Page

Sekularisme Langgeng Kasus Perkosaan


 

Di tahun 2013 ini, Indonesia Police Watch (IPW) mencatat selama 25 hari pertama Januari ada 25 kasus perkosaan dan dua pencabulan yang dilaporkan ke kepolisian (Republika, 29/1). Angka itu diduga kuat hanya puncak gunung es. Jumlah yang sebenarnya bisa jauh lebih besar.
Kejahatan seksual yang ada selain meningkat jumlahnya juga makin masif dan brutal. Menurut Ketua presidium IPW Neta S Pane, dari kasus 2013, jumlah korban ada 29 orang, sementara pelakunya 45 orang. Itu menandakan tindak kejahatan seksual sudah bersifat makin masif dan makin brutal. Selain itu, kasus perkosaan juga makin parah. Sebagian besar korban masih belia. Dari 29 korban itu, 23 orang masih berusia dibawah 16 tahun, 6 orang berusia 17-30 tahun. Pelakunya, dari 45 pelaku, 32 orang berusia 14-39 tahun, 12 orang berusia 40-70 tahun dan 1 orang diatas 70 tahun. Sementara lokasinya, sebagian besar (21 kasus) terjadi di rumah korban dan 6 kasus di jalanan. (Republika, 29/1).
pintu terakhir untuk melindungi masyarakat adalah menerapkan sanksi pidana sesuai hukum Allah dalam hal itu. Dalam Islam, pelaku perkosaan akan diganjar hukuman layaknya pezina. Bila belum menikah maka akan dikenakan seratus kali jilid (QS an-Nur [24]: 2). Sedangkan bila telah menikah maka akan dirajam hingga mati. Imam an-Nasa’i meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah ra. bahwa Nabi saw. menjilid seorang pria yang berzina kemudian Beliau mendapat kabar bahwa pria itu telah menikah (muhshan) maka Nabi saw. memerintahkan untuk merajamnya hingga mati. Pelaksanaan hukuman itu harus dilakukan dihadapan khalayak (QS an-Nur [24]: 2). Tentu saja korban tidak termasuk yang mendapat sanksi karena statusnya sebagai korban yang teraniaya. Hukuman yang keras ini akan melindungi kaum wanita serta memberikan rasa keadilan bagi korban.

Kebebasan memiliki (hurriyah tamalluk) barang dan jasa haram yang memang dijamin oleh sistem ekonomi Kapitalis ini. Di satu sisi, sistem ekonomi ini juga melahirkan banyak orang sibuk, dengan tingkat tekanan yang tinggi (stress). Pada saat yang sama, agama tidak dijadikan sebagai pondasi kehidupan, sebagai dampak dari Sekularisasi, maka solusi yang mereka tempuh adalah dugem, minum dan hiburan yang menawarkan layanan seks semalam. Di lain pihak, sistem ekonomi ini melahirkan banyak pengangguran dan orang-orang kepepet. Dengan tingkat tekanan hidup dan rangsangan seksual yang tinggi, didukung dengan tidak adanya pondasi agama, maka cara singkat dan paling mudah adalah memangsa orang-orang lemah di sekitar mereka. Terjadilah perkosaan terhadap anak-anak di bawah umur, dan sebagainya. Di sisi lain, karena tekanan hidup yang sama, kaum perempuan tidak jarang menjadi komoditas seks yang dijajakan. Terjadikan praktik prostitusi, mulai dari prostitusi jalanan hingga hotel berbintang. Semuanya ini jelas merupakan dampak sistemik dari sistem Kapitalis ini.

Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana Islam menyelesaikan kejahatan seperti ini? Maka, bisa dikembalikan kepada tiga pihak: individu, masyarakat dan negara. Dengan diterapkannya sistem Islam, dan dijadikannya Islam sebagai dasar kehidupan, baik dalam bermasyarakat maupun bernegara, maka fakta hingga fantasi seksual sebagaimana yang marak saat ini tidak akan ada lagi. Interaksi di tengah-tengah masyarakat yang melibatkan pria dan wanita juga diatur sedemikian, sehingga berbagai pintu pelecehan, perzinaan hingga perkosaan tersebut akan tertutup rapat. Selain sistem tersebut, negara juga menerapkan sanksi yang tegas dan keras terhadap siapa saja yang melakukan kejahatan tersebut.

Dalam hal ini para ulama’ menyatakan, bahwa sanksi bagi pelaku tindak perkosaan ini adalah had zinâ, yaitu dirajam (dilempari batu) hingga mati, jika pelakunya Muhshan (sudah menikah); dan dijulid (dicambuk) 100 kali dan diekspos selama 1 tahun, jika pelakunya Ghair Muhshan (belum menikah). Sebagian ulama’ menambahkan kewajiban membayar mahar kepada perempuan yang menjadi korban.
Imam Malik berkata, “Menurut kami pria yang memperkosa perempuan, baik gadis maupun janda, jika perempuan tersebut wanita merdeka, maka pelakunya wajib membayar mahar yang sepadan denganya. Jika wanita tersebut budak, maka pelakunya wajib membayar kurang dari harga (budak)-nya. Sanksi ini berlaku bagi pelaku perkosaan, sementara korban perkosaan tidak ada sanksi apapun.” (Malik, al-Muwatha’, Juz II/734)
Ini jika pelaku perkosaan tersebut melakukan kejahatannya tanpa menakuti, mengancam dan menghunus senjata kepada korban. Jika dia menakuti, mengancam dan menghunus senjata, maka tindakan pelaku bisa dimasukkan dalam kategori hirâbah. Maka, bisa dibunuh, disalib, dipotong tangan dan kakinya secara menyilang, atau diasingkan. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah dalam al-Qur’an (Q.S. al-Maidah: 33).

Demikian pula seks (pergaulan bebas) kian marak. Dalam prinsip kaum liberal, zina bukanlah kejahatan selama kedua belah pihak saling suka. Padahal dalam Islam, baik suka sama suka ataupun dengan paksaan (perkosaan), keduanya diharamkan. Tak cukup perzinaan di luar pernikahan, kaum liberal juga menyerukan kebolehan pernikahan sesama jenis seperti yang dialami Irsyad Manji sang lesbian.

Jika penghormatan datang dengan pekerjaan, mengapa di Inggris lebih dari 50% wanita mengalami pelecehan seksual di tempat kerja (menurut laporan tahun 2000 oleh Komisi Persamaan Kesempatan) dan seorang wanita diperkosa setiap 10 menit (menurut Departemen Kesehatan Inggris)? Mengapa di AS seorang wanita mengalami pelecehan setiap 2 menit (menurut Departemen Kehakiman AS) dan satu dari 5 wanita mengalami perkosaan (menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS)?