah kalian ketahui, kemudian shalatlah bersama mereka dan jadikanlah itu sebagai shalat nafilah.” (HR. lbnu Majah)

Subhah adalah shalat nafilah atau tathawwu’. Ubadah bin Shamit ra. telah meriwayatkan dari Nabi Saw., bahwasanya beliau Saw. bersabda:

“Akan ada umara di mana mereka disibukkan oleh banyak perkara, mereka mengakhirkan shalat dari waktunya. Karena itu jadikanlah shalat kalian bersama mereka sebagai shalat tathawwu'”. (HR. Ibnu Majah)

Mengapa menjadi nafilah (sunah) bukan menjadi maktubah (yang wajib) selama bermakmum pada imam yang shalat maktubah, karena seorang Muslim tidak boleh melaksanakan satu shalat fardhu dalam satu hari sebanyak dua kali. Menurut syara’, tidak boleh seseorang melaksanakan shalat dhuhur atau maghrib dua kali, atau shalat wajib lainnya lebih dari satu kali dalam satu hari. Dari Sulaiman bin Yasar, pelayan Maimunah, ia berkata:

“Aku mendatangi Ali bin Umar, dan waktu itu dia sedang duduk di atas lantai, dan orang-orang sedang shalat. Maka aku bertanya: “Mengapa engkau tidak shalat?” Dia berkata: “Aku sudah shalat.” Aku bertanya: “Mengapa engkau tidak shalat bersama mereka?” Dia berkata: “Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda: “Janganlah kalian melaksanakan satu shalat dalam satu hari sebanyak dua kali.” (HR. Ibnu Khuzaimah, Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai dan Ibnu Hibban)

Sumber: Tuntunan Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah
(artikel blog ini tanpa tulisan arabnya)