Page

Cermin Buruk Demokrasi



Tak ada makan siang gratis (no free lunch), Begitu kata orang-orang Barat. Nah, begitu sudah berkuasa, Jokowi harus memberi imbalan atas 'makan siang' yang pernah dilahapnya.

Jokowi sebelumnya bukanlah sosok hebat. Ia hanya seorang rakyat biasa. Namun karena dibesarkan oleh media, termasuk melalui sosial media, nama mantan Walikota Solo ini seolah menjadi sosok yang hebat.

Tapi banyak orang tidak tahu, semua itu tidak berlangsung secara alami. Ada pihak-pihak yang berkepentingan di balik itu semua. Para pemilik media yang notabene para konglomerat memiliki andil besar dalam hal ini. Termasuk para petinggi partai pengusung, tentunya.

Para konglomerat itu pulalah yang menjadi cukong bagi naiknya Jokowi ke tampuk kekuasaan tertinggi di negeri ini. Tentu, semua ada imbalannya. Apa? Hanya mereka yang mengetahuinya.

Maka, ketika Jokowi sudah duduk di kursi RI 1, kompensasi itu ditagih. Bagi-bagi kue kekuasaan tak terelakkan. Meski dulu Jokowi berjanji tak akan melakukan ltu, fakta berbicara sebaliknya.

Menurut Ismail Yusanto, Juru bicara HTI, semua itu menunjukkan satu hal penting, bahwa melalui demokrasi yang dianggap sebagai sistem politik yang paling baik, apalagi dengan pemilihan presiden secara langsung, akan terpilih pemimpin yang akan lebih bisa memenuhi aspirasi rakyat, tidaklah terbukti.

Presiden terpilih itu ternyata lebih tunduk pada para cukongnya, baik cukong politik yang telah mencalonkannya menjadi presiden maupun cukong ekonomi yang telah membiayai semuanya ketimbang mengikuti aspirasi rakyat,” tandasnya.

Memang para cukong, lanjutnya, bisa saja tidak duduk secara langsung di pemerintahan. Mereka bisa menunjuk orang lain, tapi yang sesuai dengan kemauan para cukong tersebut.

Mereka, kata Ismail, bukan presiden, tapi bisa turut mengendalikan presiden. Mempengaruhi pilihan kebijakan yang akan diambil oleh presiden, dan mempengaruhi pemilihan pejabat tinggi negara. ”Jadi, dengan demokrasi, bukan rakyat, tapi pemilik modal lah yang berdaulat. Rakyat hanya dijadikan tumbal untuk ambisi politik mereka,” tandasnya meyakinkan.

Saling Sandera

Di ranah demokrasi, yang menghalalkan segala cara, ini muncul politik saling sandera. Bagaimana tidak, sistem demokrasi ini melahirkan orang-orang kotor. Hanya saja, mereka itu saling melindungi karena masing-masing tahu sama tahu boroknya.

Cacat inilah yang kemudian menjadi kekuatan tawar (bargaining power) untuk memaksakan kehendak. Kasus KPK dan Kepolisian, mengungkap hal tersebut. Ternyata, semua sama-sama kotor.

Pertanyaannya, kenapa kasus-kasus yang sudah terjadi beberapa tahun lalu baru diungkap sekarang? Kasus rekening gendut jenderal-jenderal polisi muncul beberapa tahun lalu. Juga kasus pelanggaran hukum para komisioner KPK pun bahkan ada yang sudah lebih dari 5 tahun lalu terjadi. Kok baru diangkat sekarang? Apakah mereka baru menemukan? ini sesuatu yang tidak mungkin.

Menurut Ketua Lajnah Siyasiyah DPP HTI Yahya Abdurrahman, ada kesan kuat bahwa berbagai kasus seolah disimpan dan tidak diungkap untuk dijadikan alat tawar. Kasus-kasus itu dijadikan alat untuk mencegah pihak lain menggagalkan kepentingan masing-masing pihak, atau mencegah berbagai pihak saling mengungkap kasus pihak lainnya, atau mendorong berbagai pihak untuk berkompromi.

"Akhimya, ada semacam ancaman: 'Siapapun yang berani berulah, maka cacat dan kasusnya akan diungkap,' kata Yahya.

Inilah, menurutnya, yang disebut poitik saling sandera.

Melawan Aspirasi Rakyat

Kalau sudah begitu, tidak ada lagi yang namanya kepentingan rakyat. Aspirasi rakyat ditinggalkan. Mereka lebih memikirkan para cukong dan para penyanderanya. Minimal agar kekuasaannya tidak digoyang.

"Doktrin demokrasi bahwa dengan pemilihan langsung oleh rakyat akan dihasilkan penguasa dan politisi yang mendengarkan aspirasi rakyat hanyalah ilusi,” kataYahya.

Dalam kasus BG, sepertinya sangat sulit bagi Jokowi untuk membatalkan pencalonan KomJen polisi ini. Padahal, jajak pendapat yang dilaksanakan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) mencatat masyarakat atau responden menolak jika partai pendukung presiden Joko Widodo (Jokowi) atau Koalisi lndonesia Hebat (KIH) tetap melantik tersangka korupsi BG. Penolakan itu disampaikan oleh 69,78 persen publik (dari 1.200 responden). Hanya 23,60 persen publik mendukung supaya KlH tetap menekan Jokowi untuk melantik Budi.

Ardian Sopa dari LSI menjelaskan, ada empat alasan publik kenapa ingin supaya KIH berhenti menekan Jokowi melantik Budi Gunawan, Alasan pertama adalah tradisi buruk kenegaraan. Publik menilai jika Jokowi ngotot mengangkat Budi Gunawan sebagai Kapolri maka akan membuat sejarah baru melantik tersangka korupsi menjadi orang nomor satu kepolisian.

Alasan kedua, Jokowi telah menurunkan standar moral politik. Di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), menteri yang menjadi tersangka korupsi langsung dinonaktifkan, tetapi Jokowi malah melantik tersangka korupsi.

Alasan ketiga, persepsi Jokowi sebagai boneka semakin menguat. Dan alasan terakhir ini menjadi titik balik publik kontra Jokowi.

Inilah bukti kebobrokan sistem demokrasi! []

President’s Men

Coba perhatikan, siapa orang yang sering muncul di Istana Negara selain Jokowi? Tepat sekali, Andi Wijayanto. Ya, ia dipilih oleh Jokowi sebagai Sekretaris Kabinet. Satu lagi adalah Letjen TNI (Pur) Luhut Panjaitan. Pensiunan jenderal ini duduk sebagai Kepala Staf Kepresidenan. Keduanya kini menjadi tokoh sentral di istana, yang bisa mempengaruhi kebijakan Jokowi.

Marcus Mietzner, peneliti tentang Indonesia dari Australian National University (ANU) menyebut Andi -anak tokoh Kristen radikal Theo Syafei- sebagai salah satu figur dan pemikir penting pada pemenangan Jokowi-JK. Banyak konsep kampanye hingga debat capres Jokowi yang merupakan pemikiran orisinil Andi Widjajanto - mengambil master di London dan Amerika. Sebelumnya sebagai pengamat militer dan terorisme, Andi dikenal sinis terhadap kelompok Islam.

Sedangkan Luhut, menurut surat terbuka Rosiana Borupaung, punya misi tersendiri. Luhut menyatakan, Jokowi adalah masa yang tepat bagi orang Kristen Batak untuk berkuasa kembali. "Jika Jokowi menang akan ada dua sampai tiga menteri orang Kristen Batak,” kata Luhut memberi garansi betapa pentingnya kemenangan Jokowi di pilpres ini.

Rosiana melanjutkan: "Kita harus membangun ketakutan di kalangan etnis Tionghoa, menyebarkan informasi jika Prabowo didukung oleh Islam garis keras, sehingga minoritas bisa bersatu, Kristen Batak, di Jawa, di timur lndonesia, Tionghoa," Jelas Luhut saat itu.

Bahkan Luhut menegaskan rencana tersebut sudah mendapat persetujuan dari Ephorus HKBR “Semua pendeta-pendeta kita akan bergerak ke arah itu, aktivis Kristen di PDIP Juga sudah kita gerakkan, ada Maruar Sirait, Adian Napitupulu, dan Masinton Pasaribu,” terang Luhut.

“Dan tak kalah penting Bang Luhut dari ketangan Kharismatik sudah ada James Riady dan dari Tokoh Katolik ada Mantan Direktur CSIS Harry Tian Silalahi, mantan Direktur CSIS,“ begitu tulis Rosiana.

Posisi Luhut ini sangat strategis. “Tugasnya memberikan info strategis pada presiden. membantu presiden merancang komunikasi politik antar lembaga dan ke publik dan membantu presiden mengidentifikasi isu strategis,” ujar Andi dikutip dari tribunnews.com. []

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 144, Februari 2015
---