Page

Indonesia Makin Liberal Dan Terjajah



Jokowi yang digadang-gadang akan memberikan angin segar perubahan bila menjadi presiden ternyata jauh panggang daripada api. Indonesia malah semakin liberal dan kian terjajah. Nawa cita yang diagung-agungkan sekarang tinggal sebuah kenangan.

Dalam acara talkshow di Jakarta, Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Muhammad Ismail Yusanto membeberkan delapan bukti keterpurukan negeri ini dan kian leluasanya asing bercokol mencengkram negeri Muslim terbesar di dunia.

Pertama, BPJS, bukti negara lepas tanggung jawab. Karena BPJS-SJSN hakekatnya adalah asuransi yang dipaksakan kepada seluruh rakyat. "Sistem jaminan sosial semacam ini lahir dari sistem kapitalisme. Dengan mewajibkan seluruh rakyat dalam asuransi itu, negara hendak berlepas tangan dari urusan layanan kesehatan rakyatnya!” tegas Ismail dalam acara Halqah Islam dan Peradaban Edisi Refleksi Akhir Tahun 2015: Indonesia Makin Liberal dan Makin Terjajah.

Kedua, semakin tingginya ancaman kekerasan terhadap anak. Menurut Ismail, kenyataan tersebut buah dari sistem kehidupan sekularistik itu serta merupakan wabah yang ditularkan oleh peradaban Barat ke negeri-negeri Muslim. ”Itu mirip potret kehidupan di Barat. Sejak tahun 2000, di AS misalnya, setiap tahun lebih dari 5 juta anak mengalami kekerasan fisik, seksual, verbal, diabaikan, dan ditinggalkan," kata Ismail, Rabu (16/12/2015) di Gedung Juang 45, Jakarta Pusat.

Ketiga, nilai tukar rupiah merosot pada titik terendah sejak krisis 1998. ”Fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar, merupakan konsekuensi logis dari sistem ekonomi kapitalis yang menjadikan uang sebagai komoditas sehingga mengikuti hukum permintaan dan penawaran,” kata Ismail yang menegaskan uang dalam Islam haruslah berbasis emas dan hanya sebagai alat tukar saja.

Keempat, masuk jeratan rentenir Cina. Pada 16 September 2015, tiga bank milik negara yaitu Bank Mandiri, BRI dan BNI, mendapatkan pinjaman senilai total 3 miliar dolar AS dari China Development Bank (CDB). Masing-masing bank BUMN tersebut, menerima pinjaman sebesar satu milyar dolar AS yang 30 persennya dalam mata uang Renminbi dengan jangka waktu 10 tahun. Tingkat bunga pinjaman tersebut sebesar 3,4 persen untuk mata uang dolar AS dan 6,7 persen untuk mata uang Renminbi.

Tak cukup menjerumuskan ke dalam dosa besar riba, Cina pun mengikat pinjamannya dengan syarat lain yakni adanya jaminan dalam bentuk aset, adanya imbal hasil seperti ekspor komoditas tertentu ke Cina hingga kewajiban negara pengutang agar pengadaan peralatan dan jasa teknis harus diimpor dari Cina. "lnilah cengkraman baru ala Cina, penjajah dari Timur,” beber Ismail.

Kelima, dengan meningkatkan pajak dan mengurangi subsidi APBN 2016, pemerintah semakin kapitalis dan memeras rakyat. Keenam, kabut asap adalah bencana yang dibiarkan untuk membela para kapitalis sawit. Ketujuh, pemerintah melanggar UU dan mengubah peraturan demi langgengnya penjajahan kapitalisme melalui Freeport di Indonesia. Kedelapan, pepesan kosong Pilkada serentak.

Dalam acara yang sama, peneliti dari Asosiasi Ekonomi Politik lndonesia (AEPI) Salamuddin Daeng mengungkapkan hasil penelitiannya selama 2015. Kesimpulannya? ”Drama horor berlangsung sepanjang 2015!” tegasnya.

Horor tersebut berupa kekacauan yang melanda negeri ini, mulai dari tragedi kemanusiaan, maraknya begal, kerusuhan, pembakaran tempat ibadah, kebakaran hutan, hingga krisis ekonomi. ”Terakhir drama 'Papa minta saham' mempertontonkan kepada publik suatu upaya manipulasi terhadap konstitusi dan UU yang dilakukan oleh elite penguasa pemerintahan dan parlemen,” bebernya.

Serangkaian kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah, menurut Daeng, langsung menghantam ulu hati rakyat seperti kenaikan harga BBM, kenaikan tarif dasar listrik setiap bulan sekali, yang diikuti dengan kenaikan harga-harga kebutuhan dasar seperti pangan, ongkos transportasi, dll.

”Akibatnya inflasi sangat tinggi dan pada saat bersamaan daya beli masyarakat jatuh ke level paling rendah,” ungkapnya.

Kondisi ini berdampak pada industri yang berhadapan dengan biaya input yang tinggi, sementara produknya tidak mampu diserap oleh masyarakat. ”Industri nasional banyak yang gulung tikar yang mengakibatkan ratusan ribu buruh mengalami PHK," kata Daeng.

Di bidang hukum sangat berantakan terlihat dengan tidak konsistennya pemerintah dalam menjalankan undang-undang. ”Pemerintah melanggar Putusan MK Terkait UU 22 tahun 2001 tentang Migas yang melarang harga BBM diserahkan kepada mekanisme pasar. Pemerintah juga melanggar UU Minerba terkait dengan perpanjangan iz'in ekSpor bahan mentah hasil tambang,” ujar Daeng menyebut beberapa contoh.

Di bidang ekonomi, menurut Daeng, Indonesia berhadapan dengan situasi membahayakan terkait merosotnya nilai tukar dan tergerusnya cadangan devisa yang sudah sampai pada tinqkat membahayakan. “Negara dan perusahaan-perusahaan nasional berada dalam ancaman tidak bisa bayar utang!” simpulnya.

Tim ekonomi Jokowi dinilai Daeng tidak kompeten terkait dengan seluruh kesalahan serius dalam asumsi APBNP 2015 dan RAPBN 2016 yang membuat jatuh kredibilitas pemerintahan di mata rakyat dan internasional. “APBN dinilai oleh pelaku ekonomi sangat ambisius dan tidak mungkin terealisasi,” katanya.

Selanjutnya pemerintah membuat polemik lagi soal perpanjangan kontrak Freeport. ”Seharusnya kontraknya harus diakhiri atas dasar Freeport melangar UU Minerba. Meskipun pemerintah memperpanjang, hal tersebut hanya boleh dilakukan pada 2019 mendatang," katanya.

Ternyata, mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Djoko Santoso pun menyatakan hal senada. Menurutnya, berakhirnya perang dingin yang dimenangkan oleh kapitalisme, membuat negara-negara liberal semakin berkuasa.

Djoko juga menyatakan sepakat dengan point utama refleksi akhir tahun 2015 HTI, bahwa Indonesia semakin liberal dan semakin terjajah. ”Saya sepakat, Indonesia makin liberal dan makin terjajah,” pungkasnya. []

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 165, Januari 2016
---