Page

Iman, Hijrah Dan Jihad



Di dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman (yang artinya): “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, berhijrah dan berjihad di jalan Allah, itulah mereka yang benar-benar mengharapkan rahmat Allah. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (TQS. Al-Baqarah [2]: 218).

Terkait ayat di atas, Imam as-Sa'di di dalam kitab tafsirnya menyatakan, bahwa ketiga perkara ini (iman, hijrah dan jihad) merupakan tanda kebahagiaan (‘unwan as-sa'adah) bagi seorang Mukmin. Melalui ketiganya, seseorang bisa diketahui apakah beruntung atau merugi.

Pertama: tentang iman, tentu tak perlu dipertanyakan lagi keutamaannya. Betapa tidak, bukankah iman adalah pemisah/pembeda antara orang-orang bahagia dan orang-orang sengsara; antara penduduk surga dan penghuni neraka? Karena iman juga, jika iman ini ada pada seorang hamba, amalan kebaikannya berpotensi diterima oleh Allah SWT. Sebaliknya, jika seorang hamba tidak memiliki iman maka seluruh perilaku baiknya, keadilannya, amalan wajib maupun sunnahnya tidak akan diterima.

Kedua: terkait hijrah. Hijrah adalah tindakan meninggalkan segala perkara yang dicintai dan disukai semata-mata demi meraih keridhaan Allah SWT. Karena itulah seorang yang berhijrah sanggup meninggalkan tanah airnya, hartanya, keluarganya dan sahabatnya semata-mata demi mendekatkan diri kepada Allah SWT dan demi menolong agama-Nya.

Ketiga: tentang jihad. Jihad adalah mengerahkan segenap upaya untuk memerangi musuh serta berupaya keras untuk menolong agama-Nya dan menghancurkan agama setan. Jihad adalah puncak amal shalih. Balasan pahalanya adalah pahala terbaik. Jihad adalah sebab terbesar bagi perluasaan wilayah kekuasaan Islam dan bagi kehinaan para penyembah berhala. Jihad juga menjadi faktor terbesar yang menjadikan kaum Muslim aman, baik menyangkut jiwanya hartanya maupun anak-anaknya.

Siapa saja yang melakukan ketiga perkara ini (iman, hijrah dan jihad) dengan sanggup menanggung segala kesusahan dan kesulitannya, maka pasti melakukan perkara lainnya akan jauh lebih sanggup dan lebih sempurna. Orang-orang yang merealisasikan iman, hijrah dan jihad; mereka itulah orang-orang yang benar-benar mengharap rahmat Allah SWT. Hal ini karena mereka benar-benar telah mendatangkan sebab bagi kepastian datangnya rahmat Allah SWT.

Ini sekaligus menjadi dalil bahwa harapan akan kebahagiaan tidak akan pernah terwujud kecuali dengan mewujudkan sebab-sebabnya. Adapun harapan yang disertai dengan kemalasan dan tanpa upaya keras mewujudkan sebab-sebabnya, itu hanyalah kelemahan, angan-angan dan sikap main-main. Hal itu justru menjadi bukti kelemahan tekad dan kekurangan akal pelakunya, persis seperti orang yang mengharap punya anak tetapi enggan menikah.

Ayat inipun menegaskan, bahwa saat seseorang telah mewujudkan sebab-sebab yang bisa mendatangkan kebahagiaan, tidak seharusnya ia bersandar pada sebab-sebab tersebut. Ia tetap harus berharap pada rahmat Allah; tetap harus berharap amal-amalnya diterima, dosa-dosa diampuni dan aib-aibnya ditutupi. (Lihat: As-Sa'adi, Taysir al-Karim ar-Rahmaan fi Tafsir al-Kalam al-Manan, I/98).

Khusus terkait hijrah, saat ini kita memasuki tahun baru hijrah. Tahun Hijrah tentu penting untuk diingat. Pasalnya, Tahun Hijrah ditetapkan oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. berdasarkan peristiwa penting dalam sejarah Islam, yakni hijrah Baginda Rasulullah SAW dan kaum Muslim dari Makkah ke Madinah. Hijrah menandai pembedaan secara tegas -sebagaimana kata Umar bin al-Khaththab ra.-antara keimanan dan kekufuran; antara darul kufur dan Darul Islam. Hijrah Nabi SAW bahkan menjadi momentum bagi kebangkitan Islam. Di Madinahlah Nabi SAW secara riil menerima kekuasaan dari kaum Anshar. Di Madinah pula awal mula tegaknya Daulah Islam, Islam tersebar luas secara cepat melalui dakwah dan jihad yang dilakukan oleh Daulah Islam.

Karena itu, jika akhir-akhir ini di tengah-tengah kaum Muslim ada tradisi baru setiap tahun, yakni peringatan tahun baru hijrah, tentu ini patut diapresiasi. Hanya saja, memahami hakikat hijrah secara syar'i tetap jauh lebih penting. Secara syar'i, hijrah didefinisikan oleh jumhur Ulama sebagai al-intiqal min dar kufr[in] ila Dar al-Islam (berpindah dari negeri kufur ke Negara Islam). Dengan kata lain, hijrah bisa dimaknai sebagai: berpindah dari sistem jahiliah ke sistem Islam. Hijrah seperti ini meniscayakan umat memiliki Dar al-lslam atau Daulah Islam. Tanpa adanya Daulah Islam seperti saat ini, hijrah syar'i tentu tak akan terealisasi. Karena itu upaya kaum Muslim untuk terus memperjuangankan tegaknya kembali Daulah Islam atau Khilafah Islam amatlah urgen. Hanya dengan itulah harapan umat Islam untuk melangsungkan kembali hijrah syar'i dari dar kufr ke Darul Islam bisa terealisasi. Hanya dalam Darul Islamlah umat ini bisa mewujudkan kehidupan yang Islami, yang ditandai dengan penerapan syariah Islam secara kaffah. Wa ma tawfiqi illa billah. []

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 138, Nopember 2014
---