Page

JOGJA TOLAK KHILAFAH? AHISTORIS!




Oleh : *Ahmad Khozinudin*

Sastrawan Politik



_"Pada 1479, Sultan Turki mengukuhkan R. Patah (sultan Demak pertama) sebagai Khalifatullah ing Tanah Jawa, perwakilan kekhalifahan Islam (Turki) untuk Tanah Jawa, dengan penyerahan bendera Laa ilaah illa Allah berwarna ungu kehitaman terbuat dari kain Kiswah Ka'bah, dan bendera bertuliskan Muhammadurrasulullah berwarna hijau. Duplikatnya tersimpan di Kraton Yogyakarta sebagai pusaka, penanda keabsahan Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat wakil Kekhalifahan Turki"_


*[Kutipan Pidato Sri Sultan Hamengkubuwono X, pada Kongres Umat Islam Indonesia/KMII ke VI di Yogyakarta, 12 Februari 2015]*



Baru saja beredar kabar, aksi bentang Bendera merah putih berukuran tiga kali sembilan puluh meter yang diarak warga Yogyakarta di kawasan Tugu Pal Putih. Mereka mengklaim sebagai Warga Yogyakarta yang menggelar aksi tolak khilafah, radikalisme, dan terorisme. (19/6).


Aksi menolak terorisme dikaitkan dengan Khilafah, adalah framing jahat yang tidak memiliki bukti empirik dan kausalitas secara logika. Secara empirik, tidak ada aksi kekerasan menggunakakan pendekatan teror dan senjata, yang merusak fasilitas publik, membunuh rakyat hingga tentara dan polisi bermotif ingin mendirikan Khilafah. 


Apa yang dilakukan OPM di Papua, yang melakukan kekerasan menggunakakan pendekatan teror dan senjata, yang merusak fasilitas publik, membunuh rakyat sipil hingga aparat TNI Polri, motifnya adalah disintegrasi, ingin memerdekakan Papua. Bukan ingin mendirikan Khilafah.


Sejumlah bahan peledak, senjata AK 47, ratusan amunisi yang ditemukan di Bandung milik orang etnis China, juga bukan untuk tujuan mendirikan Khilafah. Lantas apa dasarnya mengaitkan terorisme dengan Khilafah ?


Secara logika, Khilafah adalah ajaran Islam. Bagaimana mungkin, Islam yang rahmatan lil 'alamin disamakan dengan terorisme ?


Begitu juga dengan radikalisme. Yang menumpuk hutang secara radikal dan brutal hingga lebih dari Rp 7000 triliun bukan Khilafah. Yang ganas dan radikal mengkorupsi dana E KTP hingga bantuan pesantren Rp 2,5 triliun, juga bukan Khilafah.


Mengkhawatirkan ideologi trans nasional ?demokrasi yang diterapkan di negeri ini juga ide trans nasional, bukan produk pemikiran anak Bantul. Kapitalisme yang mencengkeram negeri ini, juga ideologi trans nasional.


Apalagi, mengatasnamakan warga yogyakarta menolak Khilafah, jelas ahistoris. Patut diduga, ini klaim warga yogyakarta abal-abal. Sebab, sejarahnya yogyakarta itu terhubung dengan Khilafah.


Pada saat Pelaksanaan Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) ke-6 di Yogyakartapada Rabu (12/2/2015), dihadapan Wapres Jusuf Kalla dan peserta kongres, Sri Sultan Hamengkubuwono X menjelaskan tentang hubungan Keraton Yogyakarta dengan Kekhalifahan Utsmani di Turki. Kekhalifahan Utsmani adalah kesultanan terakhir yang membawahi seluruh kerajaan umat Islam di dunia runtuh pada 1924.


Sri Sultan yang juga Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta tersebut, menegaskan Keraton Yogyakarta merupakan perwakilan kekhalifahan Islam di Jawa. Keraton Yogyakarta adalah kelanjutan dari Kesultanan Demak. 


Lah kok tiba-tiba ada secuil orang mengklaim warga yogyakarta menolak Khilafah. Jelas, mau memutarbalikan sejarah. Ingat JAS MERAH. JANGAN LUPAKAN SEJARAH.


Kita tentu lebih percaya keterangan resmi dari Sri Sultan Hamengkubuwono X yang menegaskan sejarahnya Kesultanan Yogyakarta adalah bagian dari Khilafah. Ketimbang gerombolan liar yang mengklaim warga yogyakarta tapi anti Khilafah. [].