Page

Pemerintah Tak Serius Atasi Pembakaran Hutan



Pemerintah Tak Serius Atasi Asap

Sumatera Selatan

Kabut asap di Sumatera Selatan sudah menjadi rutinitas tahunan setiap musim kemarau. Hal ini dipicu oleh kebiasaan masyarakat membakar semak belukar dalam kegiatan pembukaan lahan untuk dijadikan perkebunan. Namun yang paling besar menyumbang asap adalah pembakaran lahan di areal konsesi perusahaan perkebunan dan Hutan Tanaman Industri yang kebanyakan berada di lahan gambut.

Perusahan yang beroperasi di lahan gambut biasanya membuat kanal-kanal untuk mengurangi kandungan airnya agar bisa ditanami. Akibatnya ketika musim kemarau gambut tidak lagi memiliki kandungan air. Gambut yang tersusun dari sisa-sisa tanaman yang tertimbun ribuan tahun jadi lebih mudah terbakar ketika kondisi kering.

Parahnya lagi kebakaran di lahan gambut bukan hanya terjadi di permukaan tetapi menjalar sampai kedalaman satu meter. Beda dengan kebakaran di permukaan yang relatif mudah dipadamkan, kebakaran di lapisan bawah akan sulit dipadamkan meski sudah disiram dengan bom air dari helikopter.

Akibat kebakaran lahan, setiap pagi kabut asap tebal menyelimuti kota Palembang. Asap mulai menipis sekitar pukul 08.00-09.00 pagi kemudian di sore hari sekitar pukul 17.00 asap kembali pekat hingga pagi hari. Bukan hanya asap yang dihadapi warga, asap juga seringkali disertai abu bekas kebakaran. Jarak pandang di pagi hari sekitar 100 meter menyebabkan penerbangan di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II terganggu meski tidak sampai lumpuh. Kabut asap juga telah merenggut nyawa seorang bayi berusia 28 hari bernama M Husein Saputra yang terjangkit radang paru-paru.

Menurut Kepala Dinas Kesehatan, penderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) bulan Oktober 2015 sebanyak 6.398 orang di Palembang sendiri sebanyak 3.281 orang. Sedangkan bulan September 2015 tercatat 26.462 se-Sumsel dan Palembang selama bulan September 2015 15.474 penderita.

Menyikapi kondisi kabut asap, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Kota Palembang menyelenggarakan Tabligh Akbar dan Shalat Istisqa pada Ahad, (4/10) bertempat di halaman Rumah Dannis Jl. Basuki Rahmat Palembang. Shalat lstisqa diikuti sekitar 300-an umat Islam. Shalat Istisqa adalah cara non teknis agar Allah SWT segera menurunkan hujan untuk memadamkan api yang membakar hutan sejak Juni 2015.

Dalam khutbah Istisqa, Ketua Lajnah Maslahiyah DPP HTI Arim Nasim mengajak umat Islam untuk instropeksi diri serta menyadari terjadinya kemarau panjang dan bencana kabut asap adalah akibat dosa-dosa yang kaum Muslimin kerjakan di antaranya dosa tidak menegakkan syariah Islam dalam naungan khilafah.

Sedangkan Ketua HTI Sumsel Mahmud Jamhur sangat menyesalkan ketidakseriusan pemerintah daerah dan pemerintah pusat mengatasi kabut asap. Hal ini terlihat dari belum ditetapkannya kabut asap menjadi bencana nasional, padahal jelas bencana asap sudah meluas di Sumatera dan Kalimantan bahkan sampai ke luar negeri. Karena belum menjadi bencana nasional biaya penanganannya pun tidak maksimal. Perhatian pemerintah berbeda jika yang menjadi permasalahan menyangkut kepentingan para kapitalis.

Dari sisi ruhiyah, Mahmud menilai tidak ada upaya pemerintah untuk mengajak masyarakat bertaubat, dan berdoa agar diturunkan hujan melalui shalat Istisqa. Penyelenggaraan shalat Istisqa yang dilakukan masyarakat hanya bersifat spontan dan sporadis.

Lebih lanjut Mahmud mengatakan bahwa persoalan kabut asap erat kaitannya dengan penerapan sistem ekonomi kapitalis yang melegalkan swasta bahkan asing mendapatkan konsesi ratusan ribu hektar untuk mengolah lahan gambut menjadi perkebunan. Padahal berdasarkan karakteristiknya lahan gambut tidak boleh kering. Adanya konsesi itu menjadi dasar para perusahaan untuk mengeksploitasi lahan gambut dalam rangka meraih keuntungan sebesar-besarnya.

Untuk itu HTI Sumsel mendesak pemerintah baik daerah maupun pusat agar serius menangani kabut asap sampai tuntas dengan mengerahkan tenaga, teknologi dan dana secara maksimal. “Terkait izin operasi perusahaan di lahan gambut sudah seharusnya dicabut permanen. Lalu lahan gambut yang ada dijadikan kawasan lindung,” tegasnya.

Terakhir Mahmud mengatakan adanya bencana asap sebagai akibat keserakahan kapitalis harus diakhiri dengan menerapkan sistem ekonomi Islam. Dalam sistem lslam pengelolaan hutan tidak boleh diserahkan kepada swasta karena termasuk kepemilikan umum.

”Akan tetapi sistem ekonomi Islam hanya bisa diterapkan jika negaranya berdasarkan ideologi Islam yaitu Khilafah Islamiyah," pungkasnya. []

Riau

Akibat negeri ini salah pilih sistem untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara, hutan yang menurut Islam merupakan milik rakyat dan wajib dikelola oleh negara pun malah diserahkan kepada swasta bahkan asing tak terkecuali di Riau. Celakanya para kapitalis yang mendapat konsesi ratusan ribu hektar tersebut malah membakar hutan untuk membuka lahan baru sehingga terjadilah kebakaran berkepanjangan.

Hutan Riau itu milik rakyat jadi sudah seharusnya hutan itu dikembalikan kepada rakyat untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Bukan malah diserakan kepada korporasi apapun alasannya. 10 perusahaan yang terlibat harus hengkang.

Massa aksi juga menyeru kepada seluruh rakyat Riau dan Pemerintah untuk kembali kepada sistem Islam dengan bersungguh-sungguh menjalankan dan menerapkan hukum-hukum Islam dalam mengelola hutan dan negeri ini, sehingga negeri ini menjadi negeri baldatun toyyibatun warobbur ghoffur. Dan itu semua akan terwujud dalam naungan Khilafah Islamiyah.

Bacaan: Tabloid Media Umat edisi 160, Oktober-Nopember 2015
---