Page

Muatan Politik Dalam Dakwah



Oleh: Dr. M. Kusman Sadik

Ada pihak yang terus berupaya memisahkan Islam dari kehidupan nyata, termasuk di antaranya adalah politik. Apalagi akan memasuki tahun 2018 yang disinyalir sebagai tahun politik. Mereka menginginkan Islam sekadar dibatasi pada aspek amal, spiritualitas dan moralitas semata seperti ibadah mahdhah dan akhlak.

Mereka selalu menuding negatif terhadap ormas Islam yang dalam dakwahnya menyentuh persoalan politik. Menurutnya itu bukan dakwah tapi politik. Sangat kentara bahwa mereka berusaha memaksakan standar sekulerisme-liberalisme untuk menilai dakwah umat Islam.
Salah satu kerikil yang sangat mengganggu umat Islam adalah para tokoh elite Muslim yang ikut menari bersama mereka yang menganut sekulerisme-liberalisme itu. Pandangan umat bisa menjadi kabur akibat ulah para elite semacam itu.

Terkait dakwah dan politik ini ada hal penting yang perlu digarisbawahi. Pertama, pada dasarnya Islam mengatur segenap perbuatan manusia dalam hubungannya dengan Tuhannya yakni Allah Swt. melalui hukum-hukum yang terkait akidah dan ibadah ritual seperti shalat, shaum, zakat, haji, dan sebagainya.

Islam juga mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri yakni berupa hukum-hukum yang terkait akhlak, pakaian, dan makanan. Demikian pula Islam mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya melalui hukum-hukum yang terkait mu'amalah dan 'uqubat, seperti ekonomi, pemerintahan, politik, dakwah, pendidikan, perang, pidana, dan lain sebagainya. (Lihat: Taqiyyudin an-Nabhani, 2001, Nidzamu al-Islam)

Kedua, Islam menolak sekulerisme, karena Islam bersifat menyeluruh (syumuliyah) yang mengatur ketiga jenis hubungan tersebut. Ide sekulerisme pada dasarnya adalah upaya pemisahan agama (Islam) dari kehidupan publik yakni negara (fashl ad-din 'an ad-daulah). Ide ini sebenarnya berakar dari peradaban Barat-Kristen, yang memisahkan agama (Kristen) dari negara. Hal ini tidak sesuai dengan realita syariah Islam.
Memang syariah Islam yang terkait pengaturan manusia dengan Tuhannya dan dirinya sendiri ini bisa dilaksanakan oleh individu. Namun syariah yang terkait pengaturan hubungan manusia dengan sesamanya, muamalat dan 'uqubat (sanksi hukum), sebagian besar justru harus dilaksanakan oleh negara. Misalnya muamalat yang terkait pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, politik dan keamanan membutuhkan keberadaan negara.
Demikian juga untuk masalah 'uqubat seperti hukum hudud, jinayat, ta'zir, dan mukhalafat, mutlak harus dilaksanakan oleh negara, tidak boleh dilaksanakan oleh kelompok apalagi individu. Jadi sangat tidak mungkin memisahkan Islam dengan persoalan politik dan negara.

Ketiga, realitas makna politik dalam Islam. Tentu bukanlah politik seperti yang diungkapkan oleh Harold D. Lasswell dalam bukunya ”Politics: Who Gets What, When, How”. Di mana politik hanya didudukkan sebagai persoalan siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana. Sehingga politik identik sekadar upaya meraih kepentingan pragmatis untuk pribadi dan kelompoknya.

Aktivitas politik dalam pandangan Islam adalah terkait dengan pengaturan urusan masyarakat (ri'ayah syu'un al-ummah), baik yang terkait dengan penguasa sebagai subyek (al-hakim) yang melakukan pengaturan urusan masyarakat, maupun yang terkait dengan umat sebagai obyek (al-mahkum) yang melakukan pengawasan (muhasabah) terhadap aktivitas penguasa dalam mengatur urusan masyarakat tersebut.

Salah satu bentuk dakwah yang bermuatan politik adalah apa yang disebut sebagai perjuangan politik (al-kifah as-siyasi). Misalnya mengkritik kebijakan penguasa yang menjalankan agenda neo-liberalisme. Dalam konteks dakwah, kritik semacam itu dilakukan bukan sekadar karena neo-liberalisme menjanjikan kesengsaraan bagi masyarakat. Namun lebih pada karena kebijakan neo-liberalisme itu bertentangan dengan syariah Islam.

Jadi, umat Islam sudah semestinya tidak memisahkan antara dakwah dan politik. Karena di samping melanggar syara', juga akan menjauhkan umat dari upaya penerapan syariah secara kaaffah. Sikap menerima sebagian syariah Islam (spiritualitas dan moralitas semata) dan menolak sebagian yang Iain (politik, pemerintahan, ekonomi, dan lain-lain) adalah sikap sekuler-liberal yang harus dijauhkan dari umat Islam. Wallahu a'lam bi ash-shawaab. []

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 210