Page

Di Balik Islamophobia Trauma Perang Salib


Islamophobia, atau prasangka dan diskriminasi terhadap Islam dan kaum Muslimin merupakan sebuah sikap sosial dan individual yang sebenarnya sudah muncul sejak lama. Kini menjadi populer kembali ketika marak serangan terorisme terhadap Barat yang kemudian pelakunya dituduhkan kepada umat Islam, sebagaimana yang terjadi pada peristiwa 11 September 2001 dan yang terbaru adalah Paris Attack pada 13 November 2015 baru lalu.

Phobia ini sedemikian mengakarnya sehingga seperti seorang psikolog Denmark, Nicolai Sennels sampai menulis sebuah buku berjudul 'Among Criminal Muslims: A Psychologist's Experience from the Copenhagen Municipality' yang menyebutkan bahwa 'Islam creates monsters’. Islam berbeda dengan agama lain karena Islam mengajarkan dengan mencuci otak kaum mudanya dengan pesan-pesan kekerasan.

Islamophobia ini tentunya memberikan dampak terhadap pencitraburukan ajaran Islam dan diskriminasi terhadap Umat Islam, terutama yang menjadi kaum minoritas di Barat sana. Islam dianggap sebagai ajaran setan yang memuat gagasan teror. Masjid-masjid dipersulit untuk didirikan. Menara masjid dianggap sebagai simbol syiar yang merusak nilai-nilai liberalisme Barat. Jenggot, niqab, cadar dan jilbab dianggap sebagai budaya primitif yang mengintimidasi kebebasan masyarakat Barat. Dan bentuk-bentuk Islamophobia lainnya yang menjadikan umat Islam sebagai bahan kriminalisasi bangsa Barat.

Bila merunut kepada sejarah, maka Islamophobia ini muncul karena trauma Barat terhadap Perang Salib. Perang yang terjadi ratusan tahun tersebut memberikan ketakutan yang melekat bagi Barat. Syeikh Taqiyuddin An Nabhani dalam kitabnya Daulah Islam menyebutkan hal tersebut, "Permusuhan salib ini terpendam dalam seluruh jiwa bangsa Barat, apalagi Eropa, khususnya Inggris. Permusuhan yang mengakar dan dendam yang sangat hina inilah yang menciptakan strategi jahanam untuk melenyapkan Islam dan kaum Muslimin. Permusuhan itu pula yang menyebabkan kehinaan kita di negeri kita sendiri dengan kehinaan yang memalukan. Ketika Lord Allenby berhasil membebaskan al-Quds dan memasukinya pada tahun 1917 M, dia berkata, 'Hari ini, Perang Salib telah berakhir’. Ini tidak lain merupakan ungkapan jujur yang terlontar dari perasaan yang terpendam, kemarahannya yang membara, dan dendam yang mengakar dalam jiwanya. Ungkapan itu juga merupakan bentuk gambaran jiwa setiap orang Eropa yang terjun ke medan perang -baik perang pemikiran maupun militer- untuk memusuhi kaum Muslim.” [] budi mulyana

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 164, Desember 2015
---